Berita

Peta Laut Natuna Utara. (Foto: ANTARA)

Publika

Refleksi Operasi Keamanan Maritim di Laut Natuna Utara

Oleh: Dr. Surya Wiranto, SH MH*
SABTU, 30 AGUSTUS 2025 | 06:58 WIB

INSIDEN tabrakan dua kapal Tiongkok di Scarborough Shoal pada 11 Agustus 2025, yang kemudian diikuti oleh pergerakan sejumlah kapal menuju Second Thomas Shoal sehari setelahnya, mengungkap dinamika baru dalam strategi maritim Beijing yang menggabungkan aspek militer, politik, dan psikologi publik. Kejadian ini tidak sekadar kecelakaan teknis, melainkan bagian dari kalkulasi politik untuk mengalihkan perhatian internasional sekaligus memberikan tekanan kepada Filipina. 

Bagi Indonesia, insiden ini mengandung pelajaran penting dalam perancangan operasi keamanan laut di Laut Natuna Utara, kawasan yang berulang kali menjadi arena proyeksi kekuatan Tiongkok melalui klaim historis “Nine-Dash Line”. Artikel ini menganalisis peristiwa tersebut melalui pendekatan Action Research (See-Judge-Act), guna memahami bagaimana Indonesia dapat memperkuat kebijakan pertahanan maritim dengan mengintegrasikan pengawasan laut, diplomasi regional, dan modernisasi alutsista.

Laut Cina Selatan telah lama menjadi arena perebutan kepentingan global, dengan percampuran klaim kedaulatan, kompetisi sumber daya alam, dan proyeksi kekuatan militer. Bagi Tiongkok, wilayah ini merupakan “perpanjangan tangan” dari keamanan nasional dan citra internasionalnya. Bagi negara-negara ASEAN, termasuk Indonesia, Laut Cina Selatan adalah jalur perdagangan vital yang menghubungkan Samudera Pasifik dan Samudera Hindia, dengan lebih dari USD 3,4 triliun nilai perdagangan melewati kawasan ini setiap tahun menurut data UNCTAD 2023.


Dalam konteks tersebut, insiden tabrakan dua kapal penjaga pantai Tiongkok di Scarborough Shoal pada 11 Agustus 2025 menjadi momen penting. Biasanya, kapal Tiongkok beroperasi dengan disiplin tinggi dan koordinasi ketat. Fakta bahwa dua kapal mereka bertabrakan di perairan yang diawasi ketat oleh media internasional menjadi pukulan besar bagi citra Beijing. Sehari setelahnya, pada 12 Agustus 2025, Tiongkok segera mengerahkan kapal tambahan menuju Second Thomas Shoal, lokasi yang selama ini menjadi pusat ketegangan antara Tiongkok dan Filipina. Langkah cepat ini memperlihatkan pola khas Beijing: mengubah krisis citra menjadi instrumen politik untuk menekan lawan sekaligus mengalihkan perhatian dunia.

Bagi Indonesia, insiden tersebut memberikan refleksi strategis. Sejak 2016, kapal-kapal penjaga pantai dan nelayan Tiongkok kerap memasuki Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia di Laut Natuna Utara. Pada Desember 2019, misalnya, sebanyak 63 kapal ikan Tiongkok masuk ke perairan Natuna dengan dikawal langsung oleh kapal penjaga pantai mereka. Insiden itu memaksa TNI Angkatan Laut dan Badan Keamanan Laut (Bakamla) melakukan patroli intensif, dan Presiden Joko Widodo bahkan turun langsung ke Natuna pada 8 Januari 2020 untuk menegaskan bahwa wilayah tersebut merupakan “beranda terdepan NKRI”. Dengan latar belakang inilah, setiap dinamika baru di Laut Cina Selatan harus dilihat dalam kaitannya dengan kepentingan dan keamanan maritim Indonesia.

Mengamati Insiden dan Konteksnya

Insiden tabrakan kapal Tiongkok pada 11 Agustus 2025 tidak dapat dipahami semata sebagai kesalahan teknis. Kapal-kapal penjaga pantai Tiongkok memiliki standar navigasi yang tinggi, dilengkapi radar canggih, dan biasanya beroperasi dengan prosedur keselamatan yang ketat. Oleh karena itu, tabrakan ini menimbulkan pertanyaan besar: apakah insiden tersebut murni kecelakaan, ataukah terjadi akibat manuver berisiko dalam konteks menghadapi kapal Filipina yang berada di lokasi yang sama?

Bagi Beijing, dampak insiden ini sangat serius. Rasa malu publik (public embarrassment) adalah hal yang paling dihindari dalam tradisi politik Tiongkok. Sejarah menunjukkan hal serupa pernah terjadi pada 1 April 2001, ketika pesawat intai EP-3 Amerika Serikat bertabrakan dengan jet tempur Tiongkok di dekat Pulau Hainan. Kala itu, Tiongkok langsung menggunakan insiden sebagai instrumen propaganda domestik sekaligus menekan Amerika Serikat dalam diplomasi. Pola serupa tampak kembali pada Agustus 2025, ketika kapal-kapal Tiongkok segera digerakkan menuju Second Thomas Shoal untuk menutupi kelemahan yang terekspos.

