Anggota polisi berjalan usai upacara penutupan pelatihan Tim Patroli Perintis Presisi di Polda Metro Jaya, Jakarta, Selasa 30 November 2021. (Foto: ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan/wsj)
PARADIGMA kepolisian sesuai UU No. 2 Tahun 2002 memosisikan sistem sentralistik (Centralized System of Policing) perlu diubah agar relevan mengikuti asas keterbukaan dan profesionalitas.
Jika kita menengok Kembali tuntutan reformasi TNI dan Polri, pemisahan Polri dari TNI sebetulnya baru langkah awal reformasi kepolisian.
Polri berdiri sendiri menandai kepolisian adalah aparatur sipil. Kendati memiliki kewenangan memegang senjata, tetapi senjata hanya digunakan untuk bertindak preventif dan preemtif, bukan intensi membunuh pihak musuh.
Sejarah kelam dwi-fungsi ABRI di masa orde baru pelajaran berharga. Kini TNI relatif sudah menjaga jarak terhadap kepentingan politik praktis sejalan UU No. 34 Tahun 2004.
Konsistensi TNI hendaknya diikuti oleh Polri. Karena itu, reformasi Polri fase berikutnya menata kelembagaan kepolisian.
Struktur kelembagaan kepolisian sangat sentralistik tak ubahnya seperti TNI. Padahal polisi bukan kombatan. Berbeda dengan TNI yang memang bertugas menurut garis komando, sementara fungsi polisi menegakkan hukum berdasarkan fakta hukum sesuai locus delicti.
Mengkaji lebih jauh soal kelembagaan kepolisian, kita bisa membandingkan model Amerika Serikat yang terpisah (Fragmented System of Policing) antara polisi federal dan negara bagian atau model Jepang membuka desentralisasi kepada prefektur yang merupakan sistem campuran (Integrated System of Policing).
Memang model Amerika Serikat sulit diterapkan, mengingat bentuk negara federal tidak kompatibel dengan negara kesatuan.
Namun standar profesionalitas polisi di Amerika Serikat pantas ditiru. Di setiap kota besar mempunyai kepolisian bergengsi misalnya, New York Police Departement atau LA Police Departement. Begitu pula polisi yang menangani kejahatan khusus seperti DEA di bawah Departemen Kehakiman dan FBI bertanggung jawab kepada Kejaksaan.
Saya kira kelembagaan kepolisian model Jepang sangat memungkinkan diadaptasi. Di Jepang polisi prefektur lebih berdaya guna melaksanakan tugas kepolisian di masing-masing wilayah prefektur atau setingkat provinsi.
Polisi pusat (National Police Organization) terdiri dari NPSC (National Public Safety Commision) dan NPA (National Police Agency). NPSC suatu badan pemerintahan yang bertanggung jawab mengawasi NPA, dan tugas NPA mengkoordinasikan polisi prefektur.
Di titik ini, tepat dibentuk kementrian keamanan yang bertanggung jawab mengendalikan kepolisian nasional dan memberi kewenangan luas kepada kepolisian daerah.
Peran inspektorat/Irwasum Polri diperkuat menjadi badan supervisi penyelenggaraan kepolisian sejenis NPSC di Jepang.
Poin penting terjadi efektivitas tugas Polri. Kelakar beban bertumpuk dari urusan tilang motor bodong hingga menangkap teroris, bukan saja mengikis profesionalisme juga membawa moral hazard bagi anggota Polri.
Tidak sampai di situ, sistem kepolisian terpusat mengakibatkan Polri mudah tergelincir bias kepentingan politik kekuasaan.
Penulis adalah pemerhati kebijakan publik.