Peluncuran buku Faith, Fraternity and Compassion: Perjalanan Apostolik Paus Fransiskus ke Indonesia 3–5 September 2025 yang digelar Kompas Gramedia di Kantor KWI, Jumat, 3 Oktober 2025. (Foto: Humas Kemendikdasmen)
Wakil Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Wamendikdasmen) Fajar Riza Ul Haq menegaskan bahwa kunjungan Paus Fransiskus ke Indonesia pada 2024 lalu bukan sekadar seremonial melainkan momentum meneguhkan iman, persaudaraan sejati, kasih sayang serta bela rasa.
Menurut Wamen Fajar, Indonesia adalah negara berpenduduk Muslim terbesar yang telah tiga kali dikunjungi Paus yaitu pada 1970 oleh Paus Paulus VI (Giovanni Battista Enrico Antonio Maria Montini), pada 1989 oleh Paus Yohanes Paulus II (Karol Józef Wojty?a), dan pada 2024 oleh Paus Fransiskus (Jorge Mario Bergoglio).
“Ini hal unik di mata Vatikan. Indonesia negara mayoritas Muslim, tetapi bukan negara Timur Tengah. Kalau kita lihat sejarah perjalanan bangsa ini, sejak awal hubungan antaragama kita tumbuh dan lahirlah Pancasila sebagai kalimatun sawa atau "common platform" bagi bangsa ini. Kunjungan Paus di Indonesia menjadi cermin kehidupan beragama yang penuh keterbukaan,” ujarnya pada peluncuran buku Faith, Fraternity and Compassion: Perjalanan Apostolik Paus Fransiskus ke Indonesia 3–5 September 2025 yang digelar Kompas Gramedia di Kantor KWI, Jumat, 3 Oktober 2025.
Ia mengingatkan bahwa Islam Indonesia itu arus utamanya adalah mengedepankan kasih sayang atau rahmat seperti yang digerakkan Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama. Secara teologis hal ini sama dengan nilai-nilai kerahiman yang ada di umat Katolik.
“Bagi saya pribadi, kunjungan Paus ke Indonesia bukan di ruang kosong, adanya saling bela rasa yang sudah muncul dari masyarakat kita sendiri adalah keunikan bangsa ini," ungkapnya.
Fajar mencontohkan hal tersebut saat Muktamar Muhammadiyah di Solo pada tahun 2022 lalu, di mana umat Katolik ikut mendukung menyediakan gereja sebagai tempat parkir, transit, dan menyumbang konsumsi bagi peserta Muktamar.
"Isu konvergensi sudah selesai, tantangan kita kini adalah bagaimana agar bela rasa ini menguatkan gerakan bersama antar umat beragama untuk menjawab berbagai persoalan.” ungkapnya.
Lebih lanjut, ia juga menyinggung risetnya bersama Mendikdasmen Abdul Mu’ti yang menghasilkan buku Kristen Muhammadiyah. Buku tersebut mendokumentasikan interaksi historis dan praksis antara umat Kristen dan Muhammadiyah di berbagai daerah di Indonesia sebagai model dialog dan kerja sama lintas iman yang nyata.
“Saat ini, di bawah kepemimpinan Pak Menteri Abdul Mu'ti nilai-nilai itu kami bawa ke kebijakan pendidikan dasar dan menengah agar lahir generasi yang unggul secara kognitif dan sosial-emosional, peka pada keberagaman, dan mampu mengatasi kesenjangan pendidikan.” ujarnya.
Ia juga menegaskan pesan Paus Fransiskus bahwa pendidikan harus memanusiakan manusia, menumbuhkan kesadaran ekologis, dan memperkuat keseimbangan antara aspek kognitif dan sosial-emosional.
“Di Kemendikdasmen kami ingin membangun generasi unggul bukan hanya dari sisi kognitif, tapi juga aspek sosial, emosional, menumbuhkan empati dan mengatasi kesenjangan. Pendidikan adalah alat untuk keadilan. Ini mandat yang akan kami tegakkan,” tandasnya.
Narasumber lain, Romo Kardinal Ignatius Suharyo menambahkan, Paus Fransiskus merasa sangat senang berada di Indonesia karena selalu disambut wajah-wajah penuh senyum, bukan wajah muram atau marah. Paus dalam perjalanannya di Indonesia sempat meminta sopir berhenti untuk memberi permen kepada anak-anak.
Sedangkan, Fransisca Christy Rosana dari Tempo yang ikut dalam penerbangan bersama Paus juga menuturkan keramahannya kepada jurnalis, membuka diri menjawab berbagai pertanyaan, dan menunjukkan kepedulian terhadap isu sosial-ekonomi negara-negara berkembang.