Berita

Ketua Dewan Direktur GREAT Institute Syahganda Nainggolan dan Menteri Kebudayaan Fadli Zon di Hotel Sultan, Jakarta, Kamis, 14 Agustus 2025. (Foto: Dokumen Pribadi)

Politik

Syahganda: Elite Harus Paham Budaya di Wilayah Kepemimpinannya

KAMIS, 14 AGUSTUS 2025 | 19:29 WIB | LAPORAN: DIKI TRIANTO

Diskusi kebudayaan semakin langka di ruang publik. Padahal jika pembicaraan soal budaya berhenti, Indonesia bisa kehilangan nilai keadaban itu sendiri.

Demikian antara lain disampaikan Ketua Dewan Direktur GREAT Institute, Dr Syahganda Nainggolan dalam forum GREAT Lecture bertajuk “Polemik Kebudayaan Manusia Indonesia: Dunia Baru dan Kebudayaan Baru" di Golden Ballroom 2, Hotel Sultan, Jakarta, Kamis, 14 Agustus 2025.

"Elite harus paham budaya, terutama budaya di wilayah kepemimpinannya sendiri. Sayangnya, elite di negeri ini tak selamanya membawa bangsa menuju kemerdekaan," kata Syahganda.


Kondisi tersebut terjadi di Pati, Jawa Tengah. Polemik protes masyarakat terhadap kebijakan tarif pajak bumi dan bangunan itu menunjukkan Bupati Sudewo tidak memahami kultur wilayahnya sendiri.

“Menaikkan PBB seenaknya tanpa memahami kultur masyarakat yang sedang menjerit karena tekanan ekonomi. Maka terjungkallah Bupati,” katanya.

Menteri Kebudayaan Fadli Zon yang turut hadir dalam kegiatan tersebut mengurai kembali sejarah dialektika kebudayaan bangsa dari polemik kebudayaan 1930-an antara Sutan Takdir Alisjahbana dan Sanusi Pane, hingga pertarungan ideologis manifes kebudayaan versus Lekra pada 1960-an.

Bagi Fadli, yang terpenting bukanlah menang-menangan melainkan pergulatan pemikiran itu sendiri.

“Harus ada reinventing Indonesia’s identity, penemuan ulang jati diri Indonesia. Budaya kita ini mega-diversity, bukan sekadar keberagaman, tapi keberlimpahan," ujar Fadli.

Sementara itu sosiolog dan sastrawan Okky Madasari menegaskan, sejarah kebudayaan bangsa Indonesia selalu diawali oleh perlawanan terhadap model dominan.

“Sutan Takdir, Hamzah Fansuri, para pelopor itu melakukan perlawanan atas dominasi wacana. Dalam konteks penulisan ulang sejarah, harus melibatkan publik, akademisi, sastrawan, bukan hanya pemerintah," jelas Okky.

Yang lebih penting, tegasnya, adalah kebebasan berbicara dan berkebudayaan.

“Jangan ada pembungkaman. Jangan ada narasi tunggal,” pungkasnya.

Populer

Mantan Jubir KPK Tessa Mahardhika Lolos Tiga Besar Calon Direktur Penyelidikan KPK

Rabu, 24 Desember 2025 | 07:26

Mantan Wamenaker Noel Ebenezer Rayakan Natal Bersama Istri di Rutan KPK

Kamis, 25 Desember 2025 | 15:01

Camat Madiun Minta Maaf Usai Bubarkan Bedah Buku ‘Reset Indonesia’

Selasa, 23 Desember 2025 | 04:16

Sarjan Diduga Terima Proyek Ratusan Miliar dari Bupati Bekasi Sebelum Ade Kuswara

Jumat, 26 Desember 2025 | 14:06

Adik Kakak di Bekasi Ketiban Rezeki OTT KPK

Senin, 22 Desember 2025 | 17:57

8 Jenderal TNI AD Pensiun Jelang Pergantian Tahun 2026, Ini Daftarnya

Rabu, 24 Desember 2025 | 21:17

Ketika Kebenaran Nasib Buruh Migran Dianggap Ancaman

Sabtu, 20 Desember 2025 | 12:33

UPDATE

Program Belanja Dikebut, Pemerintah Kejar Transaksi Rp110 Triliun

Sabtu, 27 Desember 2025 | 08:07

OJK Ingatkan Risiko Tinggi di Asuransi Kredit

Sabtu, 27 Desember 2025 | 07:48

Australia Dukung Serangan Udara AS terhadap ISIS di Nigeria

Sabtu, 27 Desember 2025 | 07:32

Libur Natal Pangkas Hari Perdagangan, Nilai Transaksi BEI Turun Tajam

Sabtu, 27 Desember 2025 | 07:17

Israel Pecat Tentara Cadangan yang Tabrak Warga Palestina saat Shalat

Sabtu, 27 Desember 2025 | 07:03

Barzakh itu Indah

Sabtu, 27 Desember 2025 | 06:38

Wagub Babel Hellyana seperti Sendirian

Sabtu, 27 Desember 2025 | 06:21

Banjir Cirebon Cermin Politik Infrastruktur Nasional Rapuh

Sabtu, 27 Desember 2025 | 06:13

Jokowi sedang Balas Dendam terhadap Roy Suryo Cs

Sabtu, 27 Desember 2025 | 06:06

Komdigi Ajak Warga Perkuat Literasi Data Pribadi

Sabtu, 27 Desember 2025 | 05:47

Selengkapnya