Berita

Ilustrasi. (Foto: Dokumentasi RMOL)

Publika

Cukai Rokok, Benteng Kedaulatan Fiskal Indonesia

OLEH: MUCHAMAD ANDI SOFIYAN*
SABTU, 13 SEPTEMBER 2025 | 03:59 WIB

DI Indonesia, perdebatan tentang rokok selalu muncul dalam dua wajah: satu wajah moral yang mengatasnamakan kesehatan publik, dan satu wajah realistis yang berbicara tentang penerimaan negara. Namun bila kita menengok sejarah dan membaca data fiskal dengan jujur, jelas bahwa cukai rokok bukan sekadar instrumen kesehatan, melainkan penopang utama kedaulatan fiskal Indonesia.

Orde Baru: Rokok jadi Penyelamat Fiskal

Sejak masa Orde Baru, cukai rokok sudah menjadi salah satu penopang stabilitas kas negara. Industri rokok dibiarkan tumbuh besar karena menyerap jutaan tenaga kerja dan menghasilkan setoran fiskal yang rutin. Di saat penerimaan pajak sektor lain masih terbatas, hasil tembakau menjadi penyelamat. 


Tidak berlebihan bila dikatakan, tanpa industri rokok, fiskal Orde Baru akan lebih rapuh menghadapi gejolak harga minyak dan krisis utang luar negeri.

Reformasi: Fiskal Tetap Dominan, Kesehatan jadi Legitimasi

Era Reformasi membawa angin baru: demokratisasi dan desakan global untuk mengurangi konsumsi tembakau. Indonesia pun ditekan untuk meratifikasi Framework Convention on Tobacco Control (FCTC). Namun hingga hari ini, Indonesia tetap tidak meratifikasi perjanjian itu. Alasannya sederhana: kepentingan fiskal jauh lebih vital daripada tunduk pada tekanan global.

Pemerintah memang mulai menggunakan narasi kesehatan dalam setiap kenaikan cukai. Misalnya, dengan alasan “perlindungan anak” atau “pengendalian prevalensi perokok.” Tetapi mari kita lihat kenyataan: target penerimaan dari cukai tembakau dalam RAPBN selalu naik dari tahun ke tahun. Tahun 2023, penerimaan Cukai Hasil Tembakau (CHT) mencapai sekitar Rp213,5 triliun. 

Tahun 2024, penerimaan naik lagi menjadi Rp216,9 triliun dari total penerimaan cukai Rp226,4 triliun. Artinya lebih dari 90 persen penerimaan cukai nasional ditopang oleh rokok. Data ini menunjukkan, narasi kesehatan hanyalah legitimasi moral. Fakta sebenarnya: cukai rokok adalah mesin fiskal negara.

Perusahaan Rokok: Menyetor Puluhan Triliun, Tetap Tangguh

Satu perusahaan besar seperti HM Sampoerna pernah melaporkan kontribusi pajak dan cukai hingga Rp88 triliun dalam satu tahun. Ini bukan angka kecil. Itu artinya, perusahaan-perusahaan rokok besar bukan hanya mampu bertahan, tetapi juga menjadi pilar penting keuangan negara.

Mereka tidak bangkrut meski harus membayar puluhan triliun rupiah. Sebaliknya, industri ini terus hidup, bahkan saat pandemi, ketika banyak sektor ekonomi lain tumbang. Data ini menegaskan, industri rokok adalah entitas besar yang secara fiskal justru menopang negara, bukan membebani.

Cukai Rokok = Kedaulatan Fiskal

Jika kita bicara terus terang, mempersoalkan cukai rokok sama saja dengan mempersoalkan kedaulatan fiskal Indonesia. Tanpa penerimaan dari rokok, APBN akan terguncang hebat, defisit melebar, dan program pembangunan terancam.

Maka, setiap wacana yang berusaha melemahkan legitimasi cukai rokok harus dilihat dengan kacamata politik ekonomi, bukan sekadar kesehatan. Tidak sedikit tekanan datang dari kelompok internasional yang menggunakan isu kesehatan sebagai alat untuk menggerus kedaulatan fiskal negara berkembang.

Seperti disampaikan mantan Menteri Keuangan Sri Mulyani, kebijakan cukai selalu menjadi “alat untuk menjaga keseimbangan penerimaan negara sekaligus kesehatan masyarakat.” Namun, jika ditimbang dari angka penerimaan yang selalu dominan, jelas bahwa sisi fiskal tetap prioritas.

Rakyat Harus Bersatu

Kita boleh berbeda pendapat tentang gaya hidup atau pilihan konsumsi, tetapi dalam urusan fiskal, kepentingan bangsa harus di atas segalanya. Cukai rokok bukan semata urusan perokok dan bukan perokok. Ini adalah urusan kas negara, urusan APBN, dan pada akhirnya urusan kedaulatan kita.

Maka, siapapun yang mencoba meruntuhkan legitimasi cukai rokok sejatinya sedang merongrong kedaulatan fiskal Indonesia. Itu sebabnya, rakyat Indonesia harus melawan narasi anti-cukai. Karena melemahkan cukai sama artinya melemahkan negara.

Sejak Orde Baru hingga era Reformasi, satu hal tetap konsisten: rokok adalah tiang kas negara. Narasi kesehatan boleh mengiringi, tetapi intinya adalah fiskal. Oleh karena itu, mari kita hadapi kenyataan dengan jujur: cukai rokok adalah benteng kedaulatan fiskal Indonesia, dan mempertahankannya adalah tugas bersama seluruh rakyat.

*Penulis adalah penggiat literasi dari Republikein StudieClub

Populer

Bobby dan Raja Juli Paling Bertanggung Jawab terhadap Bencana di Sumut

Senin, 01 Desember 2025 | 02:29

NU dan Muhammadiyah Dikutuk Tambang

Minggu, 30 November 2025 | 02:12

Padang Diterjang Banjir Bandang

Jumat, 28 November 2025 | 00:32

Sergap Kapal Nikel

Kamis, 27 November 2025 | 05:59

Peluncuran Tiga Pusat Studi Baru

Jumat, 28 November 2025 | 02:08

Bersihkan Sisa Bencana

Jumat, 28 November 2025 | 04:14

Evakuasi Banjir Tapsel

Kamis, 27 November 2025 | 03:45

UPDATE

Puan Harap Korban Banjir Sumatera Peroleh Penanganan Baik

Sabtu, 06 Desember 2025 | 02:10

Bantuan Kemensos Telah Terdistribusikan ke Wilayah Aceh

Sabtu, 06 Desember 2025 | 02:00

Prabowo Bantah Rambo Podium

Sabtu, 06 Desember 2025 | 01:59

Pansus Illegal Logging Dibahas Usai Penanganan Bencana Sumatera

Sabtu, 06 Desember 2025 | 01:39

BNN Kirim 2.000 Paket Sembako ke Korban Banjir Sumatera

Sabtu, 06 Desember 2025 | 01:18

Bahlil Sebut Golkar Bakal Dukung Prabowo di 2029

Sabtu, 06 Desember 2025 | 01:03

Banjir Sumatera jadi Alarm Keras Rawannya Kondisi Ekologis

Sabtu, 06 Desember 2025 | 00:56

UEA Berpeluang Ikuti Langkah Indonesia Kirim Pasukan ke Gaza

Sabtu, 06 Desember 2025 | 00:47

Media Diajak Kawal Transformasi DPR Lewat Berita Berimbang

Sabtu, 06 Desember 2025 | 00:18

AMAN Raih Dua Penghargaan di Ajang FIABCI Award 2025

Sabtu, 06 Desember 2025 | 00:15

Selengkapnya