Alam di Pandeglang ieu teu diragukeun deui endah luar biasa, hanjakal hasilna ngan macet jeung sampah doang. (Kekayaan alam Pandeglang hanya menyisakan macet dan sampah).
PENGGALAN kalimat ini diucapkan oleh seorang pendidik dan sekaligus pegiat budaya asli Pandeglang lulusan Universitas Padjajaran yang kini sudah wafat.
Pernyataan itu dilontarkan di tengah keresahan terhadap realitas di tanah kelahirannya yang tak kunjung menunjukan tanda-tanda perbaikan apalagi kemajuan, berpuluh tahun lamanya.
Kalau dipikir-pikir, kondisi alam Pandeglang dibandingkan dengan daerah-daerah wisata lain yang maju di Pulau Jawa memang tidak ada bedanya. Keberadaan gunung, lembah perbuktian, serta garis pantai yang eksotis di Pandeglang memanjang hingga ujung paling barat Pulau Jawa.
Sayangnya, keseluruhan potensi alam tadi tidak pernah berubah menjadi aktualisasi. Potensi akan tetap menjadi potensi dan tidak akan mengalami peningkatan pada level aktualisasi bila tidak dimanfaatkan, digerakan dan dioptimalkan dengan baik.
Salatnya seseorang itu potensi, aktualisasinya adalah ia berbuat baik pada sesama, menebar manfaat dan menghindari perbuatan tercela.
Kekayaan materi dan ketinggian ilmu juga masih merupakan potensi bila
outputnya tidak diarahkan untuk mendatangkan maslahat bagi banyak orang. Jadi poinnya terletak pada niat serta dorongan untuk bertindak secara nyata.
Bila kita perluas pembahasan pada level pemanfaatan segala potensi yang terdapat di Pandeglang, maka yang akan kita temukan adalah suatu fakta tentang stagnasi jangka panjang yang diakibatkan oleh gagalnya kepemimpinan dalam memanfaatkan segala anugerah Tuhan yang sudah disediakan.
Bahkan untuk sekedar mendongkrak pendapatan saja harus menunggu kiriman sampah dari daerah lain.
Pernyataan “yang penting cuan” sebagaimana baru-baru ini yang dikeluarkan oleh Wakil Bupati Pandeglang tentang sampah kiriman dari Tangerang Selatan (Tangsel) merupakan puncak legitimasi atas rangkaian kebingungan, kegamangan serta kegagalan yang jejaknya dapat dilacak pada kepemimpinan di periode-periode sebelumnya.
Ihwal kiriman sampah di Pandeglang yang kini menjadi primadona isu merupakan aras piramida dari kegagalan struktural-fungsional.
Dimana lemahnya kepemimpinan dapat diletakan sebagai daya dukung utama carut marutnya penyelenggaraan pemerintahan.
Salah seorang sahabat senior bahkan pernah menanggapi persoalan ini secara lebih mendasar.
Kalau mau jujur, kita harus menerima secara terbuka dengan kenyataan bahwa para pemimpin di Pandeglang, mungkin sejak dua dasawarsa terakhir itu terkenal dengan orisinalitas otaknya.
Ai otak mah boga, ngan teu dipake (punya otak tapi tidak digunakan). Orisinalitas alias keperawanan otak inilah yang membuat Pandeglang tidak pernah lepas dari belitan label daerah tertinggal. Padahal akal sebagai anugerah Tuhan yang maha kuasa bila digunakan akan melahirkan imajinasi dan ide-ide kreatif.
Segala kemajuan, inovasi dan penemuan yang tampak di dunia ini, itu berasal dari kemauan untuk mendayagunaan akal.
Sesederhana apapun suatu kebijakan, bila muasalnya dari pemikiran serius untuk kemalahatan daerah maka insya Allah akan memicu tumbuhnya pemikiran serta tindakan-tindakan baru.
Coba saja para pemimpin di Pandeglang untuk meningkatkan kualitas infrastruktur di setiap jalur menuju Gunung Karang, dan melakukan upaya pelatihan terhadap masyakarat sekitar untuk mengembangkan hasil-hasil bumi seperti kopi, ubi-ubian dan lainnya sebagai daya tarik yang khas.
Tapi bila infrastruktur menuju Gunung Karang saja
kenca katuhuna (kiri-kanannya) masih banyak yang berlubang
atu mantak teu pikabitaeun batur (keengganan wisatawan).
Yang ingin saya katakan adalah bahwa para pemimpin di Pandeglang harus melihat setiap trek atau jalur menuju panorama alam baik pantai, gunung, lembah perbukitan, maupun perkebunan sebagai titik-titik untuk mentriger tumbunya kesadaran dan pemberdayaan.
Mungkin saja manfaatnya ekonomis tidak bisa dirasakan secara cepat, tetapi bila diseriusi maka efek jangka panjang yang positif secara bertahap dapat dirasakan.
Jangan jadikan minimnya anggaran daerah sebagai alasan yang menghambat pertumbuhan. Asal ada kemauan untuk bergerak, anda-anda sekalian para penggede Pandeglang punya modalitas untuk bergerak kesana kemari mencari daya dukung (yang secara teknis tidak perlu saya sampaikan) agar anda-anda sekalian terlihat memiliki keinginan dan tindakan dari sekedar menampung tumpukan sampah.
Lagi pula dunia ini kan luas sekali, kalau daya dukung yang memungkinkan untuk menopang kemajuan tersebut tidak tersedia di level provinsi, maka upayakan pada level nasional, bila tidak juga ditemukan di level nasional, maka carilah pada level regional, bila tidak ditemukan pada level regional, maka upayakan sebisa mungkin membuka akses pada ranah global.
Toh negara kita ini punya pertalian kerjasama diberbagai bidang dengan aktor-aktor global.
Ayolah Ibu Bupati, ayolah Bapak Wakil Bupati, mulailah untuk berpikir dan bergerak dengan serius lewat serangkaian terobosan. Kasihan warga Pandeglang terutama sekitar wilayah Bangkonol (Kecamatan Koroncong) yang harus menghirup pencemaran polusi udara serta aroma tidak sedap disekitar area penampungan sampah di atas dalil yang penting cuan.
Ada banyak cara yang lebih lembut dan terhormat untuk memajukan daerah agar potensi tidak berhenti menjadi kata potensi, kelebihan tidak sebatas kelebihan, dan keindahan tidak sebatas keindahan.
Potensi, kelebihan dan keindahan Pandeglang harus didayagunakan sebagai aktualisasi yang manfaatnya diharapkan meluas untuk khalayak banyak. Ayolah.
Penulis adalah Warga Pandeglang