Ilustrasi. (Foto: ANTARA/Sihol Hasugian)
Pelemahan daya beli masyarakat, melambatnya transaksi di platform daring dan tekanan persaingan dari barang impor saat ini menuntut kepekaan mendalam serta strategi terpadu untuk memperkuat ekosistem perdagangan nasional.
Hal itu disampaikan Co Founder Forum Intelektual Muda, Muhammad Sutisna merespons pernyataan Menteri Perdagangan Budi Santoso yang menyebut sepinya pasar rakyat bukan akibat penurunan daya beli masyarakat, melainkan pergeseran kebiasaan belanja ke platform online.
“Bahkan bila kita merujuk data terkini dari Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat pertumbuhan ekonomi Indonesia pada triwulan I-2025 hanya mencapai 4,87 persen, melambat dibandingkan triwulan IV-2024 yang sebesar 5,02 persen. Konsumsi rumah tangga, yang menyumbang 54,5 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB), hanya tumbuh 4,95 persen pada triwulan II-2025, lebih rendah dari pertumbuhan PDB keseluruhan. Ini menunjukkan adanya tekanan signifikan pada daya beli masyarakat, yang menjadi motor utama ekonomi nasional,” jelas Sutisna dalam pesan elektroniknya kepada RMOL di Jakarta, Selasa, 2 September 2025.
Lanjut dia, mengutip laporan dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef) juga mencatat kenaikan pemutusan hubungan kerja (PHK) sebesar 32 persen pada semester I-2025 dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya, terutama di sektor tekstil, garmen, dan ritel.
Kondisi ini memperburuk tingkat pengangguran terselubung dan semakin melemahkan kemampuan konsumsi masyarakat.
Sektor perdagangan daring, yang disebut sebagai penyebab utama sepinya pasar rakyat, juga tidak luput dari tekanan. Meskipun nilai ekonomi digital Indonesia diproyeksikan mencapai 130 miliar Dolar AS pada 2025, laporan terbaru dari Asosiasi E-Commerce Indonesia (idEA) menunjukkan perlambatan pertumbuhan transaksi daring sebesar 12 persen pada semester I-2025 dibandingkan periode sebelumnya.
“Penurunan ini dipengaruhi oleh melemahnya daya beli masyarakat dan banjirnya barang impor, terutama dari Tiongkok, yang masuk melalui platform e-commerce dengan harga jauh lebih kompetitif. Barang impor ilegal yang lolos pengawasan Bea Cukai juga semakin mempersulit pelaku UMKM yang menyumbang 50 juta pelaku usaha dan 60 persen dari total tenaga kerja nasional,” bebernya.
Menurut Sutisna, Kondisi ini menunjukkan bahwa tantangan perdagangan tidak hanya terletak pada perubahan pola konsumsi, tetapi juga pada isu struktural seperti rendahnya daya saing produk lokal dan lemahnya pengawasan perdagangan.
Bahkan ia menilai pernyataan Menteri Perdagangan tampaknya belum sepenuhnya mencerminkan akar masalah yang dihadapi pelaku usaha dan masyarakat.
Dalam konteks ini, Sutisna menekankan pentingnya kepemimpinan yang memiliki visi strategis dan kepekaan terhadap dinamika lapangan.
“Tanpa bermaksud mengurangi penghargaan atas kerja keras Kementerian Perdagangan saat ini, tantangan ekonomi yang semakin kompleks memerlukan figur yang mampu merumuskan kebijakan inovatif dan terukur, serta menjalin sinergi dengan pelaku usaha, khususnya UMKM,” jelasnya lagi.
Alumni Magister Universitas Indonesia menyarankan kepada Presiden Prabowo Subianto untuk mempertimbangkan evaluasi terhadap Menteri Perdagangan dengan menggantinya dengan sosok yang lebih mumpuni guna memastikan bahwa kebijakan yang dihasilkan dapat menjawab tantangan zaman.
“Dengan kepemimpinan yang tepat, didukung oleh kebijakan yang berpihak pada rakyat, Indonesia dapat mewujudkan ekosistem perdagangan yang tangguh, berdaya saing, dan inklusif,” pungkasnya.