SEJAK kelahirannya, intelektual selalu menjadi aktor yang rawan disalahpahami. Ia digadang sebagai cahaya peradaban, tetapi sekaligus bisa berubah menjadi obor yang membakar. Di satu sisi, intelektual adalah sosok dengan kejernihan pikiran, ketajaman analisis, dan kepekaan atas zaman. Namun di sisi lain, ia juga bisa menjadi instrumen kekuasaan, alat legitimasi, bahkan boneka yang kehilangan otonomi nurani. Ali Syari’ati pernah menekankan peran rausyan fikr, intelektual tercerahkan, yang bukan sekadar tahu, tetapi juga terlibat, bergerak, dan berkomitmen terhadap pembebasan umat manusia (Syari’ati, 1995).
Sementara itu, Michel Foucault menggariskan konsep parrhesia, keberanian berbicara kebenaran meskipun itu berisiko terhadap keselamatan dirinya (Foucault, 2018). Dari dua spektrum ini, kita tahu bahwa intelektual selalu berada di antara dua kutub: mengabdi pada kebenaran, atau terjerembab pada pengkhianatan.
Julian Benda sudah lama menuding intelektual sebagai pengkhianat ketika mereka menukar nalar dengan privilese politik, ketika mereka lebih memilih menjadi pelayan penguasa ketimbang menjadi saksi kebenaran (Benda, 1997). Kritik Benda seakan menemukan rumahnya di Indonesia, negeri yang tidak kekurangan intelektual, tetapi justru kelebihan intelektual yang rela bercumbu dengan kekuasaan. Herbert Marcuse menyebut ini sebagai konseksuensi rasionalitas instrumental, dimana akal yang kehilangan nilai moral, sehingga bisa dipakai untuk membenarkan apa saja, bahkan penindasan (Marcuse, 1964).
Maka kita sering menyaksikan demokrasi yang berjalan secara prosedural, tetapi substansinya hampa. Undang-undang lahir dengan bahasa yang rapi, tetapi tujuannya busuk. Kebijakan dirumuskan dengan logika ilmiah, tetapi menegasikan kemanusiaan. Intelektual seketika itu berubah menjadi teknokrat, yang menjustifikasi salah dengan dalih kebenaran formal. Karena itu, Nassim Nicholas Taleb menyebut bahwa tidak ada yang membedakan kita dengan mereka, kecuali cara bicaranya untuk mengibuli (Taleb, 2020).
Atas dasar itulah, kita perlu mencari dimana nurani intelektual kita? Sebab, di ruang akademik, kita sering melihat kebisuan yang memekakkan, di ruang aktivisme, kita menyaksikan kooptasi, di ruang politik, kita menemukan intelektual yang lebih sibuk menjaga relasi patron daripada menjaga martabat. Di Indonesia, ada satu tokoh bernama Cornelis Lay yang mengingatkan bahwa intelektual seharusnya mengambil jalan ketiga, tidak larut dalam kuasa, tetapi juga tidak semata memusuhinya. Jalan ketiga adalah menjadikan ilmu pengetahuan sebagai kekuatan yang berpadu dengan nasionalisme, sehingga kekuasaan ditempatkan sebagai alat perjuangan, bukan tujuan (Pratikno. dkk, 2010). Dengan begitu, intelektual bukan sekadar teknisi, melainkan pelaku moral yang menyadari bahwa setiap analisis, setiap kata, dan setiap tindakanya adalah pertaruhan bagi nasib orang banyak.
Hati Nurani sebagai Kompas
Intelektual tanpa hati nurani hanyalah mesin kalkulasi, mereka cerdas, tetapi dingin, Ia rasional, tetapi kosong. Hati nurani sejatinya adalah kompas yang menjaga intelektual agar tidak tersesat dalam godaan kuasa. Bonaventura, dalam tradisi filsafat abad pertengahan, memahami hati nurani (conscientia) sebagai pusat moral manusia, yang menjadi penghubung antara akal dan kebenaran ilahi (1992). Tanpa nurani, intelektual bisa saja mahir menyusun argumen, tetapi kehilangan arah; ia pandai menafsir realitas, tetapi gagal memberi makna kemanusiaan.
Indonesia hari-hari ini sangat butuh intelektual yang menjadikan nurani sebagai kompas. Sebab penindasan sudah terjadi sistemik, rakyat kecil ditindas dengan aturan yang tak berpihak, sumber daya alam dieksploitasi atas nama pembangunan, dan demokrasi dijual murah dalam siklus lima tahunan. Di tengah situasi ini, intelektual sejatinya harus hadir, tidak sekadar mengkritik dari pinggiran, tetapi terlibat aktif untuk membenahi bangsa dan itu tidak terbatas hanya ada di dalam kekuasaan. Artinya, mereka tidak boleh berhenti pada retorika akademik yang steril, melainkan harus menjadikan keilmuannya sebagai alat perjuangan sosial.
Hati nurani adalah kekuatan yang menahan intelektual agar tidak jatuh menjadi “pedagang kebenaran”. Dengan nurani, intelektual akan tetap berani mengatakan yang benar, meskipun ia sendiri terancam. Dengan nurani, intelektual sadar bahwa tanggung jawabnya bukan hanya pada kampus, jurnal, atau kekuasaan, tetapi pada mereka-mereka yang terpinggirkan. Nurani itulah yang menjadikan intelektual mampu menyatu dengan denyut nadi bangsa, bersuara di ruang akademik, berteriak di jalanan, dengan gawainya ia menyerukan kebenaran, dekat dengan persoalan rakyat, dan berdiri tegak melawan kekuasaan yang menindas. Sebab sekali lagi, tanpa hati nurani, intelektual hanyalah bayangan kosong yang sibuk menghitung, tapi gagal menuntun.
*Penulis adalah Co Founder Generasi Microfon