MEDIA internasional buru-buru menempel label “bentrok Maois dan Leninist” untuk kerusuhan di Nepal. Seolah-olah Nepal masih hidup di tahun 1990-an, zaman perang rakyat Maois melawan monarki.
Padahal realitas di jalanan hari ini lain: yang berteriak, bakar ban, dan ngegas ke polisi bukan kader partai tua, tapi anak-anak Gen Z yang frustasi dan lapar.
Karl Marx, dalam The Eighteenth Brumaire of Louis Bonaparte, pernah bilang: kalau kelas penguasa lemah, biasanya lahir figur Bonapartis -- pemimpin yang pura-pura netral, seolah berdiri “di atas semua kelas,” padahal cuma jaga status quo.
Nepal setelah perang saudara pas masuk kategori ini. Dari presiden, perdana menteri, sampai raja konstitusional, semua pernah coba jadi penengah. Partai Komunis Nepal -- baik faksi Maois maupun UML -- juga nggak beda: pura-pura radikal, tapi prakteknya jadi elit yang jagain “stabilitas.”
Masalahnya, Bonapartisme model Nepal ini rapuh. Begitu pemerintah main represi digital -- blokir TikTok, Instagram, Facebook -- stabilitas itu langsung rontok. Bonaparte merah gagal meredam kontradiksi kelas yang sudah busuk.
Nah, yang ngamuk di jalan bukan orang-orang partai tua, tapi Gen Z. Buat mereka, medsos bukan sekadar tempat joget atau pamer OOTD. Itu:
1. Alat produksi (jualan online, kerja digital, kiriman remitansi),
2. Ruang sosial (hubungin teman lintas desa-kota),
3. Media politik (ngomel ke elit, bikin kritik, lempar meme satir).
Begitu negara mematikan itu semua, yang terjadi bukan sekadar “gangguan hiburan,” tapi perampasan sarana produksi kecil-kecilan rakyat. Marx menyebutnya
primitive accumulation by dispossession -- akumulasi lewat perampasan.
Wajar kalau Gen Z Nepal ngamuk. Mereka turun ke jalan tanpa bendera partai, cuma modal poster buatan tangan, dan api unggun darurat di Kathmandu. Lenin dulu menyebut energi macam ini sebagai spontanitas massa: ledakan marah rakyat yang belum ketemu arah.
Lenin juga kasih resep revolusi: ada tiga syarat.
1. Kelas atas nggak bisa memerintah dengan cara lama - buktinya, elite Nepal sendiri pada mundur.
2. Kelas bawah nggak mau hidup seperti biasa - Gen Z udah jelas nolak represi dan kemiskinan.
3. Muncul organisasi pelopor revolusioner - nah, ini yang nggak ada. Maois dan UML udah berubah jadi borjuasi merah.
Situasi objektif sebenarnya matang, tapi faktor subjektif -- partai pelopor -- masih kosong. Mirip Rusia sebelum 1917: banyak mogok, banyak kerusuhan, tapi tanpa Bolshevik, revolusi bisa gagal total.
Bagi anak muda Nepal, partai “komunis” yang ada sekarang nggak lebih dari kumpulan politisi tua dan korup. Inilah yang Gramsci sebut krisis hegemonik: rakyat nggak percaya lagi sama blok historis lama, tapi blok baru belum kebentuk.
Jadinya, Gen Z bikin jalannya sendiri -- kadang anarkis, kadang digital, kadang liar. Zaman sekarang memang begitu: revolusi sosial nggak selalu lahir dari sel-sel partai tradisional, tapi bisa dari komunitas digital yang meledak saat direpresi.
Trotsky, dalam Revolusi yang Dikhianati, kasih peringatan: krisis bisa lahirkan dua arah.
Kalau kelas pekerja nemu organisasi revolusioner ? revolusi sejati.
Kalau nggak, malah bisa muncul diktator baru dengan baju “penjaga stabilitas.”
Nepal sekarang ada di persimpangan itu. Kalau amarah Gen Z nggak ketemu bentuk politik, mereka bisa ditelan represi militer atau dijual ke kapital asing yang cuma butuh Nepal stabil demi investasi.
Tapi kalau mereka bisa gabung dengan buruh migran, tani miskin, dan berani bangun organisasi pelopor baru, Nepal bisa masuk babak revolusi beneran -- yang nggak sekadar parlementer ala “komunis” gadungan.
Jadi, kerusuhan Nepal hari ini bukanlah sisa perang Maois vs Leninist. Ini tanda kalau komunisme parlementer sudah bangkrut. Gen Z yang diputus akses medsos justru berubah jadi proletariat digital yang marah.
Seperti kata Lenin: “Tanpa teori revolusi, tidak ada gerakan revolusioner.”
Nepal sudah punya krisis, punya massa, punya amarah. Yang belum ada hanyalah organisasi revolusioner yang bisa bilang: satu-satunya jalan keluar dari Bonapartisme gagal ini adalah revolusi proletar sejati.
*Penulis adalah Direktur Jakarta Institut