Berita

Aparat kepolisian mengamankan aksi demonstrasi 'Revolusi Rakyat Indonesia' di Gedung DPR/MPR Jakarta, Senin 25 Agustus 2025. (Foto: RMOL/Bonfilo Mahendra)

Publika

Pelajar dan Gas Air Mata: Salah Siapa?

OLEH: AGUNG NUGROHO*
JUMAT, 29 AGUSTUS 2025 | 06:34 WIB

SETIAP kali jalanan dipenuhi massa demonstrasi, selalu ada sosok berseragam abu-abu ikut nyempil di antara mahasiswa. Ada yang bawa poster seadanya, ada yang teriak lantang, ada juga yang malah lempar batu. 

Begitu aparat mulai melepaskan gas air mata, mereka pula yang sering paling depan kena sembur. Pertanyaan klasik pun muncul, “ini salah siapa?”

Banyak orang buru-buru menuding bahwa pelajar cuma ikut-ikutan, rusuh karena penasaran, atau dimobilisasi kelompok tertentu. 


Tapi, kalau ditarik lebih jauh, kehadiran mereka bukan sekadar iseng. Pelajar punya energi besar, rasa ingin tahu tinggi, dan ini yang penting, mereka hidup di tengah situasi sosial yang bikin resah. 

Di sini, David Easton pernah bilang bahwa politik itu soal “distribusi nilai” dalam masyarakat. Nah, kalau nilai keadilan dan harapan nggak mereka dapat, jangan heran kalau energi mudanya tumpah ke jalan.

Kenapa kok kadang pelajar terlihat lebih beringas dibanding mahasiswa? Sederhana saja, pengalaman mereka di lapangan masih minim. Kalau mahasiswa biasanya sudah terbiasa dengan pola orasi, long march, sampai negosiasi dengan aparat.

Sedangkan pelajar cenderung bereaksi spontan. Di psikologi gerakan sosial, Charles Tilly menyebut hal ini sebagai repertoar aksi, repertoar pelajar lebih mentah, lebih meledak-ledak. Jadi bukan semata karena mereka “nakal”, tapi karena cara mereka berekspresi memang belum terasah.

Apakah ada yang memobilisasi? Bisa iya, bisa tidak. Dalam banyak kasus, pelajar saling mengajak lewat media sosial, grup WhatsApp, atau sekadar kabar dari kakak kelas. 

Ada juga momen ketika isu yang diangkat mahasiswa, misalnya soal kenaikan harga atau aturan sekolah, langsung nyambung ke keresahan pelajar. 

Di titik ini, teori framing dari Snow dan Benford bekerja yaitu kalau isu dibungkus dengan bahasa yang dekat dengan pengalaman sehari-hari, pelajar otomatis merasa punya alasan ikut turun.

Lalu, bagaimana sebaiknya pemerintah menyikapi? Represif jelas bukan solusi. Setiap kali gas air mata ditembakkan ke arah pelajar, publik justru bertanya, kenapa anak-anak yang mestinya ada di kelas malah berlari di jalan sambil batuk-batuk? 

Lebih bijak kalau pemerintah dan aparat membuka ruang dialog. Anggap saja demo pelajar ini sebagai alarm demokrasi bahwasanya ada keresahan yang tak tersampaikan lewat jalur biasa.

Kalau mau jujur, pelajar di jalanan itu bukan soal salah atau benar semata, tapi soal ruang. Mereka butuh ruang untuk didengar, dibimbing, dan diarahkan. 

Kalau ruang itu tertutup, jangan salahkan kalau jalanan jadi pilihan utama. Seperti kata Habermas, ruang publik itu penting supaya orang bisa menyampaikan suara tanpa takut dibungkam. 

Nah, ketika ruang publik formal terlalu sempit, pelajar menciptakan ruangnya sendiri mulai dari trotoar, jalan raya, sampai depan gedung DPR.

Jadi, siapa yang salah? Mungkin jawabannya bukan pelajar, bukan juga aparat semata. Yang salah adalah ketika negara gagal menyediakan ruang aman untuk warganya, termasuk mereka yang masih berseragam abu-abu, untuk bersuara.


Penulis adalah Direktur Jakarta Institut


Populer

Bobby dan Raja Juli Paling Bertanggung Jawab terhadap Bencana di Sumut

Senin, 01 Desember 2025 | 02:29

NU dan Muhammadiyah Dikutuk Tambang

Minggu, 30 November 2025 | 02:12

Padang Diterjang Banjir Bandang

Jumat, 28 November 2025 | 00:32

Sergap Kapal Nikel

Kamis, 27 November 2025 | 05:59

Peluncuran Tiga Pusat Studi Baru

Jumat, 28 November 2025 | 02:08

Bersihkan Sisa Bencana

Jumat, 28 November 2025 | 04:14

Evakuasi Banjir Tapsel

Kamis, 27 November 2025 | 03:45

UPDATE

Tragedi Nasional dari Sumatra dan Suara yang Terlambat Kita Dengarkan

Jumat, 05 Desember 2025 | 15:44

Produktivitas Masih di Bawah ASEAN, Pemerintah Susun Langkah Percepatan

Jumat, 05 Desember 2025 | 15:41

Lewat Pantun Cak Imin Serukan Perbaiki Alam Bukan Cari Keributan

Jumat, 05 Desember 2025 | 15:38

Bank Mandiri Sabet 5 Penghargaan BI

Jumat, 05 Desember 2025 | 15:27

Liga Muslim Dunia Siap Lobi MBS untuk Permudah Pembangunan Kampung Haji Indonesia

Jumat, 05 Desember 2025 | 15:18

Banjir Rob di Pesisir Jakarta Berangsur Surut

Jumat, 05 Desember 2025 | 15:13

RI–Timor Leste Sepakat Majukan Koperasi

Jumat, 05 Desember 2025 | 15:08

Revisi UU Cipta Kerja Mendesak di Tengah Kerusakan Hutan Sumatera

Jumat, 05 Desember 2025 | 14:57

Bahlil Telusuri Dugaan Keterkaitan Tambang Martabe dengan Banjir Sumut

Jumat, 05 Desember 2025 | 14:48

BI: Cadangan Devisa RI Rp2.499 Triliun per Akhir November 2025

Jumat, 05 Desember 2025 | 14:39

Selengkapnya