Berita

Wakil Menteri Hak Asasi Manusia (HAM), Mugiyanto (Foto: YouTube DPR)

Politik

Wamen HAM Soroti 10 Hal Krusial dalam RUU KUHAP

SENIN, 22 SEPTEMBER 2025 | 13:36 WIB | LAPORAN: FAISAL ARISTAMA

Setidaknya ada sepuluh hal krusial terkait hak asasi manusia yang harus diperhatikan dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP). 

Wakil Menteri Hak Asasi Manusia (HAM) Mugiyanto, memaparkan; hal pertama adalah menyangkut ketentuan penangkapan. Menurutnya, dalam Pasal 17 KUHAP hanya mensyaratkan adanya “cukup alasan” tanpa standar yang jelas sehingga terlalu umum.

“Rekomendasi kami adalah untuk memperjelas bukti permulaan sahih, wajib pencatatan rinci, dan bawa ke hakim maksimum 48 jam. Ini terkait dengan habeas corpus. Kami mengacu pada ICCPR Pasal 9 Ayat 1 dan 2, serta General Comment Nomor 38 dalam Body of Principle,” ujar Mugiyanto dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) bersama Komisi III DPR RI di Komplek Parlemen, Senayan, Jakarta, pada Senin 22 September 2025.


Kedua, mengenai penahanan praperadilan. Mugiyanto menilai Pasal 21 terlalu generik karena hanya menyebut adanya kekhawatiran melarikan diri.Rekomendasi Kementerian HAM adalah supaya diterapkan prinsip least restrictive measures dengan alternatif. 

“Ada jaminan, wajib lapor, larangan bepergian, dan lain-lain sesuai dengan ICCPR Pasal 9 Ayat 3,” katanya.

Hal ketiga, soal alasan penahanan. Mugiyanto menyoroti Pasal 22 yang menurutnya memuat alasan abstrak.


“Kami merekomendasikan supaya rumusannya dibuat lebih spesifik, terukur, dan dapat diverifikasi. Ini sesuai dengan Konvensi Anti Penyiksaan Pasal 2 dan 11,” ujarnya.

Keempat, evaluasi penahanan. Pasal 29 disebut hanya memuat evaluasi tanpa frekuensi yang jelas.

“Rekomendasi kami adalah adanya evaluasi periodik misalnya ditetapkan tiap 2 bulan, dengan kehadiran penasihat hukum. Ini sesuai dengan ICCPR Pasal 9 Ayat 3 dan General Comment No. 36,” kata Mugiyanto.

Kelima, tempat penahanan. Ia mengkritisi Pasal 31 yang tidak mengatur pemisahan tahanan praperadilan.

“Rekomendasi kami adalah larangan ditahan di kantor penyidik. Wajib pemisahan tahanan praperadilan dan narapidana sesuai dengan ICCPR Pasal 10, Mandela Rules, serta Konvensi Anti Penyiksaan Pasal 11,” ujarnya.

Hal keenam menyangkut penahanan sewenang-wenang dan kompensasi. Ini tidak ada kompensasi otomatis. Rekomendasi kami adalah supaya ditambahkan mekanisme kompensasi segera, efektif, dan mencakup pemulihan penuh. 

“Ini sesuai dengan ICCPR Pasal 9 Ayat 5, serta Konvensi Anti Penyiksaan terkait hak atas reparasi,” ujar Mugiyanto.

Ketujuh, mengenai otoritas penahanan. Menurutnya, Pasal 20 memberi peran dominan pada penyidik dan penuntut.

“Rekomendasi kami hanya hakim yang independen boleh memperpanjang penahanan. Ini sesuai dengan ICCPR Pasal 9 Ayat 3, General Comment 35, dan Konvensi Anti Penyiksaan,” jelasnya.

Kedelapan, terkait bantuan hukum. Pasal 54 disebut masih terlalu umum. Rekomendasi Kementerian HAM adalah adanya akses sejak awal penangkapan, komunikasi privat, penasihat hukum yang efektif. 

“Ini sesuai dengan ICCPR Pasal 14 Ayat 3, General Comment No. 32, dan Konvensi Anti Penyiksaan,” jelasnya.

Kesembilan, soal alat bukti. Mugiyanto menyoroti Pasal 184 yang belum tegas melarang bukti hasil penyiksaan.

“Rekomendasi kami adalah penting untuk menegaskan adanya exclusionary rule, larangan mutlak bukti dari proses penyiksaan. Ini secara tegas diatur dalam ICCPR Pasal 14 Ayat 3 serta Konvensi Anti Penyiksaan Pasal 15,” katanya.

Sementara itu, isu kesepuluh adalah soal penyadapan. Belum ada pengawasan judicial yang kuat. Rekomendasi Kementerian HAM adalah kewajiban adanya izin dari hakim hanya untuk tindak pidana serius, jangka waktu terbatas, adanya aspek akuntabilitas, dan pemberitahuan pasca penyadapan. 

“Ini juga diatur dalam ICCPR Pasal 17 serta General Comment No. 16,” pungkasnya.

Populer

Ketika Kebenaran Nasib Buruh Migran Dianggap Ancaman

Sabtu, 20 Desember 2025 | 12:33

OTT KPK juga Tangkap Haji Kunang Ayah Bupati Bekasi

Jumat, 19 Desember 2025 | 03:10

Uang yang Diamankan dari Rumah Pribadi SF Hariyanto Diduga Hasil Pemerasan

Rabu, 17 Desember 2025 | 08:37

OTT Beruntun! Giliran Jaksa di Bekasi Ditangkap KPK

Kamis, 18 Desember 2025 | 20:29

Tamparan bagi Negara: WNA China Ilegal Berani Serang Prajurit TNI di Ketapang

Sabtu, 20 Desember 2025 | 09:26

Tunjuk Ara di Depan Luhut

Senin, 15 Desember 2025 | 21:49

Makin Botak, Pertanda Hidup Jokowi Tidak Tenang

Selasa, 16 Desember 2025 | 03:15

UPDATE

Bawaslu Usul Hapus Kampanye di Media Elektronik

Minggu, 21 Desember 2025 | 11:26

Huntap Warga Korban Bencana Sumatera Mulai Dibangun Hari Ini

Minggu, 21 Desember 2025 | 11:25

OTT Jaksa Jadi Prestasi Sekaligus Ujian bagi KPK

Minggu, 21 Desember 2025 | 11:11

Trauma Healing Kunci Pemulihan Mental Korban Bencana di Sumatera

Minggu, 21 Desember 2025 | 10:42

Lula dan Milei Saling Serang soal Venezuela di KTT Mercosur

Minggu, 21 Desember 2025 | 10:35

Langkah Muhammadiyah Salurkan Bantuan Kemanusiaan Luar Negeri Layak Ditiru

Minggu, 21 Desember 2025 | 10:24

Jadi Tersangka KPK, Harta Bupati Bekasi Naik Rp68 Miliar selama 6 Tahun

Minggu, 21 Desember 2025 | 09:56

Netanyahu-Trump Diisukan Bahas Rencana Serangan Baru ke Fasilitas Rudal Balistik Iran

Minggu, 21 Desember 2025 | 09:32

Status Bencana dan Kritik yang Kehilangan Arah

Minggu, 21 Desember 2025 | 08:55

Cak Imin Serukan Istiqomah Ala Mbah Bisri di Tengah Kisruh PBNU

Minggu, 21 Desember 2025 | 08:28

Selengkapnya