Anggota KPU August Mellaz/RMOL
Komisi Pemilihan Umum (KPU) menyajikan data perbaikan dari pelaksanaan pemilihan umum (Pemilu) Serentak 2024, jika dibandingkan dengan pelaksanaan Pemilu Serentak 2019, dalam merespon Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) 135/PUU-XXII/2024 yang mengubah model keserentakan pemilu.
Hal tersebut disampaikan Anggota KPU RI, August Mellaz, dalam diskusi Koalisi Pewarta Pemilu dan Demokrasi (KPPD) bertajuk "Menakar Dampak Putusan MK terhadap Kontestasi 2029", di Media Center Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) RI, Jalan MH Thamrin, Jakarta Pusat, Rabu kemarin, 9 Juli 2025.
Mellaz mula menyatakan, pelaksanaan Pemilu Serentak 2024 terbilang lebih rumit dibanding 2019, karena di tahun yang sama juga dilaksanakan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Serentak di 37 provinsi dan 508 kabupaten/kota.
"Dalam konteks ini, apa kemudian data yang bisa disampaikan oleh penyelenggara pemilu terutama KPU, untuk pelaksanaan Pemilu 2024 yang teoritis lebih berat bebannya dibanding tahun 2019 lalu," ujar Mellaz dikutip melalui siaran ulang Youtube pada Kamis, 10 Juli 2025.
Dia menjelaskan, data yang menunjukkan adanya perbaikan tata kelola penyelenggaraan pemilu oleh KPU antara tahun 2019 dengan 2024, salah satunya dapat dilihat dari hasil rekapitulasi suara berjenjang pemilihan presiden (Pilpres) dan pemilihan legislatif (Pileg) 2024.
Mellaz menyebutkan, data hasil rekapitulasi suara oleh KPU yang dilakukan berjenjang dari tingkat tempat pemungutan suara (TPS), kelurahan, kecamatan, kabupaten/kota, provinsi, hingga nasional, memiliki selisih yang tidak jauh berbeda dari hasil hitung cepat lembaga survei yang berbasis sains dengan metodologi sampling.
"(Hasil rekapitulasi suara Pemilu) 2019 mundur ke belakang, jaraknya selalu 3 sampai 4% yang lembaga survei keluarkan untuk calon presiden ini menang, partai ini menang, jaraknya 3 sampai 4% dengan yang kemudian ditetapkan oleh KPU," urai Mellaz.
"Pada 2024, untuk Pilpres KPU menetapkan hasil pemilu nasional selisih antara hasil survei dengan yang disiplin prosesnya beda, untuk Pilpres 0,19%. Satu (persen) saja kurang, mendekati 0, hampir sempurna. Untuk pemilu legislatif yang asumsi dasarnya lebih kompleks dibanding Pilpres, 0,14% (selisihnya) di 2024 dengan asumsi beban. Ini data," sambungnya.
Mellaz juga memaparkan soal perbandingan data dampak dari beban kerja jajaran adhoc KPU di seluruh wilayah Indonesia, antara pelaksanaan Pemilu Serentak 2019 dan 2024, dimana terdapat korban meninggal dunia yang mengalami penurunan drastis.
"(Tahun) 2019 lalu bisa dipahami karena proses transisi awal (pemilu dilaksanakan serentak 5 kotak), ada lebih dari 800 bahkan sudah hampir 900 itu hanya di jajaran KPU (meninggal dunia). (Di) 2024 dengan beban yang sama dan bahkan lebih, jumlahnya berkurang hampir 80% dari total," katanya.
Selain itu, mantan pegiat pemilu dari Sindikasi Pemilu dan Demokrasi (SPD) ini juga menyampaikan perbaikan dalam masalah pengadaan dan distribusi logistik pada Pemilu 2024 dibanding 2019, yang tidak mengganggu tahapan pencoblosan di tempat pemungutan suara seluruh wilayah pemilihan.
"Tahun 2024 dengan beban seperti itu, tidak ada TPS satupun di Indonesia yang dilakukan pemungutan suara susulan oleh karena logistiknya terlambat. Ada sekian ratus (TPS melaksanakan pemungutan suara susulan) itu di Demak karena banjir," paparnya.
Oleh karena itu, Mellaz menegaskan posisi KPU yang tidak terpengaruh oleh adanya Putusan MK 135/PUU-XXII/2024 yang mengubah model keserentakan pemilu menjadi dua fase, yaitu di 2029 pemilu nasional meliputi pilpres, pileg DPR dan DPD, kemudian setelah 2 atau 2,5 tahun baru dilaksanakan pemilu lokal di antaranya meliputi pileg DPRD provinsi dan kabupaten/kota serta pilkada serentak di 37 provinsi dan 508 kabupaten/kota.
Sebabnya, Mellaz menunjukkan kesiapan KPU dan seluruh jajarannya di daerah dalam melaksanakan pemilu dengan model keserentakan pemilu seperti apapun, berdasarkan pengalaman 2019 yang kemudian diupayakan perbaikannya dalam pelaksanaan di 2024 sesuai data hasil evaluasi yang dia paparkan tersebut.
"Jadi saya bukan mau membandingkan (pelaksanaan Pemilu) 2024 dengan 2019. Ini sebagai satu data, satu fakta, yang kemudian dengan segala cara, kami (KPU) di periode ini melihatnya yaitu data yang harus di atasi, itu persoalan yang harus di atasi agar tidak berulang. Dan kami siapkan segala mitigasi risikonya," demikian Mellaz menambahkan.