GELOMBANG Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) tak kunjung reda, lapangan kerja makin seret, sementara pemerintah gagal menghadirkan solusi.
Di tengah kenyataan pahit itu, muncul dua istilah baru di masyarakat, Rojali (rombongan jarang beli) dan Rohana (rombongan hanya nanya).
Fenomena Rojali dan Rohana merupakan kondisi di mana pengunjung hanya mendatangi pusat perbelanjaan tanpa ada niat untuk melakukan transaksi pembelian. Pengunjung hanya melihat-lihat atau membandingkan harga dan kualitas produk, kemudian membeli secara daring.
Musabab fenomena Rohana dan Rojali ialah penurunan daya beli dan tekanan ekonomi Indonesia sejak awal tahun ini.
Rojali dan Rohana adalah potret dari jutaan warga Indonesia yang kesulitan memenuhi kebutuhan dasar. Harga sembako naik, lapangan kerja tetap minim, dan pekerjaan informal makin mendominasi.
Banyak dari mereka yang tak sanggup membeli barang yang dulu tergolong kebutuhan rutin. Bisa membeli kebutuhan pokok saja sudah syukur.
Salah satu pemicu menurunnya daya beli masyarakat adalah gelombang pemutusan hubungan kerja yang telah terjadi sejak awal 2025, dua di antaranya terjadi pada sektor media massa dan manufaktur.
Dari Januari hingga April 2025 sebanyak 24.036 orang telah terdampak pada pemutusan hubungan kerja. Di lembaga penyiaran publik seperti
RRI dan
TVRI, pemecatan dikenai kepada kontributor dan mitra kontrak.
Pada awal Mei,
KompasTV memutus hubungan kerja sampai 150 karyawan,
CNN Indonesia TV 200 orang,
TvOne 75 orang, dan Emtek 100 orang.
Di sektor manufaktur, PT Sri Rejeki Isman Tbk atau Sritex menghentikan operasionalnya per 1 Maret 2025. Raksasa tekstil itu dinyatakan pailit oleh pengadilan dan telah merumahkan lebih dari 10 ribu karyawannya.
Pemutusan hubungan kerja yang terjadi saat ini merupakan dampak langsung dari kebijakan penghematan anggaran yang tengah dijalankan pemerintahan Presiden Prabowo Subianto.
Mirisnya, langkah efisiensi ini bertolak belakang dengan ambisi Prabowo yang menargetkan pertumbuhan ekonomi sebesar 8 persen hingga akhir masa jabatannya pada tahun 2029.
Isapan Jempol Janji Lapangan KerjaBerkali-kali Prabowo menggembor-gemborkan 19 juta lapangan pekerjaan selama lima tahun masa pemerintahannya. Itu ia gaungkan saat kampanye pemilu di tahun lalu.
Janji itu jadi angin segar bagi para pencari kerja, lulusan baru, dan korban PHK. Tapi nyatanya, janji itu hanya isapan jempol belaka. Alih-alih membuka lapangan pekerjaan baru, pemerintah justru membiarkan gelombang PHK terjadi tanpa perlindungan sosial apa pun.
Kita bisa menyaksikan bagaimana orang-orang berebut pekerjaan. Belum lama ini, ribuan pelamar kerja berdesakan hanya untuk melamar posisi kasir dan pramuniaga di sebuah toko ritel di Cianjur, Jawa Barat.
Video dan foto itu viral di media sosial, memperlihatkan betapa putus asanya warga terhadap pekerjaan, betapapun rendah gajinya, betapapun sempit peluangnya.
Ironi Tanah IndustriKondisi pemutusan hubungan kerja besar-besaran tak cuma terjadi di pusat, tapi juga menghantam daerah. Contoh saja di Provinsi Banten, badai pemecatan melanda begitu keras.
Provinsi dengan julukan tanah jawara itu, masuk ke empat besar nasional dengan tingkat PHK mencapai 6,85 persen. Data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2024 menyebut angka pengangguran terbuka di Banten berada di posisi tertinggi se-Indonesia, yakni mencapai 7,02 persen.
Kondisinya jadi ironi ketika Banten yang hampir sebagian wilayahnya termasuk dalam daerah industri seperti Tangerang, Serang, dan Cilegon gagal menyerap lapangan kerja.
Gubernur Banten, Andra Soni, malah menjawab solusi pengangguran dengan mengirim 44 KK untuk ikut program transmigrasi ke luar Pulau Jawa.
Alih-alih menyelesaikan akar persoalan pengangguran di Banten dengan menciptakan lapangan kerja lokal dan memperkuat industri berbasis komunitas, pemerintah justru menganggap rakyat sebagai beban yang harus disebar ke wilayah lain.
Transmigrasi jelas bukan solusi jangka panjang bagi persoalan pengangguran struktural. Langkah ini juga memperlihatkan kegagapan pemerintah daerah dalam menjawab kebutuhan dasar warganya.
Dengan kata lain, janji 19 juta lapangan kerja tak hanya gagal terealisasi di tingkat pusat, tetapi juga gagal diterjemahkan di level daerah.
Mestinya, alih-alih menggiring warga ke daerah lain tanpa kepastian, pemerintah fokus pada upaya-upaya yang lebih berkelanjutan. Seperti mendorong investasi padat karya, memperkuat sektor UMKM, menyediakan program reskilling (pelatihan ulang) bagi korban PHK, atau memberikan insentif pajak bagi perusahaan yang berkomitmen tidak melakukan pengurangan tenaga kerja.
Pada akhirnya, fenomena Rojali dan Rohana bukan sekadar guyonan belaka. Mereka adalah orang-orang yang bertahan di tengah terpuruknya ekonomi sambil menunggu lapangan kerja yang tak kunjung tiba.
*Peneliti Social Justice Indonesia