Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa. (Foto: RMOL/YouTube Kemenkeu)
Pengusaha dan mantan Duta Besar Indonesia untuk Polandia, Peter F. Gontha, menyoroti pergantian Menteri Keuangan dari Sri Mulyani ke Purbaya Yudhi Sadewa (PYS).
Menurutnya, pergantian ini bukanlah sekadar rotasi kabinet biasa.
Dalam unggahannya di media sosial Facebook baru-baru ini, Peter mengakui bahwa sosok Sri Mulyani memiliki kekuatan.
"Ia adalah teknokrat kelas dunia, simbol disiplin fiskal, dan wajah Indonesia di mata internasional. Tidak mengherankan jika kepergiannya menimbulkan guncangan psikologis di pasar," ujar Peter.
Namun, ia juga menyoroti bahwa PYS memiliki hal berbeda yang tak kalah kuat walaupun gaya komunikasinya cukup keras.
Hanya beberapa menit setelah dilantik, media sosial menyoroti sikap dan kata-kata yang keluar dari mulut PYS saat diwawancarai media. Banyak netizen yang mengatakan pernyataan PSY begitu arogan dan terkesan sombong. Kritikan pun langsung mengalir. Bahkan BEM UI dalam demonya pada Selasa sore 9 September 2025 langsung menuntutnya untuk mundur.
Peter menekankan, di balik gaya komunikasi PSY yang keras, terdapat alasan strategis yang layak dipahami.
"Menggantikan figur sekelas Sri Mulyani bukan pekerjaan ringan. Ia sadar, tanpa menunjukkan keyakinan penuh sejak awal, dirinya akan segera dicap lemah dan menjadi bulan-bulanan media sosial," ujar Peter.
Bagi Peter, PYS tidak sekadar bicara fiskal dalam arti sempit.
PYS melihat akar persoalan ekonomi Indonesia, seperti perampokan sumber daya alam yang berlangsung sistematis selama puluhan tahun. Ia menegaskan bahwa bea cukai dan aparat yang bermain di ekspor-impor harus diberantas.
"Fiskal dengan pajak tidak akan menyelesaikan masalah. Yang harus dihentikan adalah praktik under-invoicing, manipulasi ekspor, dan penyelundupan hasil bumi,” demikian pesan PYS.
Praktik itu sederhana tapi menghancurkan, seperti ekspor 10 juta ton dilaporkan hanya 5 juta ton. Setengah hasil bumi hilang dari catatan resmi, sementara devisa negara bocor ke luar negeri.
"Uang disembunyikan melalui under-reporting dan ditransfer ke Singapura atau negara lain. Negara dirugikan triliunan rupiah, sementara rakyat dibebani pajak yang makin tinggi," tulis Peter.
Menurut Peters, PYS memahami bahwa jika kebocoran ini bisa ditutup, penerimaan negara akan melonjak drastis tanpa harus menambah beban fiskal rakyat.
"Itulah sebabnya ia meminta dukungan penuh dari Presiden: tanpa restu politik tertinggi, mustahil memberantas mafia ekspor-impor yang telah lama berakar, dilindungi oleh jaringan oligarki dan penguasa daerah," kata Peter.
Sikap keras PYS itu tentu akan menimbulkan banyak musuh. Oligarki yang selama ini diuntungkan dari praktik kotor tersebut tidak akan tinggal diam.
"Tetapi jika tekad ini benar-benar dijalankan, Indonesia akan menuai hasil yang nyata: kekayaan alam benar-benar dinikmati rakyat, bukan segelintir elite," tegas Peter.
Terakhir, Peter mengungkapkan bahwa apa yang ditulisnya ini untuk menegaskan bahwa gaya arogan bukanlah inti persoalan.
"Substansinya adalah perang melawan perampokan sumber daya bangsa. Inilah momentum bagi Indonesia untuk menegakkan kedaulatan ekonomi," tandasnya.
PYS sedang berjudi dengan reputasi dan kariernya, dan ia sendiri sadar risikonya. Tetapi jika berhasil, sejarah akan mencatatnya sebagai menteri yang mengembalikan kekayaan bangsa ke pangkuan rakyat.