Berita

Shin Tae-yong. (Foto: Giuseppe CACACE/AFP)

Publika

Warisan STY yang Dihapus Begitu Saja oleh PSSI

SENIN, 20 OKTOBER 2025 | 08:58 WIB

KALAU sepak bola Indonesia diibaratkan rumah, maka Shin Tae-yong atau STY adalah arsitek yang akhirnya bikin pondasi kita berdiri tegak setelah puluhan tahun roboh karena banjir janji dan longsor kepentingan. Tapi sayang, rumahnya baru setengah jadi, tiba-tiba mandornya -alias PSSI- malah ganti arsitek di tengah proyek. Dan yang lebih bikin geleng-geleng kepala, arsitek pengganti ini datang bawa nama besar, tapi hasil kerjanya masih teka-teki.

STY datang ke Indonesia di akhir 2019, ketika sepak bola kita sedang kusutnya bukan main. Peringkat FIFA di titik paling rendah, nomor 173, dan semangat pemain lebih mirip lomba lari ketimbang main bola. Tapi pelan-pelan, pelatih asal Korea ini mulai menanam satu hal yang selama ini paling langka di sepak bola Indonesia: mentalitas dan disiplin. Ia tidak banyak bicara, tapi terlihat jelas bagaimana sikap dan tubuh para pemain mulai terbentuk dari latihan ke latihan.

Kita semua masih ingat momen SEA Games 2023 di Kamboja. Setelah 32 tahun puasa emas, STY membawa tim muda Indonesia menembus sejarah. Tapi yang membuat publik bangga bukan cuma hasil akhirnya, melainkan caranya menang. Mereka main rapi, pressing tinggi, sabar membangun serangan?"gaya yang dulu cuma bisa kita lihat di televisi waktu nonton Liga Eropa. Indonesia yang dulu hanya mengandalkan semangat kini tampil dengan struktur permainan yang matang.


Belum hilang rasa haru itu, STY membawa skuad muda ke Piala Asia U-23 2024 di Qatar. Di sana, Indonesia bikin kejutan besar. Untuk pertama kalinya, kita menembus semifinal dan duduk di peringkat keempat Asia. Lawannya bukan tim kacangan -kita menyingkirkan Korea Selatan lewat adu penalti dramatis yang bikin jantung serasa ikut lari. Dunia sepak bola Asia terperangah, bertanya-tanya, “Ini beneran Indonesia yang dulu kalah 10?"0 dari Bahrain?”

Di level senior, STY juga meninggalkan jejak sejarah. Ia mengantar Indonesia kembali ke Piala Asia setelah 16 tahun absen, lalu menembus babak 16 besar dengan permainan yang bikin bangga. Kita memang kalah dari Australia, tapi kalah dengan kepala tegak. Tidak berhenti di situ, di kualifikasi Piala Dunia 2026, untuk pertama kalinya Indonesia berhasil lolos ke putaran ketiga. Peringkat FIFA melonjak dari 173 ke 132, lompatan yang jarang terjadi di Asia Tenggara. Semua itu dicapai tanpa pemain naturalisasi berlebihan dan tanpa kompromi politik.

Sayangnya, semua itu berhenti mendadak, seperti film bagus yang dipotong sensor di tengah jalan. STY dipecat dengan alasan “evaluasi performa”, padahal semua orang tahu, di balik layar ada tarikan kepentingan yang lebih besar. Publik bahkan mulai mencium aroma tak sedap: campur aduk politik, sponsor, sampai bayangan bandar judi internasional yang entah sejak kapan ikut nimbrung di meja keputusan.

Lalu muncullah nama Patrick Kluivert-PK, kata PSSI -sebagai pelatih baru. Memang, dia mantan bintang besar Belanda, tapi jejak kepelatihannya di Eropa tak pernah benar-benar bersinar. Di banyak klub, kontraknya pendek, hasilnya medioker. Namun di sini, dia disambut seperti juru selamat, padahal prestasinya lebih sering berakhir dengan kata “dipecat” ketimbang “juara.”

