PUBLIK Indonesia dikejutkan dengan penetapan Nadiem Makarim sebagai tersangka kasus dugaan korupsi pengadaan Chromebook dalam program digitalisasi pendidikan tahun 2019-2022. Kasus ini diduga merugikan negara sebesar Rp1,98 triliun. Ironi yang mendalam hadir ketika sosok yang dikenal sebagai pendiri Gojek, lulusan Harvard, dan inovator ekonomi grassroot, kini menghadapi jeratan hukum yang sama dengan koruptor pada umumnya.
Nadiem Makarim adalah representasi generasi baru Indonesia, seorang inovator yang sukses membangun ekosistem digital yang memberdayakan jutaan driver ojek online dan merchant UMKM. Bersama Kevin Aluwi dan Michaelangelo Moran, ia mendirikan Gojek pada 2010–sebuah platform yang mengubah paradigma transportasi dan ekonomi digital Indonesia. Dengan latar belakang pendidikan di Harvard Business School, Nadiem membawa visi transformasi digital yang berpihak pada ekonomi rakyat. Gojek tidak hanya menciptakan solusi transportasi, tetapi juga membuka lapangan kerja bagi jutaan driver ojek, pedagang, dan pelaku UMKM. Platform ini menjadi katalisator ekonomi grassroot yang memberdayakan masyarakat kelas menengah ke bawah–sebuah inovasi yang seharusnya menjadi kebanggaan Indonesia.
Namun, ketika Nadiem bergabung dengan Kabinet Indonesia Maju bentukan Joko Widodo pada 2019, perjalanannya mengambil arah yang berbeda. Dari seorang inovator di luar sistem, ia menjadi bagian dari birokrasi pemerintahan yang penuh dengan regulasi, kepentingan politik, dan godaan korupsi. Berdasarkan investigasi Kejaksaan Agung, Nadiem diduga melakukan pertemuan dengan Google Indonesia untuk membahas program Google for Education dengan produk Chromebook, Chrome OS, dan Chrome Device Management (CDM). Dari serangkaian pertemuan tersebut, disepakati bahwa pengadaan perangkat teknologi informasi dan komunikasi (TIK) di Kemendikbudristek akan menggunakan Chromebook.
Pada 6 Mei 2020, Nadiem menggelar rapat daring bersama sejumlah pejabat yang mewajibkan penggunaan headset atau alat sejenisnya yang membahas pengadaan Chromebook sebagaimana perintah dari Nadiem, padahal saat itu pengadaan alat TIK ini belum dimulai. Lebih mengkhawatirkan lagi, sebelumnya Menteri Pendidikan Muhadjir Effendy tidak merespons penawaran serupa dari Google Indonesia karena uji coba pengadaan Chromebook pada 2019 gagal dan tidak bisa dipakai untuk sekolah di wilayah 3T. Namun saat kepemimpinan Nadiem, surat dari Google mendapat respons positif. Kasus ini bukan hanya soal korupsi biasa, tetapi juga mencerminkan bagaimana sistem dapat mengubah perspektif dan prioritas seseorang. Nadiem yang sebelumnya berfokus pada inovasi dan solusi praktis, tampaknya terjebak dalam permainan kepentingan korporasi dan birokrasi.
Bangkitnya Generasi Baru: Anak-Anak Muda yang Berani Bersuara
DI tengah kekecewaan terhadap kasus Nadiem, muncul fenomena menarik dari generasi muda Indonesia yang menunjukkan sikap kritis dan berani bersuara. Berbagai tokoh muda dengan prestasi cemerlang mulai vokal mengkritisi sistem dan menuntut perubahan. Ferry Irwandi, lahir 16 Desember 1991, adalah seorang pembuat konten, selebriti internet dan aktivis asal Indonesia. Ia dikenal luas karena konten-konten yang membahas isu-isu politik, pendidikan, filsafat Stoikisme, serta fenomena sosial. Ferry merupakan mantan PNS di Kementerian Keuangan yang memutuskan mengundurkan diri pada November 2022 untuk fokus sebagai pembuat konten.
