Berita

Ilustrasi (Foto: Artificial Intelegence)

Publika

Sekolah Rakyat: Dari Perjuangan Kemerdekaan hingga Skema Perampokan APBN Gaya Baru

SENIN, 08 SEPTEMBER 2025 | 12:21 WIB | OLEH: FIRMAN TENDRY MASENGI

ISTILAH Sekolah Rakyat memiliki sejarah panjang yang sarat dengan makna ideologis, praksis, dan politis. Dalam lintasan sejarah bangsa Indonesia, istilah ini pernah menjadi simbol emansipasi pengetahuan pada masa pergerakan kemerdekaan, kemudian diadopsi kembali dalam fase awal Indonesia merdeka, dan kini dipakai ulang oleh Kementerian Sosial RI (Kemensos) dalam program-program sosialnya. 

Namun, alih-alih menjadi instrumen pembebasan rakyat dari kebodohan struktural, Sekolah Rakyat versi Kemensos justru patut dicurigai sebagai modus baru perampokan APBN melalui bahasa populis yang menipu. Untuk memahami kontradiksi ini, perlu dilakukan analisis kritis komparatif atas tiga fase historis Sekolah Rakyat.

Sekolah Rakyat pada Masa Pergerakan Kemerdekaan



Pada masa kolonial dan pergerakan nasional, Sekolah Rakyat lahir sebagai inisiatif dari organisasi rakyat, gerakan politik, dan kelompok pergerakan yang ingin membebaskan rakyat dari kebodohan akibat politik etis kolonial yang diskriminatif. Tokoh-tokoh pergerakan seperti Ki Hadjar Dewantara, Sutan Takdir Alisjahbana, hingga kelompok pergerakan bawah tanah membangun sistem pendidikan alternatif yang menekankan:

1. Emansipasi pengetahuan – pendidikan bukan hanya soal baca-tulis, tetapi kesadaran politik.

2. Kemandirian rakyat – sekolah dibangun dengan gotong royong masyarakat, tanpa bergantung pada negara kolonial.

3. Ideologi kebangsaan – Sekolah Rakyat menjadi ruang pembibitan nasionalisme, anti-penindasan, dan solidaritas sosial.

Sekolah semacam ini tidak memiliki dana besar, tidak berhubungan dengan APBN, namun ia kaya secara ideologis. Ia memerdekakan pikiran anak-anak bangsa, melahirkan kader pergerakan, dan menanamkan nilai keberanian melawan ketidakadilan.

Sekolah Rakyat Awal Indonesia Merdeka

Ketika Indonesia baru merdeka, Sekolah Rakyat menjadi bagian dari sistem pendidikan formal. Pemerintah menyadari bahwa buta huruf adalah musuh besar pembangunan bangsa. Karena itu, Sekolah Rakyat di masa ini diarahkan sebagai:

1. Instrumen rekonstruksi nasional – menghapus buta huruf secara cepat dan massif.

2. Alat pemerataan pendidikan – agar rakyat jelata bisa merasakan pendidikan dasar.

3. Legitimasi negara baru – sekolah menjadi simbol bahwa negara hadir untuk mencerdaskan kehidupan bangsa sebagaimana amanat UUD 1945.

Pada fase ini, Sekolah Rakyat masih memiliki misi ideologis: mencerdaskan rakyat agar mereka tidak lagi ditindas. Meski masih sederhana, penuh keterbatasan, dan terkadang hanya berupa bangunan darurat, Sekolah Rakyat awal kemerdekaan menjadi pondasi pendidikan nasional.

Sekolah Rakyat Versi Kemensos RI Hari Ini


Berbeda jauh dengan dua fase sebelumnya, Sekolah Rakyat versi Kemensos RI hari ini lebih tampak sebagai proyek administratif dengan jargon populis. Alih-alih lahir dari kebutuhan ideologis rakyat, ia muncul dari desain birokrasi yang sarat kepentingan anggaran. Ada beberapa kritik mendasar:

1. Dekontekstualisasi sejarah
Nama Sekolah Rakyat dipakai ulang tanpa memahami sejarah dan ideologi yang melahirkannya. Program ini kehilangan ruh emansipasi, hanya tinggal label untuk proyek sosial.

