Berita

Ilustrasi - Sejumlah nelayan Dringu Kabupaten Probolinggo memasang bendera Merah Putih di kapal. (Foto: Suara Indonesia/Saifullah)

Publika

Harapan Nelayan Menyongsong 80 Tahun Indonesia Merdeka

MINGGU, 17 AGUSTUS 2025 | 13:29 WIB | OLEH: NIKO AMRULLOH

DELAPAN puluh tahun lalu, para pendiri bangsa memproklamasikan kemerdekaan Indonesia dengan cita-cita luhur: melindungi segenap bangsa, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia. Hari ini, kita dihadapkan pada tantangan baru yang tak kalah berat, krisis iklim dan ketidakadilan yang menimpa masyarakat pesisir dan nelayan kecil.

Sebagaimana disampaikan Presiden dalam Sidang Tahunan MPR 15 Agustus 2025, tujuan kemerdekaan adalah kemerdekaan dari kemiskinan, kelaparan, dan penderitaan. Nelayan tradisional yang berada di garis depan peradaban bahari justru masih terjebak dalam kemiskinan struktural, akses terbatas pada energi dan pasar, serta minim perlindungan dari dampak krisis iklim.

Laut kita masih sering diperlakukan sebagai halaman belakang. Data NOAA menunjukkan suhu lautan global mencapai rekor tertinggi selama 15 tahun berturut-turut, sementara di pesisir, abrasi, banjir rob, dan gelombang tinggi kian menggerus ruang hidup nelayan. Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) dalam Rembuk Iklim Pesisir 2023 menemukan bahwa 64,5% nelayan tradisional merasa hak dasar mereka belum terpenuhi. Delapan puluh tahun merdeka  seharusnya berarti hak-hak itu dijamin negara, sesuai amanat UUD 1945 Pasal 33 ayat 3 “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.”


Suara Nelayan

Krisis iklim mengubah wajah pesisir. Abrasi melumat daratan, banjir rob merayap ke rumah-rumah warga, dan gelombang tinggi memaksa kapal bersandar lebih lama dari yang seharusnya. Dalam setiap pertemuan dengan nelayan, kita bisa merasakan getirnya hidup di garis depan perubahan iklim. Mereka tidak berbicara dengan bahasa statistik. Mereka bercerita tentang ombak yang semakin tak tertebak, tentang anak-anak yang terpaksa putus sekolah karena orang tuanya tidak melaut berminggu-minggu, tentang jaring yang robek dan tak ada dana untuk memperbaikinya. 

Di Demak, banjir rob yang dulu jarang terjadi kini menjadi tamu rutin yang tak diundang. Di Kendal, ancaman abrasi bakal menenggelamkan kampung-kampung pesisir dalam lima tahun ke depan. Sementara di Halmahera Selatan, nelayan kecil harus bersaing dengan kapal-kapal raksasa yang dilengkapi teknologi modern, sementara mereka hanya punya alat tangkap seadanya. 

Kita sering bicara soal “ekonomi biru” dan potensi kelautan yang mencapai 1,33 triliun dolar AS per tahun. Jargon itu harus dibarengi keberpihakan nyata agar tidak hanya menjadi sajian akademik di forum-forum ilmiah. Rembuk Iklim Pesisir memotret betapa nelayan kecil harus mengantre berjam-jam untuk mendapatkan BBM bersubsidi, hanya untuk kemudian membelinya dengan harga di atas ketentuan karena permainan para penadah. Di sisi lain, regulasi seperti RZWP3K disusun minim partisipasi dari nelayan, seolah ruang hidup mereka adalah papan catur yang bisa diatur dari balik meja kantor.  

Ada yang berkata, krisis iklim adalah soal global. Betul. Tapi dampaknya bersifat lokal, sangat personal. Bagi nelayan di Pekalongan, misalnya, badai dan gelombang tinggi memaksa mereka beralih dari penangkapan ikan ke budidaya tambak. Namun diversifikasi ini bukan pilihan manis, melainkan jalan terjal yang sering berakhir menjadi buruh di tambak orang lain. Bagi perempuan pesisir di Kendal, hilangnya sabuk hijau mangrove bukan hanya soal ekologi, tapi soal dapur?"karena tanpa perlindungan alam, rumah mereka terancam hancur.

