Berita

Ilustrasi/Net

Bisnis

Pasar Waspadai Data Inflasi AS saat Rupiah Menguat Tipis

RABU, 11 JUNI 2025 | 19:00 WIB | LAPORAN: ALIFIA DWI RAMANDHITA

Di tengah banyaknya tekanan global yang masih fluktuatif, pergerakan Rupiah tumbuh tipis pada perdagangan Rabu sore, 11 Juni 2025.

Mengutip data Bloomberg, mata uang Garuda itu ditutup menguat 15 poin atau plus 0,09 persen ke level Rp16.260 per Dolar Amerika Serikat (AS).

Pengamat mata uang Ibrahim Assuaibi menilai, pelemahan Dolar AS salah satunya dipicu oleh keputusan pengadilan banding di Amerika Serikat yang memerintahkan agar tarif resiprokal Presiden Donald Trump tetap diberlakukan.


“Berita tentang putusan tersebut mengimbangi beberapa optimisme atas pernyataan AS dan China bahwa mereka telah mencapai kerangka kerja untuk pembicaraan perdagangan,” kata Ibrahim dalam keterangan tertulisnya.

Ibrahim menambahkan, perhatian pelaku pasar kini tertuju pada rilis data inflasi konsumen AS. Menurutnya, laporan ini akan menjadi penentu arah kebijakan moneter The Federal Reserve (The Fed) ke depan.

“Data inflasi dapat memberi dorongan kepada bank sentral AS atau The Federal Reserve (The Fed) untuk mempertahankan suku bunga,” ujar dia.

Sementara dari dalam negeri, dinamika revisi garis kemiskinan global tengah memberi tekanan terhadap persepsi pasar. Bank Dunia menaikkan garis kemiskinan internasional dengan basis paritas daya beli (PPP) 2021, dari sebelumnya PPP 2017. 

Dengan revisi ini, ambang batas kemiskinan untuk negara berpendapatan menengah atas berubah dari 6,85 Dolar AS menjadi 8,30 Dolar AS per hari.

Sementara per September 2024, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat tingkat kemiskinan nasional berada di angka 8,57 persen atau sekitar 24 juta jiwa. 

Namun, menurut catatan Bank Dunia, bila menggunakan ambang PPP 2017, sekitar 60,3 persen penduduk Indonesia pada 2024 tergolong hidup di bawah garis kemiskinan versi global. Persentase ini berpotensi meningkat setelah revisi ambang batas menjadi 8,30 Dolar AS.

“Pelaku pasar mencermati bahwa angka garis kemiskinan versi Bank Dunia perlu dimaknai secara berhati-hati agar tidak menimbulkan kesimpulan yang menyesatkan dalam konteks nasional,” pungkas Ibrahim.

Ia mengingatkan bahwa BPS memakai pendekatan kebutuhan dasar atau cost of basic needs, bukan pendekatan PPP seperti yang digunakan Bank Dunia, sehingga hasil pengukuran dan dampaknya terhadap ekonomi domestik tidak dapat langsung disamakan.

Populer

Bobby dan Raja Juli Paling Bertanggung Jawab terhadap Bencana di Sumut

Senin, 01 Desember 2025 | 02:29

NU dan Muhammadiyah Dikutuk Tambang

Minggu, 30 November 2025 | 02:12

Padang Diterjang Banjir Bandang

Jumat, 28 November 2025 | 00:32

Sergap Kapal Nikel

Kamis, 27 November 2025 | 05:59

Peluncuran Tiga Pusat Studi Baru

Jumat, 28 November 2025 | 02:08

Bersihkan Sisa Bencana

Jumat, 28 November 2025 | 04:14

Evakuasi Banjir Tapsel

Kamis, 27 November 2025 | 03:45

UPDATE

Tragedi Nasional dari Sumatra dan Suara yang Terlambat Kita Dengarkan

Jumat, 05 Desember 2025 | 15:44

Produktivitas Masih di Bawah ASEAN, Pemerintah Susun Langkah Percepatan

Jumat, 05 Desember 2025 | 15:41

Lewat Pantun Cak Imin Serukan Perbaiki Alam Bukan Cari Keributan

Jumat, 05 Desember 2025 | 15:38

Bank Mandiri Sabet 5 Penghargaan BI

Jumat, 05 Desember 2025 | 15:27

Liga Muslim Dunia Siap Lobi MBS untuk Permudah Pembangunan Kampung Haji Indonesia

Jumat, 05 Desember 2025 | 15:18

Banjir Rob di Pesisir Jakarta Berangsur Surut

Jumat, 05 Desember 2025 | 15:13

RI–Timor Leste Sepakat Majukan Koperasi

Jumat, 05 Desember 2025 | 15:08

Revisi UU Cipta Kerja Mendesak di Tengah Kerusakan Hutan Sumatera

Jumat, 05 Desember 2025 | 14:57

Bahlil Telusuri Dugaan Keterkaitan Tambang Martabe dengan Banjir Sumut

Jumat, 05 Desember 2025 | 14:48

BI: Cadangan Devisa RI Rp2.499 Triliun per Akhir November 2025

Jumat, 05 Desember 2025 | 14:39

Selengkapnya