2. APBN sebagai ladang rente
Program ini potensial menjadi skema perampokan APBN gaya baru. Melalui justifikasi pemberdayaan masyarakat, anggaran digelontorkan tanpa arah jelas, dengan output yang sulit diukur. Alih-alih memerdekakan rakyat, justru memperdalam ketergantungan pada negara birokratis.

3. Populisme semu
Alih-alih memandirikan masyarakat, program ini cenderung karitatif. Ia menyalurkan bantuan dengan label pendidikan, padahal substansinya tidak membangun kesadaran kritis. Rakyat hanya diposisikan sebagai penerima pasif, bukan subjek emansipasi.

4. Ketiadaan orientasi ideologis
Jika Sekolah Rakyat masa pergerakan dan awal kemerdekaan menanamkan nasionalisme dan kesadaran kebangsaan, maka versi Kemensos hari ini nihil ideologi. Ia steril dari gagasan kebangsaan, digantikan oleh logika proyek dan tender.

Kritik Ideologis: Dari Emansipasi ke Komodifikasi

Perbedaan paling mencolok antara ketiga fase Sekolah Rakyat adalah pergeseran orientasi:

Masa pergerakan -- rakyat membangun sekolah untuk memerdekakan diri dari kolonialisme.

Awal kemerdekaan -- negara baru membangun sekolah untuk mencerdaskan bangsa dan melegitimasi kemerdekaan.

Kemensos hari ini  -- birokrasi menggunakan label sekolah untuk menyedot APBN dengan dalih pemberdayaan.

Dengan kata lain, Sekolah Rakyat kini telah tereduksi menjadi instrumen komodifikasi pendidikan. Sejarahnya yang penuh makna ideologis dipreteli, lalu dipakai untuk mempercantik program populis yang miskin makna, namun kaya anggaran.

Dugaan Perampokan APBN Gaya Baru

Alokasi anggaran untuk Sekolah Rakyat cukup besar. Pertahun senilai Rp. 1,19 Triliun. Hingga 2029 tak kurang hampir Rp. 5 Trilyun. Dana sebesar ini rawan penyimpangan, penyelewengan dan korupsi. Kuat dugaan program ini demi kepentingan beberapa partai politik terutama Menteri dan Wamennya. 

Kritik terhadap Sekolah Rakyat versi Kemensos tidak bisa dilepaskan dari pola umum belanja sosial pemerintah hari ini. Program-program bantuan sosial, pelatihan, atau pemberdayaan rakyat seringkali menjadi “ladang rente” melalui:

1. Mark-up anggaran – biaya operasional dilebihkan tanpa hasil nyata.

2. Proyek fiktif – kegiatan dilaporkan seolah berjalan, padahal di lapangan minim aktivitas.

3. Tender oligarkis – proyek jatuh ke tangan segelintir pengusaha yang dekat dengan elit politik.

4. Ketergantungan rakyat – rakyat dibentuk untuk terus menerima bantuan, bukan untuk mandiri.

Dengan demikian, Sekolah Rakyat versi Kemensos lebih tepat dibaca sebagai teknologi pengendalian sosial ketimbang pendidikan pembebasan. Ia bukan sekolah dalam arti mencerdaskan, melainkan proyek politik untuk mempertahankan status quo melalui ilusi partisipasi rakyat yang semu.

