Berita

Peta Ambalat/Ist

Politik

Selesaikan Sengketa Ambalat, RI Gunakan Prinsip 'Peaceful Assertiveness'

MINGGU, 10 AGUSTUS 2025 | 05:58 WIB | LAPORAN: ADITYO NUGROHO

Sengketa penamaan wilayah maritim antara Indonesia dan Malaysia kembali mencuat ke permukaan ketika pemerintah Negeri Jiran secara tegas menolak penggunaan istilah Laut Ambalat. 

Penolakan ini dinilai sejumlah kalangan bukan sekadar masalah nomenklatur, melainkan bagian dari dinamika klaim kedaulatan maritim yang telah berlangsung puluhan tahun.

Pengamat maritim dari Ikatan Keluarga Alumni Lemhannas Strategic Center (ISC), DR. Capt. Marcellus Hakeng Jayawibawa, menilai bahwa sikap Malaysia harus dilihat sebagai upaya strategis dalam membentuk persepsi internasional tentang klaim wilayah mereka. 


"Dalam diplomasi maritim, nama bukan sekadar simbol. Ia adalah perangkat hukum dan politik yang dapat mempengaruhi legitimasi klaim suatu negara atas wilayah tertentu," ujar Capt. Hakeng dalam keterangannya yang diterima redaksi, Minggu, 10 Agustus 2025.

Menurutnya, istilah "Ambalat" bukan semata ciptaan Indonesia, tetapi telah melekat dalam proses teknis, peta resmi, dan dokumen diplomatik nasional sebagai representasi klaim sah terhadap wilayah yang terletak di Blok ND6 dan ND7, kawasan yang kaya sumber daya migas. 

Sedangkan Malaysia, dalam Peta Baru 1979, secara sepihak mencantumkan wilayah tersebut sebagai bagian dari zona ekonomi eksklusifnya dan menyebutnya sebagai bagian dari ‘Laut Sulawesi’.

Meski telah ditentang keras oleh Indonesia, klaim itu terus diulang dan diperkuat dengan narasi hukum, termasuk merujuk pada putusan Mahkamah Internasional (ICJ) tahun 2002 terkait Pulau Sipadan dan Ligitan. 

Namun Capt. Hakeng mengingatkan bahwa putusan ICJ tersebut tidak serta-merta mencakup delimitasi maritim di sekitarnya.

"Putusan ICJ 2002 hanya menyangkut kepemilikan dua pulau kecil, Sipadan dan Ligitan. Ia tidak memberikan keputusan atas batas laut di kawasan itu. Jadi menggunakan putusan itu untuk membenarkan klaim atas Ambalat, adalah bentuk perluasan tafsir yang lemah secara hukum internasional," jelasnya.

Konflik terminologi ini, lanjut dia, bukan hanya perdebatan diplomatik di meja negosiasi, tetapi memiliki implikasi langsung terhadap persepsi publik, posisi hukum dalam arbitrase internasional, serta arah kebijakan luar negeri kedua negara. 

Kendati demikian ia mengingatkan bahwa di tengah polemik ini, Presiden Indonesia, Prabowo Subianto, mengambil sikap yang dianggap menyejukkan dan visioner. 

Sebagaimana diberitakan dalam pernyataannya kepada media setelah menghadiri Konvensi Sains dan Teknologi Nasional di Bandung, Presiden Prabowo Subianto menekankan bahwa Indonesia tidak menginginkan konflik terbuka dengan Malaysia.

Menurut Capt. Hakeng, jelaslah bahwa hal tersebut mempunyai itikad baik. Juga menunjukkan pendekatan khas kepemimpinan Presiden Prabowo yang dikenal mengedepankan prinsip “peaceful assertiveness”, tegas menjaga kedaulatan, namun tetap mengutamakan dialog dan perdamaian. 

Dalam konteks hubungan Indonesia-Malaysia yang memiliki sejarah, budaya, dan hubungan ekonomi yang erat, pendekatan ini dipandang sangat relevan dan strategis.

"Pak Presiden Prabowo memahami bahwa kedaulatan itu penting, tetapi beliau juga sangat sadar bahwa hubungan diplomatik yang stabil jauh lebih bernilai dalam jangka panjang," ungkapnya. 

Lebih lanjut, menurut Capt. Hakeng, pendekatan Indonesia sebaiknya tidak berhenti pada penguatan klaim istilah ‘Ambalat’, tetapi juga membuka kemungkinan kerja sama teknis yang lebih konkret. 

Presiden Prabowo Subianto sebelumnya merespons pernyataan kontroversial Pemerintah Malaysia yang kembali menegaskan klaim atas kawasan perairan Ambalat. 

"Kita cari penyelesaian yang baik, yang damai. Ada itikad baik dari dua pihak. Ya intinya kita mau punya penyelesaian baik," ujar Prabowo dalam konferensi pers usai membuka Konvensi Sains, Teknologi, dan Industri Indonesia (KSTI) 2025 di Gedung Sasana Budaya Ganesa (Sabuga), ITB, Bandung, Kamis, 7 Agustus 2025.

Populer

Bobby dan Raja Juli Paling Bertanggung Jawab terhadap Bencana di Sumut

Senin, 01 Desember 2025 | 02:29

NU dan Muhammadiyah Dikutuk Tambang

Minggu, 30 November 2025 | 02:12

Padang Diterjang Banjir Bandang

Jumat, 28 November 2025 | 00:32

Sergap Kapal Nikel

Kamis, 27 November 2025 | 05:59

Peluncuran Tiga Pusat Studi Baru

Jumat, 28 November 2025 | 02:08

Bersihkan Sisa Bencana

Jumat, 28 November 2025 | 04:14

Evakuasi Banjir Tapsel

Kamis, 27 November 2025 | 03:45

UPDATE

Tragedi Nasional dari Sumatra dan Suara yang Terlambat Kita Dengarkan

Jumat, 05 Desember 2025 | 15:44

Produktivitas Masih di Bawah ASEAN, Pemerintah Susun Langkah Percepatan

Jumat, 05 Desember 2025 | 15:41

Lewat Pantun Cak Imin Serukan Perbaiki Alam Bukan Cari Keributan

Jumat, 05 Desember 2025 | 15:38

Bank Mandiri Sabet 5 Penghargaan BI

Jumat, 05 Desember 2025 | 15:27

Liga Muslim Dunia Siap Lobi MBS untuk Permudah Pembangunan Kampung Haji Indonesia

Jumat, 05 Desember 2025 | 15:18

Banjir Rob di Pesisir Jakarta Berangsur Surut

Jumat, 05 Desember 2025 | 15:13

RI–Timor Leste Sepakat Majukan Koperasi

Jumat, 05 Desember 2025 | 15:08

Revisi UU Cipta Kerja Mendesak di Tengah Kerusakan Hutan Sumatera

Jumat, 05 Desember 2025 | 14:57

Bahlil Telusuri Dugaan Keterkaitan Tambang Martabe dengan Banjir Sumut

Jumat, 05 Desember 2025 | 14:48

BI: Cadangan Devisa RI Rp2.499 Triliun per Akhir November 2025

Jumat, 05 Desember 2025 | 14:39

Selengkapnya