Ketua Badan Anggaran DPR RI Said Abdullah/RMOL
Ketua Badan Anggaran DPR RI Said Abdullah meminta Kemenko Perekonomian membawa bekal menjanjikan dalam proses negosiasi tarif resiprokal dengan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump.
Menurutnya, jalan negosiasi diperlukan bagi Indonesia setelah adanya penetapan tarif resiprokal sebesar 32 persen untuk Indonesia.
"Dari tenggat waktu yang tersedia, tidak ada pilihan bagi pemerintah agar tetap menempuh jalan negosiasi kembali dengan Pemerintah AS," kata Said di Gedung Nusantara II, Komplek DPR RI, Senayan, Kamis 10 Juli 2025.
Adapun bekal tersebut seperti penekanan memungkinkan adanya perusahaan Indonesia melakukan aktivitas
manufacturing di AS, selain tawaran untuk menurunkan tingkat defisitnya AS dalam perdagangan dengan Indonesia.
"Seperti terekam dalam data BPS, neraca dagang Indonesia dengan AS mencatat surplus 6,42 miliar dolar AS atau sekitar Rp104,9 triliun (kurs Rp 16.350 per dollar AS)," kata Said.
Legislator dari Fraksi PDIP ini mengakui AS merupakan negara dengan penduduk besar dan daya beli yang sangat besar. Sehingga menjadi market yang menjanjikan bagi produk-produk ekspor Indonesia.
Ia menambahkan produk-produk Indonesia seperti, tekstil, pakaian jadi, alat kaki, peralatan listrik, karet, dan produk karet, alat penerangan, ikan, udang, kakao, dan mesin banyak diminati di pasar AS.
Di sisi lain, kata Said, pemerintah perlu memutar otak untuk mengganti pasar AS, salah satunya mengincar pasar dari negara-negara BRICS.
"Hendaknya pemerintah memiliki banyak opsi jika tarif 32 persen tetap di berlakukan," tutupnya.
Presiden Trump mengirim surat kepada Presiden Prabowo, memberikan tanggapan atas upaya lobi yang dilakukan oleh Pemerintah Indonesia atas pengenaan tarif perdagangan.
Terbaru, tertanggal 7 Juli 2025, Presiden Trump mengenakan tarif sebesar 32 persen atas barang barang Indonesia yang masuk ke Amerika Serikat. Dengan demikian tarif ini tidak berubah dari yang telah dikenakan Presiden Trump sejak April 2025 lalu.
Sementara negara negara tetangga seperti Malaysia, Jepang dan Korea Selatan dikenakan tarif lebih rendah, sebesar 24 persen, dan Thailand lebih tinggi, yakni 36 persen.
Tarif yang diberlakukan kepada Indonesia tersebut akan berlaku mulai 1 Agustus 2025, atau kurang dari sebulan lagi.