Yang paling terasa sejak pergantian itu bukan cuma hasil pertandingan, tapi suasana tim. Dulu, pemain muda bangga mengenakan jersey merah putih karena tahu setiap latihan bersama STY berarti kerja keras dan disiplin sejati. Sekarang, publik malah bingung melihat formasi aneh, pemain dipasang di posisi tak wajar, dan pelatih bicara di konferensi pers seperti sedang berusaha lucu. Dari atmosfer kerja keras berubah jadi panggung hiburan.

STY boleh bukan orang Indonesia, tapi dedikasinya menunjukkan arti nasionalisme yang sesungguhnya?"kerja keras, kejujuran, dan tanggung jawab. Ironinya, yang memecatnya justru orang yang paling sering bicara soal integritas, tapi sibuk rangkap jabatan di kursi yang menimbulkan konflik kepentingan.

Sepak bola Indonesia akhirnya seperti rumah yang mulai rapi tapi tiba-tiba dirusak oleh mandor yang ingin ganti desain. Fondasi yang sudah dibangun STY dengan susah payah kini berisiko ambruk, diganti dengan cat mengilap demi pencitraan sesaat. Padahal, rumah yang kuat bukan diukur dari warna temboknya, tapi dari keteguhan pondasinya.

Kalau begini terus, kita bukan cuma gagal ke Piala Dunia 2026. Kita juga akan terus gagal memahami bahwa musuh terbesar sepak bola Indonesia bukanlah lawan di lapangan, tapi mereka yang duduk di kursi pengambil keputusan?"yang lebih sibuk bermain politik daripada membangun sepak bola.

Agung Nugroho
Pemain bola kampung.

Populer

Masih Sibuk di Jogja, Pimpinan KPK Belum Tahu OTT di Lampung Tengah

Selasa, 09 Desember 2025 | 14:21

Pura Jadi Latar Film Porno, Hey Bali: Respons Aparat Dingin

Selasa, 09 Desember 2025 | 21:58

Kebun Sawit Milik POSCO Lebih dari Dua Kali Luas Singapura

Senin, 08 Desember 2025 | 19:12

Mahfud MD soal Bencana Sumatera: Menyuruh Pejabat Mundur Tidak Relevan

Rabu, 10 Desember 2025 | 05:53

Bangun Jembatan Harapan

Minggu, 07 Desember 2025 | 02:46

Distribusi Bantuan di Teluk Bayur

Minggu, 07 Desember 2025 | 04:25

Bahlil Minta Maaf Usai Prank Presiden Prabowo

Selasa, 09 Desember 2025 | 18:00

UPDATE

Wakil Wali Kota Bandung Erwin Ajukan Praperadilan

Kamis, 18 Desember 2025 | 04:05

Prabowo Diminta Ambil Alih Perpol 10/2025

Kamis, 18 Desember 2025 | 04:00

BNPB Kebut Penanganan Bencana di Pedalaman Aceh

Kamis, 18 Desember 2025 | 03:32

Tren Mantan Pejabat Digugat Cerai

Kamis, 18 Desember 2025 | 03:09

KPID DKI Dituntut Kontrol Mental dan Akhlak Penonton Televisi

Kamis, 18 Desember 2025 | 03:01

Periksa Pohon Rawan Tumbang

Kamis, 18 Desember 2025 | 02:40

Dua Oknum Polisi Pengeroyok Mata Elang Dipecat, Empat Demosi

Kamis, 18 Desember 2025 | 02:13

Andi Azwan Cs Diusir dalam Gelar Perkara Khusus Ijazah Jokowi

Kamis, 18 Desember 2025 | 02:01

Walikota Jakbar Iin Mutmainnah Pernah Jadi SPG

Kamis, 18 Desember 2025 | 01:31

Ini Tanggapan Direktur PT SRM soal 15 WN China Serang Prajurit TNI

Kamis, 18 Desember 2025 | 01:09

Selengkapnya