Berita

Ilustrasi/Ist

Bisnis

Pengamat Ekonomi:

Bulog Jangan Main-main dengan Harga Beras

RABU, 09 JULI 2025 | 04:39 WIB | LAPORAN: ADITYO NUGROHO

Kenaikan harga beras di Sulawesi Selatan pada awal Juli 2025 lalu meski stok regional dinyatakan aman, membuka mata publik bahwa persoalan pangan bukan pada ketersediaan, melainkan pada tata kelola distribusi. 

Sekda Sulsel bahkan blak-blakan menyebut tidak kunjung turunnya stok SPHP Bulog sebagai penyebab lonjakan harga di lapangan.
 
Terkait itu, pengamat ekonomi dari Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (UNUSIA) Muhammad Aras Prabowo mengingatkan agar pemerintah dan Bulog memperhatikan masalah rantai pasok.


"Ironisnya, Badan Pusat Statistik (BPS) baru saja memperkirakan produksi beras Juni-Agustus 2025 mencapai 8,09 juta ton naik hampir 14 persen dibanding tahun lalu. Secara nasional kita jelas surplus, tetapi harga eceran di banyak daerah bergerak naik. Situasi paradoks ini menandakan adanya kelemahan atau kelalaian dalam rantai pasok yang seharusnya dijaga Bulog dan Badan Pangan Nasional (Bapanas)," ucap Aras dalam keterangannya, Selasa, 8 Juli 2025.

Padahal, lanjut dia, Peraturan Bapanas Nomor 5 Tahun 2025 tentang Pengelolaan Sistem Distribusi Pangan sudah diterbitkan 26 Juni 2025. 

"Regulasi itu memerintahkan penguatan peran produsen, distributor, dan pengecer melalui sistem pelaporan digital untuk 12 komoditas strategis, termasuk beras, agar pasokan merata antar wilayah dan antar waktu. Ketika beleid setegas ini telah ada, kegagalan menerjemahkannya ke lapangan mesti dipertanyakan kepada Bapanas sebagai regulator dan Bulog sebagai eksekutor," jelasnya.

Menurut intelektual muda NU itu, Bulog harus melakukan langkah strategis. Pertama, Bulog harus segera melepas stok cadangan pemerintah secara terukur, transparan, dan mengikuti titik-titik harga konsumen, bukan kepentingan internal atau spekulan. 

Penumpukan beras di gudang saat produksi melimpah hanya menambah biaya penyimpanan, risiko kualitas, serta membuka ruang permainan harga oleh “mafia pangan” yang menahan barang agar harga naik.

Kedua, fungsi subtitusi antar daerah wajib digerakkan. Surplus di lumbung-lumbung Jawa atau Sulsel tidak ada artinya jika defisit di wilayah timur atau kepulauan terluar dibiarkan. Dengan jaringan gudang dan armada yang dibiayai APBN, Bulog tak boleh berdalih menunggu petunjuk. 

"Instrumen Cadangan Beras Pemerintah, SPHP, serta Gerakan Pangan Murah harus berjalan simultan sebelum harga memanas,bukan setelah. Keterlambatan menyalurkan stok adalah bentuk kegagalan early warning system," tegasnya.

Ketiga, Bapanas mesti menegakkan aturan barunya lewat dashboard distribusi real time. Teknologi pelacakan digital memungkinkan siapa pun terutama satgas pangan dan pemerintah daerah memantau pergerakan tonase beras dari gudang produsen sampai konsumen. Jika data menunjukkan anomali misal, stok menumpuk di satu gudang lebih dari dua pekan alarm otomatis wajib berbunyi dan inspeksi digelar. Tanpa penegakan, regulasi tinggal slogan.

Keempat, pemerintah pusat dan daerah tidak boleh reaktif. Inflasi pangan kerap ditangani dengan operasi pasar dadakan ketika harga sudah telanjur naik. Paradigma ini harus dibalik: intervensi pra emptif saat harga mulai bergejolak satu-dua persen saja. Koordinasi TPID di daerah perlu dikaitkan langsung dengan distribusi Bulog melalui dashboard Bapanas, bukan sekadar rapat koordinasi.

Kelima, transparansi harga dasar di tingkat petani juga penting. Surplus nasional hanya berarti jika petani tetap mendapat harga wajar. Bulog dan Kementerian Pertanian harus memastikan harga pembelian pemerintah (HPP) menjadi pagar bawah, sedangkan HET menjadi pagar atas. 

"Di antara dua pagar inilah Bulog memainkan keseimbangan, bukan main?main demi selisih spekulatif," tegasnya lagi.

Apabila lima langkah ini diabaikan, lonjakan harga beras akan terus berulang meski produksi berlebih. Masyarakatlah yang kembali menjadi korban, sementara para spekulan meraup untung. 

"Karenanya, saya mendesak Bulog dan Bapanas bertindak cepat, transparan, dan akuntabel. Surplus beras harus terasa sebagai surplus kesejahteraan, bukan surplus masalah," tandas dia.

Populer

Masih Sibuk di Jogja, Pimpinan KPK Belum Tahu OTT di Lampung Tengah

Selasa, 09 Desember 2025 | 14:21

Pura Jadi Latar Film Porno, Hey Bali: Respons Aparat Dingin

Selasa, 09 Desember 2025 | 21:58

Kebun Sawit Milik POSCO Lebih dari Dua Kali Luas Singapura

Senin, 08 Desember 2025 | 19:12

Berjuang Bawa Bantuan Bencana

Kamis, 04 Desember 2025 | 05:04

Mahfud MD soal Bencana Sumatera: Menyuruh Pejabat Mundur Tidak Relevan

Rabu, 10 Desember 2025 | 05:53

Cegah Penimbunan BBM

Jumat, 05 Desember 2025 | 02:00

Polri Kerahkan Kapal Wisanggeni 8005 ke Aceh

Jumat, 05 Desember 2025 | 03:03

UPDATE

12 Orang Tewas dalam Serangan Teroris di Pantai Bondi Australia

Minggu, 14 Desember 2025 | 19:39

Gereja Terdampak Bencana Harus Segera Diperbaiki Jelang Natal

Minggu, 14 Desember 2025 | 19:16

Ida Fauziyah Ajak Relawan Bangkit Berdaya Amalkan Empat Pilar Kebangsaan

Minggu, 14 Desember 2025 | 19:07

Menkop Ferry: Koperasi Membuat Potensi Ekonomi Kalteng Lebih Adil dan Inklusif

Minggu, 14 Desember 2025 | 18:24

Salurkan 5 Ribu Sembako, Ketua MPR: Intinya Fokus Membantu Masyarakat

Minggu, 14 Desember 2025 | 18:07

Uang Rp5,25 Miliar Dipakai Bupati Lamteng Ardito untuk Lunasi Utang Kampanye Baru Temuan Awal

Minggu, 14 Desember 2025 | 17:34

Thailand Berlakukan Jam Malam Imbas Konflik Perbatasan Kamboja

Minggu, 14 Desember 2025 | 17:10

Teknokrat dalam Jerat Patronase

Minggu, 14 Desember 2025 | 17:09

BNI Dukung Sean Gelael Awali Musim Balap 2026 di Asian Le Mans Series

Minggu, 14 Desember 2025 | 16:12

Prabowo Berharap Listrik di Lokasi Bencana Sumatera Pulih dalam Seminggu

Minggu, 14 Desember 2025 | 16:10

Selengkapnya