Berita

RDPU Komisi III DPR RI dengan Komnas Perempuan, LBH Apik, BEM Unes, PBB, dan Gema Keadilan, di Komplek Parlemen, Senayan, Jakarta/RMOL

Politik

LBH Apik:

Prajurit TNI Terlibat Kekerasan Seksual Sebaiknya Diadili di Peradilan Umum

SENIN, 14 JULI 2025 | 15:44 WIB | LAPORAN: FAISAL ARISTAMA

Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH Apik) Jakarta mengusulkan agar prajurit TNI aktif yang terlibat dalam kasus kekerasan berbasis gender agar diadili melalui peradilan umum.

Usulan itu disampaikan Koordinator Pelayanan Hukum LBH Apik Jakarta, Tuani S Marpaung, dalam rapat dengar pendapat (RDP) bersama Komisi III DPR di Komplek Parelmen, Senayan, Jakarta, Senin 14 Juli 2025. 

Tuani mendesak agar ketentuan tersebut diatur dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).


"Memang kasus-kasus kekerasan berbasis gender yang mana pelakunya adalah prajurit TNI itu diproses di peradilan militer. Usulan kami adalah usulan perubahan terkait mengenai kewenangan mengadili prajurit militer," kata Tuani.

Selain itu, Tuani menyatakan pihaknya mengusulkan agar dalam RUU KUHAP diatur mekanisme koneksitas peradilan, yaitu pembagian kewenangan antara peradilan umum dan peradilan militer. 

Dalam hal prajurit TNI melakukan kejahatan seperti kekerasan seksual atau kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), proses hukum harus dilakukan melalui peradilan umum. 

Sementara, untuk pelanggaran disiplin militer atau kejahatan perang, tetap ditangani oleh peradilan militer.

"Namun ketika anggota aktif prajurit TNI melakukan KDRT, kemudian kekerasan seksual, itu harus diproses di peradilan umum," kata Tuani.

Ia mencontohkan, dalam beberapa kasus yang didampingi LBH Apik, pelaku yang merupakan prajurit TNI dijerat menggunakan pasal-pasal KUHP lama, padahal sudah ada Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS). 

Akibatnya, kata dia, vonis yang dijatuhkan sangat ringan dan jauh dari rasa keadilan. 

"Kami melihat juga putusan-putusan itu sangat rendah. Perkosaan itu putusannya 9 bulan 10 bulan, itu adalah perkosaan," kata Tuani.

Lebih jauh, LBH Apik juga menyoroti bahwa peradilan militer umumnya tidak mengacu pada UU TPKS, Peraturan Mahkamah Agung, dan lainnya.

"Mereka tidak mengenal itu. Jadi memang itu usulan kami supaya ditambahkan terkait koneksitas terkait peradilan militer dan peradilan umum itu harus dipisahkan," demikian Tuani.



Populer

Bobby dan Raja Juli Paling Bertanggung Jawab terhadap Bencana di Sumut

Senin, 01 Desember 2025 | 02:29

NU dan Muhammadiyah Dikutuk Tambang

Minggu, 30 November 2025 | 02:12

Padang Diterjang Banjir Bandang

Jumat, 28 November 2025 | 00:32

Sergap Kapal Nikel

Kamis, 27 November 2025 | 05:59

Peluncuran Tiga Pusat Studi Baru

Jumat, 28 November 2025 | 02:08

Bersihkan Sisa Bencana

Jumat, 28 November 2025 | 04:14

Evakuasi Banjir Tapsel

Kamis, 27 November 2025 | 03:45

UPDATE

Tragedi Nasional dari Sumatra dan Suara yang Terlambat Kita Dengarkan

Jumat, 05 Desember 2025 | 15:44

Produktivitas Masih di Bawah ASEAN, Pemerintah Susun Langkah Percepatan

Jumat, 05 Desember 2025 | 15:41

Lewat Pantun Cak Imin Serukan Perbaiki Alam Bukan Cari Keributan

Jumat, 05 Desember 2025 | 15:38

Bank Mandiri Sabet 5 Penghargaan BI

Jumat, 05 Desember 2025 | 15:27

Liga Muslim Dunia Siap Lobi MBS untuk Permudah Pembangunan Kampung Haji Indonesia

Jumat, 05 Desember 2025 | 15:18

Banjir Rob di Pesisir Jakarta Berangsur Surut

Jumat, 05 Desember 2025 | 15:13

RI–Timor Leste Sepakat Majukan Koperasi

Jumat, 05 Desember 2025 | 15:08

Revisi UU Cipta Kerja Mendesak di Tengah Kerusakan Hutan Sumatera

Jumat, 05 Desember 2025 | 14:57

Bahlil Telusuri Dugaan Keterkaitan Tambang Martabe dengan Banjir Sumut

Jumat, 05 Desember 2025 | 14:48

BI: Cadangan Devisa RI Rp2.499 Triliun per Akhir November 2025

Jumat, 05 Desember 2025 | 14:39

Selengkapnya