Pada tahun 2023, Ferry bersama beberapa selebriti internet seperti Jerome Polin dan Coki Pardede meluncurkan Malaka Project di Djakarta Theater. Proyek ini bertujuan meningkatkan kualitas dan akses pendidikan sebagai kontribusi untuk visi Indonesia Emas 2045. Yang menarik dari Ferry adalah kemampuannya menganalisis persoalan dengan logika sederhana namun tajam. Ia melontarkan kritik pedas pada pemerintah dalam talkshow dengan judul "Aksi Massa, Siapa Berada di Baliknya" dan menyatakan bahwa terdapat puluhan ribu akun buzzer anonim hingga pengungkapan dalang kerusuhan. Ferry tidak hanya mengkritik, tetapi juga membangun solusi konkret melalui pendidikan. Malaka Project bahkan berencana mendirikan perguruan tinggi sendiri yang tidak terjebak dalam birokrasi, mengajak rakyat berdiskusi soal kehidupan dan ketimpangan dengan target pembangunan kampus sekitar tahun 2030.
Jerome Polin Sijabat lahir 2 Mei 1998, adalah seorang YouTuber, selebriti internet, dan guru matematika berkebangsaan Indonesia. Jerome menyelesaikan kuliah tingkat Strata 1 (S1) di Universitas Waseda, Shinjuku, Tokyo, Jepang, program studi matematika terapan dengan predikat cumlaude. Yang membuat Jerome istimewa adalah keberaniannya turun langsung dalam aktivisme politik. Ia menjadi salah satu inisiator "17+8 Tuntutan Rakyat" yang didesak untuk dipenuhi pemerintah dengan deadline 5 September 2025 dan menyerahkan tuntutan tersebut langsung ke DPR RI. Jerome mengaku bahwa ini merupakan kali pertama dirinya turun ke jalanan untuk menyampaikan aspirasi sebagai rakyat Indonesia, meski banyak orang yang kontra dan menyebutnya sebagai provokator maupun buzzer. Namun ia tetap fokus pada tujuan keadilan dan hak rakyat.
Andovi da Lopez lahir di Jakarta pada 6 Januari 1994 dengan nama lengkap Azevedo Andovireska Adikara da Lopez. Ia memiliki darah Flores dari ayahnya dan keturunan Manado dari ibunya yang berprofesi sebagai diplomat. Pendidikan di Fakultas Hukum Universitas Indonesia memberikan bekal intelektual yang kuat. Andovi ikut demonstrasi kawal putusan MK pada 22 Agustus 2024 dan melakukan orasi di depan Gedung DPR RI pada 29 Agustus 2025 terkait meninggalnya Affan Kurniawan. Yang menarik, latar belakang keluarganya juga aktivis--ayahnya adalah Ketua Dewan Mahasiswa Atmajaya yang terlibat di Gerakan Malari tahun 1974 dan Gerakan Mahasiswa 1977-1978.
Erwina Salsabila yang dikenal sebagai Salsa Erwina Hutagalung, lahir 23 Maret 1992, adalah seorang pembuat konten dan aktivis. Ia merupakan diaspora Indonesia yang menetap di Aarhus, Denmark. Prestasi akademiknya cemerlang sebagai lulusan terbaik Hubungan Internasional UGM dengan IPK 3,81, Mahasiswa Berprestasi 2014, dan mencapai babak perempat final World Universities Debating Championship. Salsa menjadi viral setelah melayangkan tantangan debat terbuka kepada Wakil Ketua Komisi III DPR RI, Ahmad Sahroni, sebagai respons atas pernyataannya yang menggunakan istilah "orang tolol sedunia" saat menanggapi tuntutan pembubaran DPR. Salsa juga menjadi salah satu inisiator "17+8 Tuntutan Rakyat" dengan target waktu penyelesaian yang dibagi menjadi 17 tuntutan jangka pendek dalam satu minggu dan 8 tuntutan jangka panjang dalam satu tahun.
