Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan Komisi III DPR/Repro
Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) didorong memasukkan pasal tambahan mengenai penyidikan tambahan oleh penuntut umum hingga 60 hari. Penambahan masa pemeriksaan oleh jaksa dilakukan guna mengoptimalkan check and balances dalam penegakan hukum.
Ketua Umum Masyarakat Hukum Pidana dan Kriminologi Indonesia (Mahupiki), Firman Wijaya berpendapat, waktu 14 hari masa penyidikan tambahan oleh jaksa hari seperti yang tertuang dalam Pasal 59 E ayat (6) akan sulit menciptakan check and balances yang seimbang.
"Pasal 59 E ayat (6), dalam keadaan penyidik berkesimpulan bahwa penyidikan telah cukup bukti, sedangkan penuntut umum berpendapat bahwa penyidikan belum maksimal. Artinya tidak ada kesepakatan antara penyidik dan jaksa dalam gelar perkara, jangka waktu penyidikan atau pemeriksaan tambahan oleh jaksa diberikan waktu 60 hari disesuaikan dengan penahanan dan perpanjangan penahanan," kata Firman dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan Komisi III DPR, Selasa 22 Juli 2025.
Atas dasar itu, Mahupiki berpendapat perlu ada pengaturan tambahan dalam Pasal 59 E ayat (7).
“Kalau hanya 14 hari sebagaimana diatur dalam Pasal 59E ayat (6) tidak mungkin dapat teroperasionalkan dengan optimal, karena tidak ada keseimbangan ruang
check and balance sistem penegakan hukum," kata Firman.
Dalam kesempatan itu, Firman juga turut mendorong adanya penyesuaian di Pasal 5 RUU KUHAP dengan pembatasan waktu penyelidikan hingga maksimal enam bulan.
“Tahap penyelidikan, sebagaimana Pasal 5 KUHAP, dalam pembatasan waktu ini kami berharap ada ketetapan waktu yang jelas, yaitu enam bulan atas masa penyelidikan dan maupun tindakan penyelidikan ini dalam ruang pengujian penyelidikan. Di mana tahap penyelidikan harus dapat duji melalui lembaga praperadilan,” kata Firman.
Mahupiki dalam RDPU ini juga ikut menyoroti keberadaan penyidik utama. Menurut Firman, reevaluasi atas keberadaan penyidik utama penting dilakukan.
“Penyidik tertentu harus ada reevaluasi aturan hukum, termasuk reeavaluasi istilah penyidik utama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2)," kata Firman.
Sementara itu, Perwakilan Mahupiki dari Universitas Trunojoyo Madura Deni Setya Bagus Yuherawan, ikut menyayangkan penyidik Otoritas Jasa Keuangan (OJK) tidak muncul sebagai penyidik tertentu. Diketahui penyidik tertentu yang tercantum dalam RUU KUHAP hanya berasal dari KPK, kejaksaan dan TNI AL.
"Di Pasal 16 ayat (1), penyidik tertentu meliputi OJK tetapi dalam Pasal 7 ayat (5) dan Pasal 90 ayat (4) tidak ada OJK," kata Deni.
Sementara BEM Universitas Negeri Semarang (Unes) yang mengikuti RDPU secara daring menilai RUU KUHAP masih memunculkan kritik substansial karena dinilai bertentangan dengan prinsip dasar hukum hak asasi manusia dan keadilan sosial.
Salah satu sorotan yaitu pada pasal 1 (13) mengenai upaya paksa dan tindakan aparat penegak hukum berupa penetapan tersangka penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan, pemeriksaan surat penyadapan dan atau larangan bagi tersangka untuk keluar dari Indonesia yang dilakukan berdasarkan ketentuan undang-undang.
Definisi penyadapan tanpa pembatasan hanya untuk kejahatan berat dianggap dapat menimbulkan potensi pelanggaran hak atas
privacy semakin besar. Apalagi jika praktiknya dapat dilakukan tanpa pengawasan tetap dari lembaga peradilan.
Penetapan tersangka dalam pasal ini dipandang BEM Unes terkesan menormalisasi pendekatan represif karena menggunakan metode pemaksaan sebagai dasar, bukan hasil dari proses pembuktian yang sah. Hal ini berdentangan dengan prinsip proporsionalitas dan perlindungan hak atas
privacy sebagai mana dimuat dalam pasal 17 ICCPR dan Putusan MK No. 5/PUU-VIII/2010.