Harga minyak global langsung rontok setelah Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, mengumumkan bahwa China kini diizinkan kembali membeli minyak dari Iran.
“China sekarang dapat terus membeli minyak dari Iran,” tulis Trump lewat platform Truth Social, sebagaimana dikutip Yahoo Finance, Rabu 25 Juni 2025.
Pernyataan Trump yang muncul tak lama setelah tercapainya kesepakatan gencatan senjata antara Iran dan Israel itu langsung mengguncang pasar energi.
Harga minyak mentah Brent anjlok 6,1 persen ke level 67,14 dolar AS per barel, sementara West Texas Intermediate (WTI) ikut terperosok 6 persen menjadi 64,37 dolar AS per barel.
Ini merupakan harga terendah dalam dua pekan terakhir sejak 10 Juni untuk Brent dan 5 Juni untuk WTI, atau sebelum Israel melancarkan serangan mendadak ke instalasi militer dan nuklir Iran pada 13 Juni 2025 lalu.
“Seluruh premi risiko geopolitik yang terbentuk sejak serangan pertama Israel ke Iran hampir dua pekan lalu kini benar-benar menguap,” kata analis senior di PVM Oil Associates, Tamas Varga, dikutip
Reuters, Rabu 25 Juni 2025.
Langkah Trump tersebut dinilai sebagai sinyal perubahan signifikan atas kebijakan sanksi ekonomi Amerika Serikat terhadap Iran yang telah berlangsung bertahun-tahun.
Keputusan ini juga ditengarai sebagai manuver politik menjelang negosiasi dagang putaran baru dengan China, yang dikenal sebagai pembeli utama minyak mentah dari Iran.
Namun, manuver politik Trump ini justru menciptakan kegaduhan di internal pemerintahan AS. Beberapa pejabat dari Departemen Keuangan dan Departemen Luar Negeri mengaku tidak menerima informasi sebelumnya.
Mereka juga belum bisa memastikan bagaimana pernyataan Trump akan diterjemahkan secara hukum dalam kerangka sanksi yang berlaku.
Gedung Putih pun buru-buru mengeluarkan klarifikasi bahwa sanksi formal terhadap Iran masih tetap berlaku.
Mereka menegaskan bahwa pernyataan Trump lebih ditujukan untuk menenangkan pasar dan memastikan jalur distribusi energi melalui Selat Hormuz tetap terbuka bagi konsumen besar seperti China.
Meski demikian, pelaku pasar dan entitas komersial di China disebut masih akan berhati-hati. Tanpa arahan resmi dari Departemen Keuangan AS, ketidakpastian hukum masih tetap membayangi perusahaan energi.