Berita

Pakar Telematika Roy Suryo bersama Tim Pembela Ulama dan Aktivis seusai mengikuti gelar perkara khusus dugaan ijazah palsu Joko Widodo di Bareskrim Mabes Polri. (Foto: Sindo/Arif Julianto)

Publika

Gelar Perkara Khusus yang Khusus Menyembunyikan Gelar

KAMIS, 10 JULI 2025 | 15:25 WIB | OLEH: FIRMAN TENDRY MASENGI

RABU, 9 Juli 2025, Gelar Perkara Khusus terkait dugaan ijazah palsu Presiden Joko Widodo resmi digelar. Tapi alih-alih menghadirkan transparansi, negara justru memperagakan kebungkaman terstruktur. Tanpa dokumen asli, tanpa pengujian terbuka, tanpa pihak independen -publik hanya disuguhi kesimpulan sementara internal yang menggantung di udara. Ini bukan proses hukum. Ini penyesatan yang dilembagakan.

Dalam perkara pidana, hukum tidak memberikan ruang untuk pembuktian yang kabur. In criminalibus probationes debent esse luce clariores -dalam pidana, bukti harus lebih terang dari cahaya. Namun dalam perkara ini, bukti malah diselubungi oleh prosedur dan diam administratif. Negara meminta rakyat percaya, tanpa membuka apa yang seharusnya bisa diuji: dokumen asli ijazah.

Bila yang dipakai sebagai dasar hanya fotokopi, pernyataan lembaga, atau dokumen digital, maka dalil tegas berlaku: Probatio ficta, probatio nulla est -pembuktian fiktif adalah pembuktian yang batal demi hukum.


Jika negara gagal menunjukkan bukti otentik, maka seluruh klaim tentang keaslian ijazah kehilangan nilai legitimasi. Ini bukan hanya cacat administratif. 
Ini adalah luka dalam pada sistem kenegaraan yang seharusnya bertumpu pada transparansi dan kepercayaan publik.

Gelar perkara tanpa bukti adalah ironi. Ia disebut “khusus”, tapi yang ditampilkan justru penghindaran terhadap pertanyaan paling mendasar: Mana bukti aslinya? Siapa yang memverifikasinya? Mengapa tidak diuji terbuka?

Ketika sistem penyidikan tidak mampu lagi menjawab pertanyaan dasar, maka konstitusi memberi ruang bagi mekanisme yang lebih tinggi: Hak Subpoena DPR RI. DPR, sebagai lembaga representatif, memiliki kewenangan memanggil pihak-pihak terkait secara paksa dan menuntut dokumen otentik, termasuk menguji ijazah asli yang menjadi sumber polemik. Jika negara eksekutif menutup ruang terang, maka legislatif wajib membuka paksa jendela hukum.

Apakah kita akan terus membiarkan republik ini berdiri di atas dokumen yang tidak bisa dibuktikan? Apakah kekuasaan publik masih bisa dianggap sah jika prasyarat pencalonan presiden pun tidak dapat diverifikasi secara ilmiah?

Kebenaran bukan milik negara. Ia milik publik. Dan jika negara menolak membuktikannya, rakyat berhak memaksanya.

*Advokat, aktivis Prodem.

Populer

Bobby dan Raja Juli Paling Bertanggung Jawab terhadap Bencana di Sumut

Senin, 01 Desember 2025 | 02:29

NU dan Muhammadiyah Dikutuk Tambang

Minggu, 30 November 2025 | 02:12

Padang Diterjang Banjir Bandang

Jumat, 28 November 2025 | 00:32

Sergap Kapal Nikel

Kamis, 27 November 2025 | 05:59

Peluncuran Tiga Pusat Studi Baru

Jumat, 28 November 2025 | 02:08

Bersihkan Sisa Bencana

Jumat, 28 November 2025 | 04:14

Evakuasi Banjir Tapsel

Kamis, 27 November 2025 | 03:45

UPDATE

Tragedi Nasional dari Sumatra dan Suara yang Terlambat Kita Dengarkan

Jumat, 05 Desember 2025 | 15:44

Produktivitas Masih di Bawah ASEAN, Pemerintah Susun Langkah Percepatan

Jumat, 05 Desember 2025 | 15:41

Lewat Pantun Cak Imin Serukan Perbaiki Alam Bukan Cari Keributan

Jumat, 05 Desember 2025 | 15:38

Bank Mandiri Sabet 5 Penghargaan BI

Jumat, 05 Desember 2025 | 15:27

Liga Muslim Dunia Siap Lobi MBS untuk Permudah Pembangunan Kampung Haji Indonesia

Jumat, 05 Desember 2025 | 15:18

Banjir Rob di Pesisir Jakarta Berangsur Surut

Jumat, 05 Desember 2025 | 15:13

RI–Timor Leste Sepakat Majukan Koperasi

Jumat, 05 Desember 2025 | 15:08

Revisi UU Cipta Kerja Mendesak di Tengah Kerusakan Hutan Sumatera

Jumat, 05 Desember 2025 | 14:57

Bahlil Telusuri Dugaan Keterkaitan Tambang Martabe dengan Banjir Sumut

Jumat, 05 Desember 2025 | 14:48

BI: Cadangan Devisa RI Rp2.499 Triliun per Akhir November 2025

Jumat, 05 Desember 2025 | 14:39

Selengkapnya