Berita

Ilustrasi/Ist

Publika

Nasib Buruh Kasar Harian Lepas

Oleh: Suroto*
KAMIS, 26 JUNI 2025 | 12:03 WIB

DI Indonesia ini, ada satu jenis kelas buruh yang jarang disebut dalam berbagai diskusi tentang perburuhan, namun jumlahnya sangat masif. Mereka ada di daerah pedesaan maupun di perkotaan. Mereka adalah:  buruh kasar harian lepas.  

Mereka itu adalah orang orang yang bekerja dengan andalkan kekuatan fisiknya secara penuh. Membangun jembatan, jalan raya, gedung gedung, perkebunan dan pertanian secara luas. Ada di jalanan, gorong gorong, di kebun. Bekerja di bawah terik matahari yang menyengat. 

Mereka tidak berserikat untuk perjuangkan nasib mereka. Tidak punya waktu untuk berkumpul dengan teman temanya untuk membahas perubahan nasib mereka. Sebab mereka harus bekerja sehari penuh dari pagi jam delapan hingga jam  lima sore dengan tingkat kelelahan fisik yang tak terperi. 
 

 
Disebut sebagai buruh harian karena memang jasanya hanya dimanfaatkan secara harian. Hari ini dipakai, besok bisa saja dipecat. Mandor, atau pihak yang merekrut, jika tidak membutuhkanya esok hari, atau kecewa dengan hasil pekerjaannya hari ini otomatis langsung dapat menghentikanya secara sepihak tanpa basa basi. 

Disebut sebagai buruh lepas karena mereka itu tidak diikat kontrak sama sekali. Tidak ada satu lembar kertas pun yang berisi kesepakatan antara pemberi kerja dan buruh. Hanya komitmen lisan tentang jumlah jam kerja perhari. Tarif upah yang  jauh dari layak.  

Mereka ditemui para perekrut di gardu, atau di bawah pohon rindang di pinggir jalan sebagai tempat yang setengah disepakati bersama sebagai pusat para pengadu nasib. Bursa kerja.  Biasanya mereka ditawarkan gaji antara 75-100 ribu rupiah per hari dan jam kerja sehari penuh kurang lebih 8-10 jam. Jika tak mau terima tawaran silahkan menyingkir. 

Tidak ada tanggung jawab sosial dari  perekrut. Lepas begitu saja. Dalam praktik, justru mandor ini juga memungut fee kepada mereka sebesar 5-10 persen per hari dari sejumlah gaji yang mereka terima. 

Sistem perbudakan secara vulgar seperti ini didiamkan oleh elite politik dan elite kaya. Nasib hidup mereka yang buruk seperti ini tidak pernah ada dalam pikiran mereka. Padahal, mereka itu rata rata adalah penopang satu satunya dari ekonomi keluarga. 

Mereka hidup di rumah rumah bedeng kontrakkan di daerah perkotaan yang jauh dari kata layak. Harus bertahan di tengah hidup yang mencekik. Untuk bertahan hidup, mereka pun harus gunakan secara tambal sulam pinjaman dari rentenir dengan bunga yang mencekik hingga 20-30 persen per bulan hanya untuk bayar tagihan kontrakkan kamar 3 x 5 meter. 

Anak anak mereka banyak yang terlantar. Menderita gizi buruk, dan putus sekolah. Mereka lahirkan kemiskinan baru. Generasi miskin baru yang lemah secara fisik maupun mental. 

Mereka, selama ini juga tidak masuk dalam bagian penting dari sasaran kebijakan perbaikan kesejahteraan buruh  yang dibuat pemerintah. Di statistik pemerintah hanya disebut sebagai kelompok pekerja informal. Mereka adalah korban kemiskinan struktural yang riil. Kemiskinan yang tercipta oleh sistem ekonomi, kebijakan dan regulasi yang tidak memihak kepada rakyat. 

Mereka yang bekerja di kantor, dengan fasilitas ruang ber-AC dengan temperatur nyaman, bergaji berlipat lipat dari Upah Minimum Regional (UMR) tentu tidak mengenal mereka. Bahkan ketika kebijakan itu diproduksi, mereka justru sengaja untuk melanggengkannya. 

Kondisi sosial ekonomi mereka bukan hanya buruk, tapi secara sistematis memang sengaja dikerdilkan supaya tetap terus dapat dikangkangi oleh kepentingan para elite politik dan elite kaya. Hal ini dapat dilihat dari model regulasi dan kebijakan yang buruk. 

Hari ini, 194 juta rakyat Indonesia hidup di dalam kondisi miskin. Buruh kasar harian lepas itu masuk dalam 100 juta rakyat Indonesia dari yang termiskin yang kekayaanya jika dijumlah sama dengan 4 keluarga konglomerat. Tapi mereka bukan angka statistik. Mereka adalah rakyat, yang punya hak untuk menikmati kemakmuran dan keadilan dan mereka adalah pemilik kekuasaan absolut dari negara ini.

*Penulis adalah Ketua Asosiasi Kader Sosio-Ekonomi Strategis (AKSES) 

Populer

Camat Madiun Minta Maaf Usai Bubarkan Bedah Buku ‘Reset Indonesia’

Selasa, 23 Desember 2025 | 04:16

Adik Kakak di Bekasi Ketiban Rezeki OTT KPK

Senin, 22 Desember 2025 | 17:57

Ketika Kebenaran Nasib Buruh Migran Dianggap Ancaman

Sabtu, 20 Desember 2025 | 12:33

Kajari Bekasi Eddy Sumarman yang Dikaitkan OTT KPK Tak Punya Rumah dan Kendaraan

Sabtu, 20 Desember 2025 | 14:07

OTT KPK juga Tangkap Haji Kunang Ayah Bupati Bekasi

Jumat, 19 Desember 2025 | 03:10

Uang yang Diamankan dari Rumah Pribadi SF Hariyanto Diduga Hasil Pemerasan

Rabu, 17 Desember 2025 | 08:37

Terlibat TPPU, Gus Yazid Ditangkap dan Ditahan Kejati Jawa Tengah

Rabu, 24 Desember 2025 | 14:13

UPDATE

Bank Mandiri Berikan Relaksasi Kredit Nasabah Terdampak Bencana Sumatera

Jumat, 26 Desember 2025 | 12:12

UMP Jakarta 2026 Naik Jadi Rp5,72 Juta, Begini Respon Pengusaha

Jumat, 26 Desember 2025 | 12:05

Pemerintah Imbau Warga Pantau Peringatan BMKG Selama Nataru

Jumat, 26 Desember 2025 | 11:56

PMI Jaksel Salurkan Bantuan untuk Korban Bencana di Sumatera

Jumat, 26 Desember 2025 | 11:54

Trump Selipkan Sindiran untuk Oposisi dalam Pesan Natal

Jumat, 26 Desember 2025 | 11:48

Pemerintah Kejar Pembangunan Huntara dan Huntap bagi Korban Bencana di Aceh

Jumat, 26 Desember 2025 | 11:15

Akhir Pelarian Tigran Denre, Suami Selebgram Donna Fabiola yang Terjerat Kasus Narkoba

Jumat, 26 Desember 2025 | 11:00

Puan Serukan Natal dan Tahun Baru Penuh Empati bagi Korban Bencana

Jumat, 26 Desember 2025 | 10:49

Emas Antam Naik, Buyback Nyaris Tembus Rp2,5 Juta per Gram

Jumat, 26 Desember 2025 | 10:35

Sekolah di Sumut dan Sumbar Pulih 90 Persen, Aceh Menyusul

Jumat, 26 Desember 2025 | 10:30

Selengkapnya