Berita

Ilustrasi/Ist

Publika

Ironi Penempatan Awak Kapal Indonesia di UU Pelayaran Baru

Oleh: Syofyan El Comandante*
MINGGU, 06 JULI 2025 | 23:30 WIB

PENERBITAN Surat Izin Usaha Keagenan Awak Kapal (SIUKAK) yang didasarkan pada Undang-Undang (UU) No. 66 Tahun 2024 tentang Pelayaran menimbulkan pertanyaan fundamental mengenai keselarasan regulasi dengan ruang lingkup undang-undang itu sendiri. Analisis mendalam menunjukkan adanya potensi pertentangan signifikan, terutama terkait dengan penempatan pelaut Indonesia yang bekerja di kapal asing. 

Opini ini akan mengulas inkonsistensi tersebut. Terutama dalam menyoroti prinsip dasar hukum administrasi negara, serta pentingnya merujuk pada regulasi yang lebih tepat seperti UU No. 18 Tahun 2017 dan konvensi internasional MLC 2006.

Inkonsistensi Ruang Lingkup UU No. 66 Tahun 2024


UU No. 66 Tahun 2024, yang menjadi landasan penerbitan SIUKAK, secara eksplisit tidak menyebutkan pelaut Indonesia yang bekerja di kapal asing sebagai bagian dari ruang lingkupnya. Undang-undang ini terkesan hanya mengatur dua entitas utama: kapal Indonesia yang berlayar di perairan asing, dan kapal asing yang berlayar di perairan Indonesia. Absennya penyebutan pelaut Indonesia yang bekerja di kapal berbendera asing ini menjadi celah besar yang berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum dan perlindungan bagi ribuan pelaut kita.

Dalam prinsip dasar hukum administrasi negara, kewenangan instansi pemerintah untuk mengatur melalui perizinan adalah mutlak. Namun, kewenangan ini tidak tak terbatas; ia harus berlandaskan pada apa yang secara tegas diatur dalam undang-undang yang menjadi payungnya. Ketika SIUKAK diterbitkan berdasarkan UU No. 66 Tahun 2024 yang tidak mencakup penempatan pelaut di kapal asing, maka timbul pertanyaan serius mengenai legitimasi dan efektivitas perizinan tersebut dalam melindungi hak-hak pelaut.

Absennya MLC 2006 sebagai Konsideran: Sebuah Kejanggalan Vital

Kejanggalan lain yang patut disoroti adalah tidak dicantumkannya Maritime Labour Convention (MLC) 2006 sebagai konsideran dalam UU No. 66 Tahun 2024. MLC 2006 adalah standar minimum ketenagakerjaan internasional yang dirancang khusus untuk pelaut yang bekerja di kapal yang berlayar di perairan internasional. Konvensi ini memastikan hak-hak dasar pelaut terkait kondisi kerja, akomodasi, kesehatan, dan perlindungan sosial.

Mengingat bahwa SIUKAK bertujuan untuk mengatur keagenan awak kapal yang salah satunya akan menempatkan pelaut di kapal-kapal berbendera asing yang beroperasi secara internasional, absennya MLC 2006 sebagai rujukan adalah sebuah ironi. Bagaimana mungkin suatu regulasi yang mengatur penempatan pekerja maritim internasional mengabaikan standar internasional yang telah diakui secara luas? Ini menunjukkan kurangnya perspektif global dan komitmen terhadap perlindungan pelaut Indonesia yang bekerja di kancah internasional.

Merujuk pada UU No. 18 Tahun 2017: Solusi yang Lebih Tepat

Sebagaimana yang telah diungkapkan, penempatan awak kapal Indonesia yang bekerja di kapal asing semestinya merujuk pada Undang-Undang No. 18 Tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia. UU ini secara gamblang menjadikan pelaut sebagai bagian dari pekerja migran Indonesia. Pendekatan ini lebih komprehensif dan memberikan kerangka perlindungan yang jelas bagi pelaut yang bekerja di luar negeri, termasuk di kapal-kapal asing.

Contoh negara seperti Filipina dapat menjadi acuan. Filipina telah mengintegrasikan pelaut mereka sebagai bagian dari pekerja migran, sehingga perlindungan hukum dan pengawasan terhadap agen penempatan menjadi lebih terstruktur dan berpihak kepada pelaut. Ini menunjukkan bahwa mengakui status pelaut sebagai pekerja migran adalah langkah progresif yang selaras dengan praktik terbaik internasional.