Indonesia perlu membaca pola ini dengan cermat. Tiongkok memiliki kecenderungan untuk tidak membiarkan narasi kelemahan berkembang tanpa kontrol. Mereka akan segera menciptakan narasi baru yang menegaskan kekuatan dan inisiatif, meski dengan risiko memperbesar eskalasi regional. Inilah pelajaran pertama yang dapat ditarik Indonesia: bahwa setiap insiden maritim, sekecil apa pun, akan dimanfaatkan Tiongkok untuk membangun momentum strategis.

Keterhubungan antara insiden Scarborough Shoal dengan dinamika di Natuna bukanlah asumsi kosong. Laut Natuna Utara sudah beberapa kali menjadi ajang unjuk kekuatan Tiongkok. Pada 2016, kapal patroli Tiongkok menolak perintah kapal TNI AL untuk keluar dari wilayah ZEE Indonesia, dengan alasan wilayah tersebut masih dalam klaim “tradisional fishing ground” mereka. Situasi ini menunjukkan bahwa Indonesia berhadapan dengan logika politik Tiongkok yang lebih menekankan narasi kekuasaan ketimbang kepatuhan pada hukum internasional.

Menilai Implikasi bagi Indonesia

Pelajaran kedua yang dapat ditarik adalah bahwa Tiongkok selalu mengubah kelemahan menjadi kekuatan. Insiden tabrakan kapal justru digunakan untuk memperkuat legitimasi kehadiran mereka di Laut Cina Selatan. Bagi Indonesia, hal ini berarti setiap celah dalam operasi keamanan laut berpotensi dieksploitasi oleh Tiongkok untuk memperkuat klaimnya di Laut Natuna Utara.

Secara hukum, posisi Indonesia sangat jelas. Berdasarkan United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) 1982, yang telah diratifikasi melalui Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985, Laut Natuna Utara merupakan bagian dari ZEE Indonesia. Namun, posisi de jure ini seringkali tidak cukup dalam menghadapi tekanan de facto di lapangan. Kapal nelayan dan penjaga pantai Tiongkok tetap masuk, sementara koordinasi antarlembaga Indonesia belum sepenuhnya solid.

Dari perspektif militer, TNI Angkatan Laut memiliki pengalaman panjang dalam melakukan patroli di Natuna. Operasi Gurita pada 2020, misalnya, berhasil meningkatkan kehadiran militer Indonesia di kawasan. Namun, keterbatasan jumlah kapal patroli, infrastruktur pangkalan, serta kemampuan radar dan satelit membuat pengawasan belum maksimal. Bakamla, yang bertugas sebagai Indonesian Coast Guard, juga menghadapi keterbatasan anggaran dan jumlah armada.

Dari perspektif diplomasi, Indonesia berada pada posisi dilematis. Di satu sisi, Indonesia tidak mengakui klaim “Nine-Dash Line” Tiongkok. Di sisi lain, Indonesia juga berusaha menjaga hubungan ekonomi yang kuat dengan Beijing, yang merupakan mitra dagang terbesar dengan nilai perdagangan mencapai USD 127 miliar pada 2024 (BPS). Oleh karena itu, respons Indonesia seringkali tampak hati-hati dan tidak konfrontatif. Namun, pola ini menyimpan risiko, karena Tiongkok dapat menguji batas kesabaran Indonesia secara berulang.

Merumuskan Solusi dan Aksi Konkret

Pelajaran ketiga, sekaligus yang paling penting, adalah kebutuhan untuk membangun sistem keamanan maritim yang berkelanjutan, resilien, dan adaptif. Indonesia harus memperkuat tiga pilar utama: kapasitas pengawasan laut, koordinasi antar-institusi, dan diplomasi regional.

Pertama, kapasitas pengawasan laut perlu ditingkatkan melalui integrasi sistem Maritime Domain Awareness (MDA). Program SeaVision/Skylight, yang sudah diuji di tingkat regional, dapat dimanfaatkan untuk memberikan data real-time tentang pergerakan kapal di Natuna. Integrasi data satelit, radar pantai, dan drone pengintai harus menjadi prioritas agar insiden dapat terdeteksi lebih cepat dan ditanggapi secara tepat.

Kedua, koordinasi antara TNI AL, Bakamla, dan Kementerian Luar Negeri harus diperkuat. Selama ini, terdapat kecenderungan kerja sektoral yang membuat respons terhadap intrusi Tiongkok tidak selalu seragam. Indonesia perlu membentuk pusat komando terpadu di Natuna yang menyatukan fungsi militer, keamanan sipil, dan diplomasi dalam satu mekanisme cepat tanggap.

