Berita

Pengamat maritim dari Ikatan Keluarga Alumni Lemhannas Strategic Center (ISC), DR. Capt. Marcellus Hakeng Jayawibawa/Ist

Bisnis

Pengamat:

Indonesia Belum Siap Tangkap Peluang Bisnis Maritim Buntut Perang Israel-Iran

RABU, 18 JUNI 2025 | 03:45 WIB | LAPORAN: ADITYO NUGROHO

Dinamika konflik yang makin meninggi antara Israel dan Iran diprediksi bakal membawa dampak buruk bagi dunia pelayaran nasional.

Hal itu disampaikan pengamat maritim dari Ikatan Keluarga Alumni Lemhannas Strategic Center (ISC), DR. Capt. Marcellus Hakeng Jayawibawa merespons terdampaknya Selat Hormuz sebagai jalur pelayaran strategis yang mengalirkan hampir sepertiga dari ekspor minyak global. 

Ia mengingatkan bahwa bila kondisi ini terus berlangsung dalam dua hingga tiga bulan, ancaman pemutusan hubungan kerja massal di sektor pelayaran dan pelabuhan menjadi sangat nyata. 


“Bahkan, jasa pelabuhan pun mengalami penurunan volume muatan karena eksportir dan importir menahan pengiriman akibat ketidakpastian biaya dan waktu,” ucap Capt. Hakeng dalam keterangannya, Selasa malam, 17 Juni 2025. 

Ia pun menekankan bahwa secara makro, Indonesia siap-siap menghadapi tantangan ganda. 
 
Sebagai negara net importir minyak, kenaikan harga energi menimbulkan beban fiskal besar terhadap APBN. Kementerian Keuangan memperkirakan potensi pembengkakan subsidi energi bisa mencapai Rp 75 triliun apabila harga minyak dunia bertahan di atas USD 110 per barel dalam jangka menengah. 

“Maka kenaikan biaya logistik domestik, akibat tekanan maritim pun, akan menyebabkan inflasi barang konsumsi, dan meningkatnya harga bahan pokok, terutama di kawasan timur Indonesia yang sangat tergantung pada distribusi laut,” jelasnya.
 
Meskipun krisis ini juga membuka peluang strategis, seperti pengalihan rute pelayaran global dari Teluk Persia ke Samudra Hindia dan Asia Tenggara, namun Capt. Hakeng menilai bahwa Indonesia belum sepenuhnya siap menangkap peluang tersebut. 

“Pelabuhan seperti Patimban dan Kuala Tanjung seharusnya bisa berperan sebagai simpul logistik regional, tetapi masih menghadapi hambatan struktural seperti lamanya waktu pendangkalan alur yang selalu jadi momok, bongkar muat (dwelling time), konektivitas hinterland yang belum memadai, dan belum tuntasnya reformasi digital logistik nasional,” ungkap dia. 
 
Ia menambahkan bahwa investor pelayaran global akan berpikir dua kali untuk menjadikan Indonesia sebagai hub logistik bila biaya dan efisiensinya belum kompetitif dibanding pelabuhan regional seperti Singapura atau Port Klang.
  
Masih kata Capt. Hakeng, risiko asuransi pelayaran internasional juga meningkat tajam akibat status kawasan Teluk sebagai zona konflik. Perusahaan asuransi internasional menaikkan premi untuk kapal-kapal yang melintasi wilayah tersebut, termasuk tanker energi. 

“Biaya ini ditransfer kepada operator pelayaran global dan berdampak pada negara-negara di luar zona konflik, termasuk Indonesia. Bagi industri pelayaran nasional yang masih menghadapi keterbatasan pembiayaan dan belum sepenuhnya modern, kondisi ini menambah beban besar terhadap kelangsungan bisnis,” bebernya.
 
Capt. Hakeng mengingatkan bahwa perang Iran-Israel ini juga bisa mempercepat proses fragmentasi sistem perdagangan global. 

“Kebijakan sanksi sekunder Amerika Serikat terhadap negara-negara yang menjalin hubungan dagang dengan Iran, menyebabkan terciptanya blok-blok ekonomi yang saling eksklusif,” terang dia.
 
Dalam situasi yang kompleks dan dinamis ini, ia menyerukan respons strategis dari pemerintah. 

Menurutnya, percepatan pengembangan pelabuhan berstandar internasional harus menjadi prioritas, dengan memastikan proyek-proyek seperti Patimban, Bitung, dan Kuala Tanjung berjalan efektif dan efisien. 

“Dari itu perlu ada kebijakan fiskal yang lebih tajam untuk melindungi sektor perikanan dan pelayaran rakyat dari tekanan harga energi global. Pemerintah juga perlu memperkuat armada pelayaran nasional, mendorong industri galangan kapal, serta menyiapkan sistem logistik yang terintegrasi dari laut hingga daratan,” ujarnya.
 
Lebih lanjut, Captain Hakeng memberitahukan pula bahwa krisis ini adalah pengingat bahwa ekonomi maritim bukan hanya sektor teknis, melainkan urat nadi dari kedaulatan ekonomi bangsa. 

“Laut bukan hanya jalur transportasi, tetapi cermin dari kekuatan nasional di bidang energi, pangan, perdagangan, dan ketahanan logistik. Jika tidak dikelola secara serius, tekanan eksternal sekecil apapun akan mengguncang fondasi perekonomian nasional. Sebaliknya, jika diperkuat, sektor maritim bisa menjadi tameng strategis dalam menghadapi krisis global seperti yang kini sedang terjadi,” pungkasnya.

Populer

Bobby dan Raja Juli Paling Bertanggung Jawab terhadap Bencana di Sumut

Senin, 01 Desember 2025 | 02:29

NU dan Muhammadiyah Dikutuk Tambang

Minggu, 30 November 2025 | 02:12

Padang Diterjang Banjir Bandang

Jumat, 28 November 2025 | 00:32

Sergap Kapal Nikel

Kamis, 27 November 2025 | 05:59

Peluncuran Tiga Pusat Studi Baru

Jumat, 28 November 2025 | 02:08

Bersihkan Sisa Bencana

Jumat, 28 November 2025 | 04:14

Evakuasi Banjir Tapsel

Kamis, 27 November 2025 | 03:45

UPDATE

Tragedi Nasional dari Sumatra dan Suara yang Terlambat Kita Dengarkan

Jumat, 05 Desember 2025 | 15:44

Produktivitas Masih di Bawah ASEAN, Pemerintah Susun Langkah Percepatan

Jumat, 05 Desember 2025 | 15:41

Lewat Pantun Cak Imin Serukan Perbaiki Alam Bukan Cari Keributan

Jumat, 05 Desember 2025 | 15:38

Bank Mandiri Sabet 5 Penghargaan BI

Jumat, 05 Desember 2025 | 15:27

Liga Muslim Dunia Siap Lobi MBS untuk Permudah Pembangunan Kampung Haji Indonesia

Jumat, 05 Desember 2025 | 15:18

Banjir Rob di Pesisir Jakarta Berangsur Surut

Jumat, 05 Desember 2025 | 15:13

RI–Timor Leste Sepakat Majukan Koperasi

Jumat, 05 Desember 2025 | 15:08

Revisi UU Cipta Kerja Mendesak di Tengah Kerusakan Hutan Sumatera

Jumat, 05 Desember 2025 | 14:57

Bahlil Telusuri Dugaan Keterkaitan Tambang Martabe dengan Banjir Sumut

Jumat, 05 Desember 2025 | 14:48

BI: Cadangan Devisa RI Rp2.499 Triliun per Akhir November 2025

Jumat, 05 Desember 2025 | 14:39

Selengkapnya