Berita

Ilustrasi/Ist

Publika

Saat Indonesia Kehilangan Konstitusi Asli

Oleh: Yudhie Haryono*
JUMAT, 18 JULI 2025 | 02:12 WIB

MEREKA yang beranggapan bahwa negara adalah institusi paling berkuasa sehingga leviathan (memiliki kekuasaan absolut untuk menjaga keamanan dan ketertiban rakyat) perlu dikoreksi ulang. Jika tidak, mereka akan terus hidup di alam utopia: tak berjejak, tak paham sejarah.

Mengapa? Karena kini negara kita dikuasai oligarki. Merekalah aktor utama pergantian konstitusi. Apa buktinya? Terlihat banyak pejabat negara kita berwajah memelas tetapi ganas; banyak perwira (TNI/Polri) kita bertampang pelindung tetapi mentung; banyak guru-guru kita berbaju pancasila tetapi bertradisi KKN ganas luar biasa; banyak rohaniawan kita berlagak zuhud tetapi amoral.

Pada area oligarki, perlindungan rakyat tinggal mimpi; Keadilan sosial tinggal tulisan; Ketuhanan yang esa tinggal ratapan; Kerakyatan dan konsensus tinggal gurauan; Persatuan dan kemanusiaan tinggal kenangan. Pancasila berganti pancaproblema.


Ini semua bermula dari relasi peng-peng (penguasa-pengusaha) yang membentuk komunitas oligarki dan negara investor. Tetapi, tanda terbaiknya adalah saat presiden Joko Widodo (2023) menyatakan bakal mengejar dan menghajar pihak yang menghambat investasi di Indonesia. Hal itu terkait dengan perlawanan rakyat yang tak setuju, perizinan yang lambat, birokrasi berbelit hingga dugaan pungutan liar plus aparat yang tak melindungi proyeknya.

Pidato itu jelas, tanda ia sudah lupa, ia tak paham, tak mengerti sehingga rabun konstitusi. Tanda ia bangga jadi pengkhianat rakyat. Tanda ia rela jadi gedibal konglomerat. Tanda ia senyum jadi "hit man" yang menjual murah kedaulatan manusia dan negaranya. Tanda jiwa raganya tak merdeka.

Semuanya menuju postulat "republik darurat nasional." Apa itu RDN? Apa solusinya? RDN adalah kondisi perilaku mutakhir elite hari ini yang anti-sosial(isme) karena beriman dan menyembah investor(isme). Mereka kini anti konstitusi dan mengencingi akal sehat: mengkhianati dan menguburkan pancasila.

Kedaruratan republik ini tentu karena negara kalah perang asimetrik dan terhegemoni kaum konglomerat. Semua berasal dari munculnya globalisasi yang bukan hanya sebagai proses perdagangan bebas, melainkan sebagai bentuk kapitalisme global yang cenderung menciptakan ketidaksetaraan, kemiskinan dan ketimpangan akut.

Sudah pasti, globalisasi di sini mengabaikan kepentingan negara berkembang; menghambat pertumbuhan negara; mengerdilkan rakyat agar tetap melarat; memastikan kesehatan negara hanya akibat, bukan tujuan.

Singkatnya, globalisasi merupakan perwujudan tertinggi dari ekspansi modal (kapitalisme), atau sebuah model imperialisme baru yang bergerak secara mondial, menembus batas-batas negara-bangsa (nation-state), dalam upaya mencari sumber-sumber akumulasi modal yang baru. Negara (purba) remuk dan direbut kaum kapitalis untuk dirubah menjadi "institusi yang mereka maui." Jadilah negara oligarki.

Globalisasi tentu saja menjadi gerak modal yang menggerus berbagai rintangan dan halangan bagi proses akumulasi tersebut. Lahirlah proyek kurs bebas, proyek privatisasi dan swastanisasi terhadap BUMN. Lahir juga program anti subsidi dan kesejahteraan serta kesehatan warga hanya akibat, bukan cita-cita bersama.

Maka, kita merasa di timur matahari bercahaya berganti kegelapan. Darah rakyat tumpah, membela diri tapi kalah. Tumbal pembangunan berkecambah. Indonesia tidak baik-baik saja karena KKN makin merajalela.

Solusinya, kita harus bangun dan berdiri. Marilah mengatur barisan kembali. Revolusi moral, konstitusional dan sosial sudah memanggil. Sosialisme rakyat harap memanggul. Pancasila membersamai pemuda pemudi Indonesia. Serentak kita hancurkan arogansi kafir yang kufur. Kubur dan jadikan injakan. Tentu agar janji proklamasi dan konstitusi terealisasi. 

