Berita

Menkeu Purbaya Yudhi Sadewa. (Foto: Istimewa)

Publika

Lihat Saja Nanti

JUMAT, 12 SEPTEMBER 2025 | 05:07 WIB | OLEH: AHMADIE THAHA

PERGANTIAN Sri Mulyani oleh Purbaya Yudhi Sadewa sebagai Menteri Keuangan dalam Kabinet Prabowo tiba-tiba jadi drama nasional. Media ramai-ramai menulis “akhir era Sri Mulyani”, pasar saham sempat goyah, sementara publik dalam negeri tak kalah gaduh.

Di media sosial, peristiwa naiknya Purbaya ini disambut dengan gaya khas Nusantara. Ada yang histeris seolah kehilangan idola K-Pop. Ada yang sinis seperti komentator sinetron. Dan ada pula yang kreatif langsung bikin julukan, dari “jurus bacot lebar” sampai “dokter amputasi”.

Di antara semua komentar atas kehadiran Purbaya sebagai Menteri Keuangan baru, ada yang kelewat optimis hingga terdengar seperti motivator MLM. Seorang warganet menulis bahwa pemulihan daya beli rakyat harus terlihat dalam dua kali dua puluh empat jam.


Kalau itu serius, barangkali Purbaya perlu buka klinik darurat ekonomi di Thamrin, lengkap dengan papan neon: “Sembuh dalam dua hari atau uang kembali.” Masalahnya, realitas makroekonomi tidak bisa dipulihkan dengan vitamin C atau jamu beras kencur.

Inflasi pangan masih di atas tujuh persen, upah riil tidak bergerak, dan utang luar negeri sudah menembus 420 miliar dolar AS. Dengan kondisi begitu, harapan instan pemulihan daya beli rakyat mirip pasien cuci darah yang meminta cukup dikerok saja.

Makruf Jun, seorang netizen yang lebih suka metafora medis, menyindir pernyataan Purbaya bahwa “tidak terlalu sulit memperbaiki ekonomi yang lambat.” Menurutnya, itu seperti dokter yang bilang amputasi gampang, padahal pasien sudah kronis.

Tapi, dari sudut pandang akademis, itu ada benarnya juga. John Maynard Keynes pernah menulis soal pentingnya animal spirits, optimisme yang dijaga pejabat agar pasar tidak panik. Tapi optimisme yang terlalu murah justru bisa jadi moral hazard.

Kalau semua dianggap gampang, rakyat bisa balik bertanya: “Jika memang mudah, kenapa harga beras masih lebih cepat naik daripada nilai tukar rupiah?” Dan sikap nyinyir Purbaya terhadap rakyat dengan nada mengentengkan, kontak dijawab mahasiswa dengan demo esok harinya.

Sementara itu, Peter F. Gontha menanggapi penunjukan Purbaya dengan gaya yang lebih elegan. Dalam tulisan panjang bersama koleganya, ia mengingatkan bahwa Sri Mulyani selama ini adalah simbol disiplin fiskal yang dihormati dunia. Maka kepergiannya diibaratkan konser yang ditinggal vokalis utama—panggung jadi hening, investor panik.

Namun, bersama itu, Gontha juga melihat peluang baru. Purbaya bukan orang kemarin sore: seorang insinyur yang belok jadi ekonom, pernah terjun di pasar modal, lalu lima tahun memimpin LPS di tengah badai pandemi. Dengan latar itu, ia tidak sekadar akan menjaga kas negara, melainkan paham denyut fiskal yang sebenarnya.

Hanya saja, begitu kalimat penuh bunga itu sampai ke media sosial, seketika dipatahkan oleh komentar pendek. Ada yang menulis dengan nada sinis, “Kalau cuma ganti orang, ya paling ganti gaya batik dan tanda tangan cek APBN.”

Ada pula yang lebih optimis, “Tenang, Purbaya ngerti makro, bukan sekadar tukang stempel.” Demokrasi digital memang aneh: analisis berhalaman-halaman bisa kalah oleh tiga kata pedas, tapi justru tiga kata itu yang lebih banyak mendapat jempol.

Tentu, harapan publik tak bisa dianggap enteng. Ada yang menunggu Purbaya menertibkan pajak sektor tambang dan menyapu ekspor siluman. Pernyataan ini bukannya tanpa dasar. Studi Bank Dunia memperkirakan potensi kehilangan penerimaan negara akibat transfer pricing mineral bisa mencapai 4-5 persen PDB per tahun.

Angkanya setara dengan seluruh anggaran pendidikan nasional! Jika Purbaya serius menutup kebocoran ini, ia bisa mengubah stigma “bacot lebar” menjadi “jurus sapu jagat.” Tapi tentu syaratnya jelas: jangan sampai yang disapu hanya rakyat kecil, sementara konglomerat tambang tetap bisa menyelundupkan nikel dengan tenang.

Sayangnya, diskusi fiskal sering kalah pamor oleh gosip politik. Ada netizen yang sinis bertanya apakah Purbaya “masuk faksi Luhut.” Ada pula yang nyinyir menyebut “anaknya arogan.”

Di negeri ini, soal faksi dan keluarga bisa lebih ramai ketimbang laporan OJK yang menunjukkan beban utang BUMN makin berat akibat praktik off balance sheet financing. Padahal, itulah bom waktu fiskal yang lebih layak jadi bahan debat. Tapi apa daya, netizen lebih suka gosip karena memang lebih gampang dicerna sambil ngopi.