Alternatif Jalan Keluar: Sekolah Rakyat Emansipatoris


Kritik tanpa solusi akan berakhir pada keputusasaan. Karena itu, penting mengajukan alternatif agar Sekolah Rakyat kembali pada jalurnya sebagai sarana emansipasi rakyat:

1. Sekolah berbasis komunitas
Alih-alih dikelola birokrasi pusat, Sekolah Rakyat seharusnya dibangun atas inisiatif komunitas lokal dengan dukungan negara. Negara hanya fasilitator, rakyatlah yang menjadi pengelola.

2. Pendidikan kritis dan transformatif
Kurikulum tidak boleh sekadar pelatihan keterampilan teknis, tetapi harus mengandung pendidikan politik, kesadaran sosial, dan pengetahuan yang menantang struktur ketidakadilan.

3. Transparansi anggaran
Setiap rupiah dari APBN harus bisa diaudit terbuka oleh publik, sehingga Sekolah Rakyat tidak berubah menjadi ladang rente. Model participatory budgeting wajib diterapkan.

4. Kolaborasi lintas sektor
Gerakan rakyat, perguruan tinggi, organisasi masyarakat sipil, dan negara perlu membentuk konsorsium bersama dalam merancang pendidikan rakyat. Dengan begitu, program tidak jatuh menjadi proyek tunggal kementerian.

Dengan pendekatan ini, Sekolah Rakyat bisa keluar dari jebakan populisme birokratis dan kembali menjadi ruang pembebasan, tempat rakyat belajar bukan hanya untuk hidup, tetapi juga untuk melawan.


Perbandingan Konseptual: Ki Hajar Dewantara, Ivan Illich, dan Paulo Freire

Untuk menegaskan alternatif Sekolah Rakyat yang emansipatoris, penting menempatkannya dalam konteks gagasan pendidikan progresif. Tiga pemikir yang relevan adalah:

1. Ki Hajar Dewantara: Pendidikan sebagai Pembebasan dan Kebangsaan

Ki Hajar Dewantara menekankan konsep tut wuri handayani – pendidikan harus menempatkan murid sebagai subjek, bukan objek. Ia percaya pendidikan adalah sarana pembebasan dari kebodohan struktural sekaligus alat membentuk karakter kebangsaan.

Relevansi:

Sekolah Rakyat versi pergerakan dan awal kemerdekaan selaras dengan gagasan ini. Murid menjadi bagian dari proses pembelajaran, bukan hanya penerima informasi.

Versi Kemensos hari ini justru berlawanan: rakyat diposisikan sebagai penerima pasif bantuan, bukan peserta aktif dalam pendidikan.

2. Ivan Illich: Pendidikan sebagai Ruang Kebebasan, Bukan Birokrasi

Illich, melalui Deschooling Society, menekankan bahwa pendidikan formal birokratis cenderung menindas kreativitas dan menguntungkan sistem ekonomi-politik tertentu. Pendidikan seharusnya bersifat jaringan, mandiri, dan berbasis komunitas, bukan proyek kementerian.

Relevansi:

Alternatif Sekolah Rakyat berbasis komunitas, transparansi anggaran, dan partisipasi luas sangat sejalan dengan gagasan Illich.

Gagasan Illich memberi legitimasi kritik terhadap proyek Kemensos yang bersifat birokratis, terfragmentasi, dan rawan menjadi ladang rente.

3. Paulo Freire: Pendidikan sebagai Praktik Kebebasan dan Kesadaran Kritis

Freire menekankan pendidikan problematis: murid bukan sekadar objek belajar, tetapi subjek yang kritis terhadap dunia dan struktur ketidakadilan. Pendidikan adalah alat pembebasan dari penindasan sosial dan ekonomi.

Relevansi:

Sekolah Rakyat abad ke-21 yang menekankan literasi digital kritis, pendidikan politik warga, dan ekonomi rakyat mengikuti spirit Freire.

Program Kemensos saat ini gagal memenuhi prinsip ini karena lebih menekankan bantuan administratif daripada pembentukan kesadaran kritis dan kemandirian rakyat.