Bayangan Masa Lalu
Fenomena generasi muda yang kritis saat ini mengingatkan kita pada tragedi Reformasi 1998. Namun ada perbedaan mendasar yang perlu dicermati antara aktivis 1998 dengan generasi sekarang. Fahri Hamzah merupakan mantan aktivis yang kini menjadi politikus Indonesia. Dia pernah menjabat sebagai Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat periode 2014 hingga 2019 dan sempat berada di bawah naungan Partai Keadilan Sejahtera sejak 2004 hingga 2016. Adian Yunus Yusak Napitupulu atau lebih dikenal Adian Napitupulu merupakan mantan aktivis 98 yang kini menjabat sebagai anggota DPR Fraksi PDI Perjuangan. Budiman Sudjatmiko adalah aktivis reformasi yang terlibat dalam mendirikan dan memimpin Partai Rakyat Demokratik. Pada periode 2009-2019, Budiman berhasil menjabat sebagai anggota DPR RI di daerah pemilihan Jawa Tengah VIII dan Kabupaten Cilacap.
Ironisnya, banyak dari aktivis 1998 yang kini justru menjadi bagian dari sistem yang mereka kritik dulu. Perubahan yang mereka perjuangkan pada akhirnya lebih mengubah "nasib" pribadi mereka daripada mengubah sistem secara fundamental. Berbeda dengan aktivis 1998 yang sebagian besar masih mahasiswa, generasi muda kritis saat ini sudah mandiri secara ekonomi. Ferry Irwandi adalah mantan PNS yang memilih resign, Jerome Polin adalah pengusaha sukses, Andovi da Lopez adalah kreator konten mapan, dan Salsa Erwina adalah profesional global. Mereka tidak lagi memikirkan ekonomi pribadi karena di usia muda sudah memiliki stabilitas finansial. Mereka tidak tergantung pada partai politik atau kepentingan kelompok tertentu. Kritik mereka murni lahir dari keresahan terhadap kondisi bangsa, bukan karena ambisi politik atau ekonomi pribadi.
Generasi ini juga memanfaatkan media sosial dan platform digital untuk menyuarakan pendapat mereka. Mereka tidak perlu turun ke jalan secara masif, tetapi mampu menggerakkan opini publik melalui konten yang viral dan persuasif. Banyak dari mereka memiliki pendidikan tinggi di luar negeri atau pengalaman internasional. Hal ini memberikan perspektif global yang membantu mereka memahami praktik terbaik dari negara lain. Kasus Nadiem Makarim menimbulkan pertanyaan krusial apakah mereka yang kritis terhadap sistem seharusnya masuk ke dalam sistem untuk mengubahnya dari dalam, atau tetap berada di luar untuk menjaga independensi mereka.
Masuk ke dalam sistem memberikan dampak langsung karena hanya dengan posisi di pemerintahan seseorang dapat membuat kebijakan langsung yang berdampak pada masyarakat luas. Posisi tersebut juga memberikan akses ke anggaran negara dan infrastruktur birokrasi untuk merealisasikan program-program reformasi, serta legitimasi institusional dimana kebijakan yang dibuat dari dalam sistem memiliki kekuatan hukum dan institusional yang lebih kuat. Namun di sisi lain, berada di luar sistem memungkinkan seseorang untuk mengkritik tanpa terikat kepentingan politik atau birokrasi. Kasus Nadiem menunjukkan bahwa sistem dapat mengubah seseorang, bahkan yang dulunya adalah inovator dan reformer. Di era digital, pengaruh tidak selalu harus melalui jabatan formal karena platform media sosial dan konten digital dapat memberikan dampak yang sama besarnya.
Diagnosis dan Resep: Antara Pesimisme dan Harapan Indonesia
Mungkin jawaban terbaik bukan memilih salah satu, tetapi menciptakan ekosistem perubahan yang melibatkan kedua pendekatan. Perlu ada kader-kader muda berkualitas yang siap masuk ke sistem dengan integritas tinggi dan visi reformasi yang jelas. Harus ada kelompok independen yang tetap berada di luar sistem untuk mengawasi dan mengkritik mereka yang berada di dalam. Mereka yang masuk ke sistem sebaiknya memiliki batasan waktu yang jelas untuk mencegah kooptasi jangka panjang. Diperlukan juga mekanisme transparansi yang kuat agar mereka yang masuk sistem tetap dapat diawasi oleh publik.
