Makan Bergizi Gratis. (Foto: Humas BGN)
NIAT program ini sudah lurus. Lurus sekali. Tujuannya menyehatkan anak bangsa adalah visi yang tidak bisa diperdebatkan lagi.
Tapi cara menjalankannya, terus terang saja, keliru total. Akibatnya fatal. Ada anak-anak yang menjadi korban, sebuah harga yang terlalu mahal untuk sebuah kenekatan yang tidak terukur.
Di mana letak kekeliruan paling mendasarnya? Kita kadang salah kamar. Kita sejak awal menganggap ini adalah proyek bantuan sosial (bansos). Padahal ini adalah proyek industri pangan dan logistik paling rumit yang pernah coba kita kerjakan.
Mentalitas bansos itu sederhana: yang penting barang sampai ke penerima. Tapi mentalitas industri pangan jauh lebih kompleks: barang harus sampai dengan standar keamanan, mutu, dan ketertelusuran sekelas pabrik.
Kekeliruan "salah kamar" ini menjadi fatal karena ia secara langsung mengaktifkan sebuah problem klasik dalam ilmu kebijakan: "Problem Agen-Prinsipal". "Prinsipal" (pemerintah) punya visi mulia. "Agen" (puluhan ribu dapur) adalah pelaksananya.
Masalah muncul ketika si prinsipal tidak bisa mengawasi si agen setiap detik, dan kepentingan mereka sudah dibatasi anggaran Rp15.000 dan tidak sepenuhnya sinkron. Kepentingan si agen untuk menjaga margin tipis bertabrakan dengan kepentingan Prinsipal untuk menjamin keamanan pangan yang butuh biaya.
Ini diperparah oleh masalah kedua: kapasitas negara yang terbatas. Aturan yang dibuat Prinsipal menjadi macan kertas karena tidak ada "otot" pengawasan yang cukup di lapangan untuk 40.000 titik.
Setelah membedah semua masalah ini, pertanyaan wajarnya adalah: mengapa kita harus bersusah payah memperbaikinya? Mengapa tidak dibubarkan saja?
Jawabannya terletak pada denyut kehidupan baru yang, di tengah segala kekacauan, ternyata sudah mulai terasa di level akar rumput. Kita tidak boleh menutup mata. Puluhan ribu dapur ini telah membuka lapangan kerja bagi ibu-ibu yang sebelumnya mungkin tidak produktif.
Roda ekonomi di pasar-pasar lokal berputar lebih kencang karena ada permintaan bahan baku yang stabil setiap pagi. Bagi jutaan keluarga prasejahtera, program ini adalah ruang bernapas yang nyata, mengurangi beban pengeluaran harian mereka secara signifikan.
Keuntungan-keuntungan inilah buah manfaat ekonomi dan jaring pengaman sosial yang nyata dan menjadi alasan kuat mengapa program ini harus diselamatkan, bukan dimatikan.
Ini adalah aset yang terlalu berharga untuk dikorbankan di atas altar kekacauan manajemen. Maka, jalan keluarnya bukan lagi marah-marah, tapi merumuskan strategi penyelamatan yang cerdas.
Langkah pertama yang harus dilakukan adalah: injak rem darurat. Hentikan dulu model "big bang" yang sudah terbukti bermasalah ini. Bukan untuk membunuh programnya, tapi untuk memberinya kesempatan hidup yang lebih baik.
Selama berhenti sejenak, kita lakukan langkah kedua: gambar ulang petanya. Bukan lagi peta bansos, tapi peta industri yang profesional.
Pertaman, Peta Sumber Daya Manusia: Di peta baru ini, ada posisi "Manajer Area Gizi" (MAG). Mereka adalah para insinyur lapangan yang menjadi jembatan antara Prinsipal dan Agen, memastikan standar berjalan dan kapasitas terbangun.
Kedua, Peta Logistik: Di peta baru ini, rantai pasok digambar dengan jelas. Ada pemasok regional tersertifikasi yang wajib menjadi sumber bahan baku berkualitas, terutama protein. Rantai suplainya harus bisa diaudit setiap saat.
Ketiga, Peta Uji Coba: Di peta baru ini, kita bisa ciba mundur satu langkah untuk bisa lari sepuluh langkah. Pilih beberapa kabupaten saja dulu. Satu di Jawa, satu di Bali, satu di Sumatera, satu di Indonesia Timur. Sempurnakan modelnya di sana selama setahun. Biarlah seluruh negeri melihat bagaimana cara yang benar itu bekerja.
Temboknya sudah ketemu. Ada yang keliru di fondasinya. Pilihan kita dua: pura-pura tidak tahu dan menunggu ambruk, atau bongkar sekarang. Memang sakit sebentar, pasti bikin gaduh tapi setelah itu bangunannya bisa lurus menjulang ke langit. Inilah yang namanya mengelola. Bukan sekadar menunggu nasib baik.
Efatha Filomeno Borromeu Duarte
Akademisi Universitas Udayana