Berita

Presiden Prabowo Subianto. (Foto: YouTube Setpres)

Publika

Dahsyatnya Penghentian Anggaran Defisit Presiden Prabowo Akhiri Neoliberalisme Fiskal

RABU, 27 AGUSTUS 2025 | 16:09 WIB | OLEH: SALAMUDDIN DAENG

PEMOTONGAN atau efisiensi anggaran yang dilakukan Presiden Prabowo bukan sekadar mengurangi pemborosan anggaran yang dilakukan oleh pemerintah, namun lebih jauh adalah politik yang dahsyat untuk mengakhiri sistem keuangan neoliberal yang membangkrutkan negara.

Sistem keuangan defisit neoliberal tidak hanya membangkrutkan pemerintahan, tapi juga sekaligus memiskinkan rakyat. Sistem ini tidak hanya memaksa negara untuk terjebak dalam ketergantungan utang asing, namun sekaligus menguras uang yang ada di dalam perekonomian untuk membiayai pemerintahan semata. 

Dengan sistem anggaran defisit maka uang asing mengontrol semua kebijakan negara, mengatur arah dan tujuan pemerintahan negara, mengatur belanja negara dan menyertakan persyaratan (term of condition) yang ketat dan bahkan mengatur apa yang boleh dibeli oleh negara dan untuk apa uang dibelanjakan.


Bahkan nanti suatu saat uang-uang asing dan uang oligarki sekutu mereka di dalam negeri mengatur kapan sebuah pemerintahan dibangkitkan atau dipertahankan.

Keadaan paling menyakitkan adalah kesulitan yang diterima oleh rakyat akibat sistem anggaran defisit tersebut. Pada saat pemerintah menentukan APBN 2026 senilai Rp638 triliun, maka bergelondongan uang mengalir dari bank nasional, lembaga keuangan nasional, dana Jamsostek dan lain sebagainya ke dalam surat utang negara karena suku bunga yang tinggi.

Ekonomi rakyat mengering, keadaan usaha usaha produktif menjadi melemah, rakyat tidak lagi memperoleh uang atau likuiditas untuk memajukan usaha usaha produktif.

Perbankan ongkang kaki beternak uang di Surat Utang Negara (SUN), pemerintah daerah sengaja tidak menghabiskan anggaran sehingga yang tidak terserap semua disimpan kembali bank dan lari ke SUN. 

Cara begini membuat Kementerian Keuangan dan lembaga terkait lainya tidak usah bekerja keras, membuat roadmap keuangan strategis, memikirkan bagaimana meningkatkan pendapatan negara dari dalam perekonomian terutama hasil eksploitasi sumber daya alam.

APBN defisit sudah nyaman dengan utang yang terus menggunung, dan mengeruk pajak dari rakyat kecil setiap tahun untuk membayar utang-utang tersebut.

Sebagai negara eksportir sumber daya alam terbesar di dunia, Indonesia telah dengan leluasa dijadikan sebagai bancakan oleh asing dan oligarki untuk mengeruk sumber daya alam tanpa kontribusi yang sepadan kepada negara Indonesia. 

Semua ini telah diakhiri oleh Presiden Prabowo. Tidak ada lagi rezim anggaran defisit permanen. Anggaran boleh surplus dan boleh juga defisit jika benar benar diperlukan, bersifat mendesak dan dalam keadaan darurat.

Namun bukan sistem yang secara permanen menjadi ideologi anggaran seperti yang berlangsung sejak era reformasi. Praktik yang telah menjerat perekonomian Indonesia sehingga berada pada kondisi saat ini mengalami dobel defisit, yakni defisit dalam APBN dan defisit dalam neraca transaksi berjalan. 

Apa hasil dari penghentian anggaran defisit yang sebentar lagi akan dipetik oleh rakyat? Hasilnya adalah bank bank akan bekerja keras kembali menyalurkan uang ke tengah tengah masyarakat, membangun usaha usaha produktif.

Bank kembali menjadi lembaga intermediate, mengumpulkan dana masyarakat dan menyalurkan uang ke masyarakat, bukan membeli SUN.

Demikian juga dengan lembaga keuangan seperti Jamsostek atau BPJS ketenagakerjaan, Taspen, Asabri, yang uangnya ribuan triliun, tidak lagi beternak uang di SUN, tapi menyalurkan uang tersebut ke masyarakat penerima manfaat. 

Namun kebijakan Presiden Pranowo ini sudah pasti akan menuai perlawanan, dari bandit bandit keuangan kelas kakap yang biasa menyimpan uang dan beternak di SUN, menjadikan Kementerian Keuangan sebagai lokasi pencucian uang.

Bandit keuangan yang sekarang tengah ditekan oleh Presiden Prabowo agar menyimpan devisa hasil ekspornya di dalam negeri tengah melancarkan pemberontakan. Hati-hati lah Presiden dengan segala usaha membuat kekacauan akhir akhir ini.

Bisa jadi adalah usaha perlawanan balik antek neoliberalisme yang bekerja sama dengan bandit keuangan sumber daya alam.

Penulis adalah peneliti Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI)

Populer

Bobby dan Raja Juli Paling Bertanggung Jawab terhadap Bencana di Sumut

Senin, 01 Desember 2025 | 02:29

NU dan Muhammadiyah Dikutuk Tambang

Minggu, 30 November 2025 | 02:12

Usut Tuntas Bandara Ilegal di Morowali yang Beroperasi Sejak Era Jokowi

Senin, 24 November 2025 | 17:20

Padang Diterjang Banjir Bandang

Jumat, 28 November 2025 | 00:32

Sergap Kapal Nikel

Kamis, 27 November 2025 | 05:59

Peluncuran Tiga Pusat Studi Baru

Jumat, 28 November 2025 | 02:08

Bersihkan Sisa Bencana

Jumat, 28 November 2025 | 04:14

UPDATE

Duka Banjir di Sumatera Bercampur Amarah

Jumat, 05 Desember 2025 | 06:04

DKI Rumuskan UMP 2026 Berkeadilan

Jumat, 05 Desember 2025 | 06:00

PIER Proyeksikan Ekonomi RI Lebih Kuat pada 2026

Jumat, 05 Desember 2025 | 05:33

Pesawat Perintis Bawa BBM

Jumat, 05 Desember 2025 | 05:02

Kemenhut Cek Kayu Gelondongan Banjir Sumatera Pakai AIKO

Jumat, 05 Desember 2025 | 05:00

Pemulihan UMKM Terdampak Bencana segera Diputuskan

Jumat, 05 Desember 2025 | 04:35

Kaji Ulang Status 1.038 Pelaku Demo Ricuh Agustus

Jumat, 05 Desember 2025 | 04:28

Update Korban Banjir Sumatera: 836 Orang Meninggal, 509 Orang Hilang

Jumat, 05 Desember 2025 | 04:03

KPK Pansos dalam Prahara PBNU

Jumat, 05 Desember 2025 | 03:17

Polri Kerahkan Kapal Wisanggeni 8005 ke Aceh

Jumat, 05 Desember 2025 | 03:03

Selengkapnya