Akademisi, masyarakat sipil dan praktisi hukum mendesak isu kesetaraan penyidik harus menjadi bagian dalam RUU KUHAP (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana).
Hal ini dikarenakan kualifikasi penyidik telah sebanding secara kualifikasi dan kompetensi. Dengan demikian, penyidik semestinya tidak boleh di bawah koordinasi dan pengawasan Polri.
Penegasan tersebut muncul dari hasil Survei Elit yang dilakukan Lembaga Survei Indonesia (LSI) pada rentang waktu 20 Mei hingga 12 Juni 2025.
Peneliti LSI, Yoes C Kenawas menyampaikan, survei yang dilakukan melalui telepon ini melibatkan sebanyak 101 responden yang terdiri atas berbagai profesi menyangkut sektor hukum, yaitu akademisi, perwakilan organisasi masyarakat sipil/civil society organization, praktisi hukum, media massa, dan aparat penegak hukum (Mahkamah Agung, Polisi, Jaksa, dan PPNS), serta perwakilan organisasi profesi.
Pemilihan responden dilakukan secara purposif, sehingga, hasil survei ini lebih mencerminkan penilaian responden, dan bukan populasi ahli atau praktisi hukum di Indonesia.
"(Sebanyak) 70,3 persen responden menyatakan kesetaraan penyidik perlu masuk RUU KUHAP," kata Yoes saat rilis Survei Elit LSI di Jakarta Selatan, Kamis 26 Juni 2025.
Sebanyak 26,8 persen responden menyatakan kesesuaian kompetensi sebagai alasan terbesar dari pentingnya kesetaraan penyidik. Alasan lain, agar ada
check and balances sehingga Polri tidak berlaku swwenang-wenang dengan angka 8,5 persen, disusul agar terciptanya sistem peradilan yang ideal (8,5 persen), adanya situasi Polri tidak mampu melaksanakan penyidikan (7,0 persen), beberapa kasus diatur oleh UU secara khusus (5,6 persen), kedudukan penyidik Itu semuanya sama, tidak ada yang lebih tinggi atau rendah (5,6 persen), dan menghindari ego sektoral (5,6 persen).
"Alasan lain yang mencuat antara lain ketidaksetaraan penyidik akan menghambat proses penyidikan (4,2 persen), menjadi problematis jika tidak setara (4,2 persen), adanya beberapa situasi Polri tidak bisa menjadi supervisi (2,8 persen), agar lebih profesional (2,8 persen), dan dalam UU kewenangan penyidik dapat dipertanggungjawabkan (2,8 persen)," kata Yoes.
Dalam survei tersebut, kata dia, mayoritas responden dengan angka 73,3 persen menyatakan persetujuan bahwa penyelesaian perkara di luar sidang harus berkoordinasi dengan penuntut umum dan mendapatkan persetujuan dari pengadilan. Dengan angka persetujuan 69,3 persen, survei menggambarkan perlu adanya pengaturan dalam KUHAP mengenai batas maksimal waktu penyelidikan. Dengan nilai 66,7 persen hingga 68,4 persen, baik responden berlatar belakang akademisi, NGO maupun aparat penegak hukum sependapat dengan perlunya ada batas waktu penyelidikan.
"Dari responden yang menyatakan setuju, lebih dari separuhnya (55,7 persen) merasa bahwa maksimal kurang dari tiga bulan waktu penyelidikan sebuah dugaan kasus tindak pidana dilakukan," kata Yoes.
Yoes menjelaskan, mayoritas responden (54,5 persen) menilai belum adanya informasi mendapatkan keadilan ketika berurusan dengan aparat penegak hukum. Sementara yang menilai informasi tersebut telah tersedia sebanyak 44,46 persen. Selaras, 58,4 persen responden menyatakan tidak setuju ketika ditanya apakah mengetahui hak dan kewajiban mendapatkan keadilan dan diperlakukan secara adil dan manusiawi.
Menurut 77,2 persen responden, informasi perkembangan setiap perkara kriminal tidak dapat dengan mudah diakses oleh publik. Untuk kepentingan transparansi, mayoritas responden yaitu 88,1 persen setuju RUU KUHAP memasukkan informasi perkembangan setiap perkara kriminal dari awal hingga akhir harus tersedia dalam bentuk digital.
Dengan itu informasi perkembangan perkara dapat diakses oleh masyarakat luas, selama informasi tersebut sesuai dengan UU Keterbukaan Informasi Publik dan UU Perlindungan Data Pribadi.
Terkait penegakan hukum, masyarakat tergambarkan masih memiliki kekhawatiran adanya biaya tambahan saat berurusan dengan aparat penegak hukum. Hal itu dibuktikan dengan 68,3 persen responden menyatakan tidak setuju bahwa mereka tak perlu khawatir harus membayar biaya tambahan kepada aparat penegak hukum di luar biaya yang sudah ditetapkan. Hanya 29,7 persen yang menyatakan setuju tak ada kekhawatiran adanya "pungli" di luar biaya yang telah ditentukan.
Berbeda dengan hasil survei sebelumnya, lanjut Yoes, hampir seluruh responden mengaku telah mengetahui perihal RUU KUHAP yang saat ini tengah dibahas DPR dan pemerintah. Hanya 1 persen responden yang menjawab tak mengetahui. Bahkan ketika ditanya apakah pernah membaca draft RUU KUHAP, sebanyak 89,1 persen menjawab pernah. Meski memiliki pengetahuan atas pembahasan RUU KUHAP, namun responden menilai hal itu bukan dikarenakan sosialisasi pemerintah dan DPR.
"Sebanyak 70,3 persen responden justru menilai pemerintah dan DPR belum cukup melakukan sosialisasi perubahan KUHAP," tegas dia.
Dalam survei ini, setidaknya 99 persen responden menyetujui atas kewajiban penyidik memberitahukan kepada orang yang ditangkap tentang hak haknya dan bagaimana mengakses hak-hak tersebut.
Dalam hal ini, keberadaan wadah/mekanisme untuk menyampaikan keberatan bagi orang yang dipanggil atau didatangi aparat penegak hukum tanpa status tersangka, saksi, atau korban turut menjadi sorotan dalam survei ini. Hasilnya, 78,2 persen menilai perlu ada wadah atau saluran keberatan tersebut.
Adapun mekanisme dianggap paling tepat untuk saluran menyampaikan keberatan yaitu melalui praperadilan dengan angka 15,2 persen.
Sementara nilai masing-masing 10,1 persen untuk mekanisme melalui lembaga bantuan hukum dan harus adanya pengawas eksternal di setiap lembaga hukum milik negara, serta adanya wadah atau mekanisme sebagai tempat pengaduan. Saluran lain yang dikemukakan responden yaitu melalui pelaporan ke LP2SK ataupun Propam dengan nilai 6,3 persen.
Hal lain yang turut menjadi sorotan dalam survei ini menyangkut upaya paksa. Sebanyak 61,4 persen responden setuju perlunya ada hakim pemeriksa pendahuluan. Hakim ini dapat mengadakan sidang pemeriksaan atau memutuskan permohonan perlu tidaknya dilakukan upaya paksa.
Sebanyak 44,6 persen juga menyatakan penyidik/aparat penegak hukum harus membawa orang yang ditangkap ke depan hakim untuk memeriksa sah/tidaknya penangkapan dan menentukan perlu/tidaknya orang tersebut ditahan.
"Tujuannya guna menjamin proses tersebut tidak melanggar HAM," tandas Yoes.