Jalannya adalah "turn around": kembali ke Pancasila dan UUD 1945 yang asli. Ini merupakan langkah dan metoda jenius. Ini usaha rekonsolidasi arah bangsa. Lalu, penyempurnaan melalui addendum, bukan amandemen total, menjadi pilihan konstitusional yang menjaga keaslian dan sekaligus mengantisipasi tuntutan zaman.

Dengan cara ini, kita membangun Indonesia berdasarkan jati dirinya. Menjadi negara pancasila. Bukan sekadar meniru sistem asing yang tidak cocok dengan kepribadian kita.

Apa argumennya? Ada banyak yang dapat kita ajukan. Pertama, amandmen UUD 1945 sebanyak empat kali (1999-2002) yang menghasilkan UUD 2002 dilakukan bukan dalam suasana parlemen yang sehat. Ini menunjukkan amandmen itu berlangsung dalam suasana kebatilan, bukan dalam suasana kebatinan.

Kedua, Dekrit Presiden 5 Juli 1959 masih berlaku dan dalam sejarahnya berhasil menyelamatkan bangsa dari perpecahan. Karenanya UUD 1945 yang ditetapkan pada 18 Agustus 1945 masih berlaku.

Ketiga, UUD 2002 cacat hukum, menghasilkan kehidupan berbangsa dan bernegara yang buruk, serta mewujudkan tata kelola pemerintahan yang menyimpang dari Pancasila. Hal ini karena empat kali amandmen dilatarbelakangi campur tangan asing melalui National Democratic Institute (NDI) dan Cetro yang memperjuangkan paham liberalisme dan individualisme.

Keempat, sistem politik yang diamanahkan Pancasila dan UUD 1945 naskah asli adalah sistem politik tercanggih karena memposisikan MPR-RI sebagai lembaga tertinggi.

Kelima, dalam rangka menyelamatkan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, serta guna merespon geopolitik yang berubah-ubah serta tidak pasti, kembali ke Pancasila dan UUD 1945 adalah solusi terbaik dan benar, karena jika melakukan amandemen ke lima, itu berarti berpijak pada produk konstitusi yang inkonsisten secara paradigmatik, teori dan konsepsi.

Maka, adalah mustahil berpijak pada suatu produk pemikiran yang secara akademik tidak memenuhi syarat. Pola pikir yang fokus pada amandemen kelima adalah bukti pemikiran yang terindikasi makin menjauhkan Pancasila dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Karenanya kita kembali ke Pancasila dan UUD 1945, lalu menambahkan tanpa mengubah aslinya adalah solusi jenius. Mestakung.

*Penulis adalah Teoritikus Nusantara Studies

Populer

Bobby dan Raja Juli Paling Bertanggung Jawab terhadap Bencana di Sumut

Senin, 01 Desember 2025 | 02:29

NU dan Muhammadiyah Dikutuk Tambang

Minggu, 30 November 2025 | 02:12

Padang Diterjang Banjir Bandang

Jumat, 28 November 2025 | 00:32

Sergap Kapal Nikel

Kamis, 27 November 2025 | 05:59

Peluncuran Tiga Pusat Studi Baru

Jumat, 28 November 2025 | 02:08

Bersihkan Sisa Bencana

Jumat, 28 November 2025 | 04:14

Evakuasi Banjir Tapsel

Kamis, 27 November 2025 | 03:45

UPDATE

Tragedi Nasional dari Sumatra dan Suara yang Terlambat Kita Dengarkan

Jumat, 05 Desember 2025 | 15:44

Produktivitas Masih di Bawah ASEAN, Pemerintah Susun Langkah Percepatan

Jumat, 05 Desember 2025 | 15:41

Lewat Pantun Cak Imin Serukan Perbaiki Alam Bukan Cari Keributan

Jumat, 05 Desember 2025 | 15:38

Bank Mandiri Sabet 5 Penghargaan BI

Jumat, 05 Desember 2025 | 15:27

Liga Muslim Dunia Siap Lobi MBS untuk Permudah Pembangunan Kampung Haji Indonesia

Jumat, 05 Desember 2025 | 15:18

Banjir Rob di Pesisir Jakarta Berangsur Surut

Jumat, 05 Desember 2025 | 15:13

RI–Timor Leste Sepakat Majukan Koperasi

Jumat, 05 Desember 2025 | 15:08

Revisi UU Cipta Kerja Mendesak di Tengah Kerusakan Hutan Sumatera

Jumat, 05 Desember 2025 | 14:57

Bahlil Telusuri Dugaan Keterkaitan Tambang Martabe dengan Banjir Sumut

Jumat, 05 Desember 2025 | 14:48

BI: Cadangan Devisa RI Rp2.499 Triliun per Akhir November 2025

Jumat, 05 Desember 2025 | 14:39

Selengkapnya