Krisis iklim bukan sekadar isu lingkungan. Ia adalah ujian bagi kedaulatan dan keadilan sosial. Seperti halnya pemerintah yang berkomitmen memutus ketergantungan pangan dari impor dan memprioritaskan Makan Bergizi Gratis untuk generasi muda, kita juga harus memastikan kedaulatan pangan laut bagi bangsa. Pidato Presiden menekankan pentingnya peran petani dan nelayan sebagai tulang punggung bangsa. Untuk itu, program revitalisasi pesisir, perlindungan ruang tangkap tradisional, dan subsidi energi tepat sasaran harus menjadi bagian dari strategi nasional.

Di Pemalang, antrean panjang di SPBU nelayan menggambarkan ketidakadilan energi; di Halmahera Selatan, kapal-kapal besar menguasai perairan tradisional; di Kendal, perempuan pesisir menghadapi ancaman abrasi yang kian parah. Semua ini menuntut intervensi negara yang tegas, sebagaimana ketegasan pemerintah dalam memberantas penimbunan bahan pokok dan menertibkan pelanggaran di sektor perkebunan dan pertambangan.

HUT ke-80 Kemerdekaan RI harus menjadi momentum untuk membumikan kembali amanat konstitusi. Kita memerlukan peta jalan nasional: melindungi ekosistem pesisir, memperkuat koperasi nelayan sebagai pilar ekonomi kerakyatan, memperluas akses pasar dan teknologi, serta memastikan keterlibatan nelayan dan perempuan pesisir dalam perumusan kebijakan. Sejalan dengan semangat “Bersatu, Berdaulat, Rakyat Sejahtera, Indonesia Maju” yang diserukan Presiden, keberpihakan pada nelayan adalah bagian tak terpisahkan dari agenda kedaulatan bangsa. 

Di dermaga-dermaga kecil dari Aceh hingga Papua, nelayan menunggu bukan belas kasihan, melainkan kebijakan yang adil dan keberanian politik untuk melindungi mereka. Delapan puluh tahun merdeka bukan hanya perayaan, melainkan janji untuk merdeka dari kemiskinan, ketidakadilan energi, dan kerentanan iklim.

*Penulis adalah Ketua Bidang Kebijakan Publik Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI).

Populer

Bobby dan Raja Juli Paling Bertanggung Jawab terhadap Bencana di Sumut

Senin, 01 Desember 2025 | 02:29

NU dan Muhammadiyah Dikutuk Tambang

Minggu, 30 November 2025 | 02:12

Padang Diterjang Banjir Bandang

Jumat, 28 November 2025 | 00:32

Sergap Kapal Nikel

Kamis, 27 November 2025 | 05:59

Peluncuran Tiga Pusat Studi Baru

Jumat, 28 November 2025 | 02:08

Bersihkan Sisa Bencana

Jumat, 28 November 2025 | 04:14

Evakuasi Banjir Tapsel

Kamis, 27 November 2025 | 03:45

UPDATE

Tragedi Nasional dari Sumatra dan Suara yang Terlambat Kita Dengarkan

Jumat, 05 Desember 2025 | 15:44

Produktivitas Masih di Bawah ASEAN, Pemerintah Susun Langkah Percepatan

Jumat, 05 Desember 2025 | 15:41

Lewat Pantun Cak Imin Serukan Perbaiki Alam Bukan Cari Keributan

Jumat, 05 Desember 2025 | 15:38

Bank Mandiri Sabet 5 Penghargaan BI

Jumat, 05 Desember 2025 | 15:27

Liga Muslim Dunia Siap Lobi MBS untuk Permudah Pembangunan Kampung Haji Indonesia

Jumat, 05 Desember 2025 | 15:18

Banjir Rob di Pesisir Jakarta Berangsur Surut

Jumat, 05 Desember 2025 | 15:13

RI–Timor Leste Sepakat Majukan Koperasi

Jumat, 05 Desember 2025 | 15:08

Revisi UU Cipta Kerja Mendesak di Tengah Kerusakan Hutan Sumatera

Jumat, 05 Desember 2025 | 14:57

Bahlil Telusuri Dugaan Keterkaitan Tambang Martabe dengan Banjir Sumut

Jumat, 05 Desember 2025 | 14:48

BI: Cadangan Devisa RI Rp2.499 Triliun per Akhir November 2025

Jumat, 05 Desember 2025 | 14:39

Selengkapnya