Bahkan, dalam rancangan perubahan UU No 18 tahun 2017 itu , pencantuman MLC 2006 sebagai konsideran adalah sebuah langkah maju yang patut diapresiasi. Ini menandakan adanya kesadaran akan pentingnya standar internasional dalam perlindungan pelaut, sebuah kesadaran yang sayangnya belum tercermin dalam UU No. 66 Tahun 2024.

Kesimpulan dan Rekomendasi

Penerbitan SIUKAK berdasarkan UU No. 66 Tahun 2024 tanpa kejelasan ruang lingkup untuk pelaut yang bekerja di kapal asing, serta absennya MLC 2006 sebagai konsideran, adalah sebuah langkah mundur dalam upaya perlindungan pelaut Indonesia. Ini menciptakan ambiguitas hukum dan berpotensi melemahkan posisi tawar serta hak-hak dasar pelaut di kancah internasional.

Pemerintah dan pembuat kebijakan harus segera meninjau ulang landasan hukum SIUKAK. Seharusnya, regulasi penempatan awak kapal Indonesia yang bekerja di kapal asing sepenuhnya berada di bawah payung UU No. 18 Tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia, dengan menjadikan MLC 2006 sebagai rujukan utama. 

Langkah ini bukan hanya akan menyelaraskan regulasi domestik dengan standar internasional, tetapi juga akan memberikan kepastian hukum dan perlindungan yang lebih kuat bagi para pelaut Indonesia yang merupakan pahlawan devisa negara. Tanpa perbaikan ini, SIUKAK justru berpotensi menjadi alat yang justru membingungkan dan bukannya melindungi.

*Penulis adalah Ketua Umum Serikat Awak Kapal Indonesia (SAKTI)

Populer

Camat Madiun Minta Maaf Usai Bubarkan Bedah Buku ‘Reset Indonesia’

Selasa, 23 Desember 2025 | 04:16

Adik Kakak di Bekasi Ketiban Rezeki OTT KPK

Senin, 22 Desember 2025 | 17:57

Ketika Kebenaran Nasib Buruh Migran Dianggap Ancaman

Sabtu, 20 Desember 2025 | 12:33

OTT KPK juga Tangkap Haji Kunang Ayah Bupati Bekasi

Jumat, 19 Desember 2025 | 03:10

Uang yang Diamankan dari Rumah Pribadi SF Hariyanto Diduga Hasil Pemerasan

Rabu, 17 Desember 2025 | 08:37

Kajari Bekasi Eddy Sumarman yang Dikaitkan OTT KPK Tak Punya Rumah dan Kendaraan

Sabtu, 20 Desember 2025 | 14:07

Terlibat TPPU, Gus Yazid Ditangkap dan Ditahan Kejati Jawa Tengah

Rabu, 24 Desember 2025 | 14:13

UPDATE

Kepala Daerah Dipilih DPRD Bikin Lemah Legitimasi Kepemimpinan

Jumat, 26 Desember 2025 | 01:59

Jalan Terjal Distribusi BBM

Jumat, 26 Desember 2025 | 01:39

Usulan Tanam Sawit Skala Besar di Papua Abaikan Hak Masyarakat Adat

Jumat, 26 Desember 2025 | 01:16

Peraih Adhyaksa Award 2025 Didapuk jadi Kajari Tanah Datar

Jumat, 26 Desember 2025 | 00:55

Pengesahan RUU Pengelolaan Perubahan Iklim Sangat Mendesak

Jumat, 26 Desember 2025 | 00:36

Konser Jazz Natal Dibatalkan Gegara Pemasangan Nama Trump

Jumat, 26 Desember 2025 | 00:16

ALFI Sulselbar Protes Penerbitan KBLI 2025 yang Sulitkan Pengusaha JPT

Kamis, 25 Desember 2025 | 23:58

Pengendali Pertahanan Laut di Tarakan Kini Diemban Peraih Adhi Makayasa

Kamis, 25 Desember 2025 | 23:32

Teknologi Arsinum BRIN Bantu Kebutuhan Air Bersih Korban Bencana

Kamis, 25 Desember 2025 | 23:15

35 Kajari Dimutasi, 17 Kajari hanya Pindah Wilayah

Kamis, 25 Desember 2025 | 22:52

Selengkapnya