Sintesis Konseptual

Jika digabungkan:

Ki Hajar Dewantara -- menekankan nasionalisme dan subjek aktif dalam pendidikan.

Ivan Illich -- menekankan pendidikan mandiri, berbasis komunitas, anti-birokrasi.

Paulo Freire -- menekankan pendidikan problematis, pembebasan, dan kesadaran kritis.

Alternatif Sekolah Rakyat abad ke-21 idealnya mengintegrasikan ketiga gagasan ini: pendidikan memerdekakan, mandiri, kritis, dan tetap berbasis rakyat, bukan birokrasi dan proyek pemerintah yang mudah diselewengkan.

Last but not least. Dekolah Rakyat dalam sejarah Indonesia adalah simbol perlawanan, kemandirian, dan pembebasan rakyat dari kebodohan struktural. Ia lahir dari rakyat dan untuk rakyat. Namun hari ini, istilah yang sama direduksi menjadi sekadar label proyek birokratis yang rentan korupsi. Jika dibiarkan, Sekolah Rakyat versi Kemensos akan menjadi bukti nyata bagaimana sejarah diperkosa untuk kepentingan rente politik dan ekonomi.

Alternatif yang diusulkan, berbasis komunitas, pendidikan kritis, transparansi, dan kolaborasi lintas sektor, serta terinspirasi dari Ki Hajar Dewantara, Ivan Illich, dan Paulo Freire, dapat mengembalikan Sekolah Rakyat ke jalurnya: sebagai ruang pembebasan, pendidikan kritis, dan basis kemandirian rakyat. Hanya dengan demikian APBN benar-benar menjadi instrumen transformasi sosial, bukan ladang perampokan gaya baru. 


Penulis adalah Advokat/Aktivis ProDem


Populer

Bobby dan Raja Juli Paling Bertanggung Jawab terhadap Bencana di Sumut

Senin, 01 Desember 2025 | 02:29

NU dan Muhammadiyah Dikutuk Tambang

Minggu, 30 November 2025 | 02:12

Padang Diterjang Banjir Bandang

Jumat, 28 November 2025 | 00:32

Sergap Kapal Nikel

Kamis, 27 November 2025 | 05:59

Peluncuran Tiga Pusat Studi Baru

Jumat, 28 November 2025 | 02:08

Bersihkan Sisa Bencana

Jumat, 28 November 2025 | 04:14

Evakuasi Banjir Tapsel

Kamis, 27 November 2025 | 03:45

UPDATE

Tragedi Nasional dari Sumatra dan Suara yang Terlambat Kita Dengarkan

Jumat, 05 Desember 2025 | 15:44

Produktivitas Masih di Bawah ASEAN, Pemerintah Susun Langkah Percepatan

Jumat, 05 Desember 2025 | 15:41

Lewat Pantun Cak Imin Serukan Perbaiki Alam Bukan Cari Keributan

Jumat, 05 Desember 2025 | 15:38

Bank Mandiri Sabet 5 Penghargaan BI

Jumat, 05 Desember 2025 | 15:27

Liga Muslim Dunia Siap Lobi MBS untuk Permudah Pembangunan Kampung Haji Indonesia

Jumat, 05 Desember 2025 | 15:18

Banjir Rob di Pesisir Jakarta Berangsur Surut

Jumat, 05 Desember 2025 | 15:13

RI–Timor Leste Sepakat Majukan Koperasi

Jumat, 05 Desember 2025 | 15:08

Revisi UU Cipta Kerja Mendesak di Tengah Kerusakan Hutan Sumatera

Jumat, 05 Desember 2025 | 14:57

Bahlil Telusuri Dugaan Keterkaitan Tambang Martabe dengan Banjir Sumut

Jumat, 05 Desember 2025 | 14:48

BI: Cadangan Devisa RI Rp2.499 Triliun per Akhir November 2025

Jumat, 05 Desember 2025 | 14:39

Selengkapnya