Meski riuh caci-maki, ada pula suara bijak yang jarang disorot: “Sebagai rakyat, selalu berharap yang terbaik.” Kalimat sederhana ini sebetulnya lebih kuat daripada retorika panjang pejabat manapun.

Sebab, ujung dari semua jurus fiskal -- baik yang pro pasar ala Sri Mulyani maupun pro rakyat ala Purbaya -- tetap kembali ke satu hal: apakah rakyat bisa membeli beras tanpa berutang, apakah UMKM bisa bertahan tanpa menguras tabungan, dan apakah negara bisa adil tanpa mewariskan beban utang bejibun ke generasi berikutnya.

Di titik ini, semangat anti-serakahnomic ala Prabowo, atau semangat Sumitronomics, jadi relevan. Model keuangan negara tak boleh tunduk pada kerakusan elite ekonomi atau jebakan utang jangka panjang. Fiskal harus diarahkan pada kemandirian pangan, energi, dan industri strategis.

Seorang netizen menulis getir, “Kalau tiap tahun masih impor garam dan kedelai, berarti ada yang salah dengan APBN.” Peter Gontha pun menegaskan, kemandirian bukan jargon, melainkan harus nyata dalam alokasi anggaran. Tanpa itu, Prabowo hanya akan jadi macan kertas.

Apa yang diharapkan publik dari Purbaya bisa dirangkum sederhana: menyehatkan APBN dengan belanja produktif, bukan proyek mercusuar; memberi insentif nyata bagi UMKM yang menyerap tenaga kerja; serta menegakkan reformasi pajak progresif agar prinsip anti-serakahnomic atau Sumitronomics punya taring.

Jangan lagi yang kecil diperas, sementara yang besar dimanjakan. Seorang ekonom muda menulis pedas: “Kalau yang kecil dipalak, yang besar dipeluk, namanya bukan reformasi pajak, tapi yoga fiskal.”

Tetapi jalan menuju itu jelas tidak mudah. Publik masih bertanya: apakah Purbaya cukup kuat melawan kartel dan lobi konglomerat? Atau anti-serakahnomic hanya akan jadi stiker di mobil dinas, sementara praktik serakah tetap jalan?

Di sinilah ujian sesungguhnya. Kalau ia bisa membuktikan diri, strategi fiskalnya bisa jadi tonggak baru menuju Indonesia yang tidak lagi bergantung pada utang luar negeri, melainkan berdiri dengan kaki sendiri.

Akhirnya, komentar-komentar netizen - meski sering jenaka, emosional, bahkan absurd -- mencerminkan laboratorium demokrasi fiskal kita. Ada yang idealis, ada yang utopis, ada yang marah-marah, ada yang sekadar iseng.

Semua itu membentuk denyut kepercayaan publik. Dan justru di situlah letak keseriusan jabatan baru Purbaya: bahwa mengelola fiskal bukan sekadar hitung-hitungan angka, melainkan merawat rasa percaya rakyat.

Seorang netizen menutup diskusi dengan kalimat sederhana: “Kita lihat saja nanti.” Siapa sangka, komentar singkat di Facebook itu mungkin adalah analisis ekonomi paling realistis yang kita punya.

Penulis adalah Wartawan Senior

Populer

Ketika Kebenaran Nasib Buruh Migran Dianggap Ancaman

Sabtu, 20 Desember 2025 | 12:33

OTT KPK juga Tangkap Haji Kunang Ayah Bupati Bekasi

Jumat, 19 Desember 2025 | 03:10

Uang yang Diamankan dari Rumah Pribadi SF Hariyanto Diduga Hasil Pemerasan

Rabu, 17 Desember 2025 | 08:37

Adik Kakak di Bekasi Ketiban Rezeki OTT KPK

Senin, 22 Desember 2025 | 17:57

Kejagung Ancam Tak Perpanjang Tugas Jaksa di KPK

Sabtu, 20 Desember 2025 | 16:35

Kajari Bekasi Eddy Sumarman yang Dikaitkan OTT KPK Tak Punya Rumah dan Kendaraan

Sabtu, 20 Desember 2025 | 14:07

OTT Beruntun! Giliran Jaksa di Bekasi Ditangkap KPK

Kamis, 18 Desember 2025 | 20:29

UPDATE

Cetak Rekor 4 Hari Beruntun! Emas Antam Nyaris Tembus Rp2,6 Juta per Gram

Rabu, 24 Desember 2025 | 10:13

Saham AYAM dan BULL Masuk Radar UMA

Rabu, 24 Desember 2025 | 09:55

Legislator PKB Apresiasi Langkah Tegas KBRI London Laporkan Bonnie Blue

Rabu, 24 Desember 2025 | 09:44

Prabowo Bahas Kampung Haji dengan Sejumlah Menteri di Hambalang

Rabu, 24 Desember 2025 | 09:32

Pejabat Jangan Alergi Dikritik

Rabu, 24 Desember 2025 | 09:31

Saleh Daulay Dukung Prabowo Bentuk Tim Arsitektur Perkotaan

Rabu, 24 Desember 2025 | 09:26

Ribuan Petugas DLH Diterjunkan Jaga Kebersihan saat Natal

Rabu, 24 Desember 2025 | 09:21

Bursa Asia Bergerak Variatif Jelang Libur Natal

Rabu, 24 Desember 2025 | 09:13

Satu Hati untuk Sumatera: Gerak Cepat BNI & BUMN Peduli Pulihkan Asa Warga

Rabu, 24 Desember 2025 | 09:04

Harga Minyak Naik Jelang Natal

Rabu, 24 Desember 2025 | 08:54

Selengkapnya