Pemimpin Tertinggi Taliban Haibatullah Akhundzada/Net
Pengadilan Kriminal Internasional (ICC) di Den Haag resmi mengeluarkan surat perintah penangkapan terhadap dua pejabat Taliban yakni Pemimpin Tertinggi Haibatullah Akhundzada dan Ketua Mahkamah Agung Abdul Hakim Haqqani.
Dalam pernyataannya, ICC menyebut keduanya bertanggung jawab atas serangkaian tindakan diskriminatif berbasis gender, termasuk pelarangan pendidikan bagi anak perempuan di atas usia 12 tahun dan pembatasan luas atas partisipasi perempuan dalam pekerjaan dan ruang publik.
"Meskipun Taliban telah memberlakukan aturan dan larangan tertentu terhadap penduduk secara keseluruhan, mereka secara khusus menargetkan anak perempuan dan perempuan karena gender mereka, merampas hak dan kebebasan fundamental mereka,” kata ICC dalam pernyataan resminya, seperti dimuat BBC pada Rabu, 9 Juli 2025.
Surat perintah ini merupakan perkembangan besar dalam penyelidikan ICC atas situasi Afghanistan, di mana jaksa ICC sebelumnya telah menyebut adanya tanggung jawab pidana terhadap tindakan yang dilakukan berdasarkan ideologi ekstrem Taliban, termasuk larangan perjalanan perempuan tanpa pendamping laki-laki dan larangan suara perempuan di depan umum.
PBB menggambarkan pembatasan sistematis ini sebagai bentuk apartheid gender, sebuah istilah keras yang menggambarkan segregasi berbasis gender yang dilakukan secara sistemik dan terstruktur.
Menanggapi surat perintah tersebut, otoritas Taliban dengan tegas menolak legitimasi ICC. Dalam pernyataannya, mereka menyebut langkah ICC sebagai tindakan permusuhan yang nyata dan penghinaan terhadap keyakinan umat Islam di seluruh dunia.
Juru bicara Taliban menegaskan bahwa pemerintahan mereka menghormati hak-hak perempuan sesuai dengan interpretasi terhadap budaya Afghanistan dan hukum Islam.
Kementerian Luar Negeri Taliban juga menuding ICC bersikap selektif dalam keadilannya, dengan menyatakan bahwa ICC telah menutup mata terhadap berbagai kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan yang dilakukan oleh pasukan asing dan sekutu lokal mereka, merujuk pada keterlibatan pasukan AS sebelum penarikan pada 2021.
Organisasi Human Rights Watch menyambut baik langkah ICC tersebut, seraya menyerukan agar keadilan diperluas bagi semua korban di Afghanistan.
"Menangani siklus kekerasan dan impunitas di Afghanistan memerlukan akses yang sama terhadap keadilan bagi para korban dari semua pelaku,” ujar pernyataan resmi Human Rights Watch.
“Kami mendesak ICC untuk memperluas jangkauan keadilan kepada para korban pelanggaran Taliban lainnya, serta korban dari Negara Islam Provinsi Khorasan, mantan pasukan keamanan Afghanistan, dan personel militer asing," tambah mereka.
Meski surat perintah telah diterbitkan, tantangan besar tetap ada. ICC tidak memiliki kekuatan polisi sendiri dan sepenuhnya bergantung pada negara-negara anggota untuk melakukan penangkapan.
Dengan Taliban saat ini memegang kekuasaan penuh di Afghanistan dan tidak mengakui yurisdiksi ICC, penangkapan kedua tokoh tersebut dalam waktu dekat tampak tidak mungkin.