Kasus Nadiem dan fenomena generasi muda kritis menunjukkan beberapa hal penting tentang sistem politik Indonesia. Fakta bahwa seorang inovator seperti Nadiem dapat terjerat korupsi menunjukkan betapa dalamnya akar korupsi dalam sistem birokrasi Indonesia. Sistem ini tidak hanya mengkorupsi uang, tetapi juga mengkorupsi mental dan integritas seseorang. Diperlukan reformasi struktural yang mendasar, bukan hanya pergantian orang. Sistem pengadaan, mekanisme checks and balances, dan budaya birokrasi harus diubah secara fundamental. Di sisi lain, kemunculan generasi muda yang kritis dan berani menunjukkan bahwa Indonesia memiliki potensi besar untuk perubahan. Mereka tidak hanya pandai mengkritik, tetapi juga mampu memberikan solusi konstruktif dalam era baru aktivisme digital dimana aktivisme tidak lagi terbatas pada demonstrasi di jalan.
Berdasarkan analisis tersebut, beberapa langkah strategis dapat direkomendasikan. Sistem pengadaan pemerintah harus dirombak total dengan prinsip transparansi, kompetisi sehat, dan akuntabilitas dimana setiap tahap pengadaan harus dapat diawasi oleh publik secara real-time. KPK dan lembaga anti-korupsi lainnya harus diperkuat dengan kewenangan yang lebih luas dan independensi yang terjamin serta dilengkapi teknologi untuk pencegahan, bukan hanya penindakan. Pemerintah harus menyediakan platform digital yang memungkinkan partisipasi langsung masyarakat dalam proses pembuatan kebijakan, seperti yang telah dilakukan oleh Estonia dan Taiwan. Perlu ada mekanisme yang memastikan regenerasi kepemimpinan dengan melibatkan talenta-talenta muda terbaik, baik dari dalam maupun luar negeri. Sistem pendidikan harus menekankan pendidikan karakter dan integritas sejak dini, tidak hanya fokus pada prestasi akademik.
Kasus Nadiem Makarim adalah cermin yang menyakitkan tentang kondisi sistem politik Indonesia saat ini. Seorang inovator yang seharusnya menjadi harapan perubahan, justru terjerat dalam praktik korupsi yang ia mungkin tidak pernah bayangkan sebelumnya. Ini menunjukkan betapa sistemik dan menularnya korupsi dalam birokrasi Indonesia. Namun, kemunculan generasi muda seperti Ferry Irwandi, Jerome Polin, Andovi da Lopez, dan Salsa Erwina Hutagalung memberikan secercah harapan. Mereka menunjukkan bahwa masih ada anak bangsa yang berani bersuara, memiliki integritas, dan tidak tergiur oleh kepentingan sesaat. Yang lebih penting, mereka memiliki kemandirian ekonomi dan platform yang memungkinkan mereka untuk tetap kritis tanpa harus tergantung pada sistem yang korup.
Pertanyaan besar yang tersisa adalah akankah generasi ini mampu menciptakan perubahan yang fundamental, ataukah mereka akan mengalami nasib yang sama dengan aktivis 1998 yang pada akhirnya terkooptasi oleh sistem. Jawabannya mungkin terletak pada kemampuan kita semua sebagai masyarakat untuk menciptakan ekosistem yang mendukung perubahan. Sistem tidak akan berubah dengan sendirinya. Diperlukan kombinasi antara tekanan dari luar, reformasi dari dalam, dan dukungan masyarakat yang konsisten. Kasus Nadiem mengajarkan kita bahwa masuk ke dalam sistem tanpa persiapan yang matang dan dukungan ekosistem yang kuat dapat berujung pada kegagalan. Namun, fenomena generasi muda kritis saat ini juga menunjukkan bahwa perubahan masih mungkin, asalkan kita semua berkomitmen untuk mewujudkannya.
Indonesia berada di persimpangan jalan. Kita bisa memilih untuk tetap terjebak dalam lingkaran setan korupsi dan status quo, atau berani mengambil langkah radikal untuk perubahan fundamental. Pilihan ada di tangan kita semua, dan sejarah tidak akan menghakimi kita dari seberapa tinggi jabatan yang kita raih, tetapi dari seberapa besar perubahan positif yang kita berikan untuk bangsa ini.
*Penulis adalah pemerhati kebangsaan, diaspora Indonesia di China