Ketiga, diplomasi maritim harus lebih proaktif. Indonesia dapat memanfaatkan ASEAN dan forum ASEAN Defence Ministers’ Meeting Plus (ADMM-Plus) untuk membangun konsensus regional mengenai kepatuhan terhadap UNCLOS. Dengan demikian, setiap insiden di Laut Cina Selatan tidak dilihat sebagai persoalan bilateral semata, melainkan sebagai tantangan terhadap stabilitas regional.

Keempat, modernisasi alutsista harus dipercepat. Pemerintahan Presiden Prabowo Subianto (2024-2029) memiliki rencana besar modernisasi pertahanan. Anggaran pertahanan tahun 2025, misalnya, meningkat hingga Rp 325 triliun. Dana ini harus diarahkan untuk memperkuat armada patroli cepat, radar jarak jauh, serta satelit pengintai yang secara khusus mendukung operasi di Natuna. Selain itu, pembangunan pangkalan laut terpadu di Natuna perlu segera direalisasikan agar kehadiran negara di kawasan tidak hanya simbolis, tetapi juga operasional.

Penutup

Insiden tabrakan kapal Tiongkok di Scarborough Shoal pada Agustus 2025 menunjukkan bahwa kelemahan operasional dapat segera ditransformasikan menjadi instrumen politik. Bagi Indonesia, pelajaran pentingnya adalah bahwa Laut Natuna Utara tidak boleh hanya dilihat sebagai wilayah perbatasan ekonomi, melainkan sebagai arena strategis yang menentukan kedaulatan bangsa.

Pendekatan Action Research (See-Judge-Act) menawarkan kerangka analisis yang jelas. Dengan mengamati insiden secara jernih, menilai implikasinya secara kritis, dan merumuskan aksi nyata, Indonesia dapat memperkuat strategi keamanan maritimnya. Natuna adalah ujian konsistensi Indonesia dalam menegakkan UNCLOS, membangun solidaritas ASEAN, dan menjaga tatanan maritim berbasis hukum internasional.

Refleksi ini sekaligus menegaskan bahwa Indonesia tidak boleh terjebak pada sikap reaktif. Sebaliknya, Indonesia harus mengambil inisiatif untuk menjadikan setiap insiden sebagai momentum memperkuat kehadiran negara di laut, meningkatkan koordinasi internal, dan meneguhkan posisi sebagai pemimpin regional dalam isu maritim.
 


*Penulis adalah Laksamana Muda TNI (Purn), sehari-hari sebagai Kadep Kejuangan PEPABRI, Anggota FOKO, Executive Director, Indonesia Institute for Maritime Studies (IIMS). Beliau juga sebagai Dosen Pasca Sarjana Keamanan Maritim Universitas Pertahanan, Penasehat Indopacific Strategic Intelligence (ISI), dan Senior Advisory Group IKAHAN Indonesia-Australia. Kegiatan lain sebagai Pengacara, Kurator, dan Mediator Firma Hukum Legal Jangkar Indonesia. 

Populer

Bobby dan Raja Juli Paling Bertanggung Jawab terhadap Bencana di Sumut

Senin, 01 Desember 2025 | 02:29

NU dan Muhammadiyah Dikutuk Tambang

Minggu, 30 November 2025 | 02:12

Padang Diterjang Banjir Bandang

Jumat, 28 November 2025 | 00:32

Sergap Kapal Nikel

Kamis, 27 November 2025 | 05:59

Peluncuran Tiga Pusat Studi Baru

Jumat, 28 November 2025 | 02:08

Bersihkan Sisa Bencana

Jumat, 28 November 2025 | 04:14

Evakuasi Banjir Tapsel

Kamis, 27 November 2025 | 03:45

UPDATE

Tragedi Nasional dari Sumatra dan Suara yang Terlambat Kita Dengarkan

Jumat, 05 Desember 2025 | 15:44

Produktivitas Masih di Bawah ASEAN, Pemerintah Susun Langkah Percepatan

Jumat, 05 Desember 2025 | 15:41

Lewat Pantun Cak Imin Serukan Perbaiki Alam Bukan Cari Keributan

Jumat, 05 Desember 2025 | 15:38

Bank Mandiri Sabet 5 Penghargaan BI

Jumat, 05 Desember 2025 | 15:27

Liga Muslim Dunia Siap Lobi MBS untuk Permudah Pembangunan Kampung Haji Indonesia

Jumat, 05 Desember 2025 | 15:18

Banjir Rob di Pesisir Jakarta Berangsur Surut

Jumat, 05 Desember 2025 | 15:13

RI–Timor Leste Sepakat Majukan Koperasi

Jumat, 05 Desember 2025 | 15:08

Revisi UU Cipta Kerja Mendesak di Tengah Kerusakan Hutan Sumatera

Jumat, 05 Desember 2025 | 14:57

Bahlil Telusuri Dugaan Keterkaitan Tambang Martabe dengan Banjir Sumut

Jumat, 05 Desember 2025 | 14:48

BI: Cadangan Devisa RI Rp2.499 Triliun per Akhir November 2025

Jumat, 05 Desember 2025 | 14:39

Selengkapnya