Berita

Ilustrasi/Net

Publika

Sekolah Swasta Melawan Sekolah Elite: Membongkar Ketimpangan Dunia Pendidikan

OLEH: KHAIRUL A. EL MALIKY
RABU, 11 JUNI 2025 | 14:59 WIB

DI TENGAH gempuran narasi pendidikan inklusif dan pemerataan akses, realitas di lapangan justru menunjukkan jurang yang makin dalam antara sekolah swasta dan sekolah elite. Sementara sekolah swasta lokal berjuang keras menjaga eksistensi, sekolah-sekolah elite, terutama yang bertaraf internasional, menikmati limpahan fasilitas, jaringan global, hingga status sosial yang mengundang gengsi. 

Pertarungan ini bukan soal kualitas semata, tapi lebih jauh menyangkut politik kapital, kelas sosial, dan ketimpangan struktural dalam sistem pendidikan kita.

Sekolah Swasta: Pilar Alternatif yang Terpinggirkan


Sekolah swasta, terutama yang berskala menengah ke bawah, sesungguhnya menjadi tulang punggung pendidikan di Indonesia. Berdasarkan data BPS pada 2023, sekitar 54 persen siswa SMA menempuh pendidikan di sekolah swasta. Namun, peran vital ini tidak selalu berbanding lurus dengan dukungan negara. 

Pemerintah cenderung memberikan perhatian besar kepada sekolah negeri dan sekolah unggulan, sementara sekolah swasta diperlakukan layaknya pemain cadangan. Dibiarkan bersaing tanpa perlindungan dalam pasar pendidikan yang makin liberal.

Padahal, banyak sekolah swasta yang berjuang menghadirkan pendidikan bermutu dengan biaya terbatas, mendekatkan layanan pendidikan ke pelosok, dan menjadi wadah bagi masyarakat kelas menengah ke bawah yang tidak tertampung di sekolah negeri. Namun, mereka harus berhadapan dengan sekolah-sekolah elite yang tidak hanya bertarif tinggi, tetapi juga mendapat legitimasi sosial dan politik.

Sekolah Elite: Gengsi, Privilege, dan Reproduksi Kelas

Sekolah elite bukan hanya menawarkan kurikulum Cambridge atau IB (International Baccalaureate), melainkan juga jejaring sosial global, fasilitas mewah, dan pengajaran dalam bahasa asing. Dalam banyak kasus, sekolah elite menjadi instrumen reproduksi kelas. Pierre Bourdieu (1977) telah menguraikan bagaimana lembaga pendidikan kerap mereproduksi struktur kelas dominan melalui apa yang ia sebut cultural capital dan habitus.

Dengan membayar ratusan juta per tahun, para orang tua dari kelas menengah atas tidak hanya membeli pendidikan, tapi juga membeli “masa depan”, dalam bentuk koneksi, prestise, dan peluang karier. Di sisi lain, siswa dari sekolah swasta biasa, meskipun cerdas dan gigih, kerap menghadapi diskriminasi simbolik dalam akses ke universitas favorit, beasiswa luar negeri, atau pekerjaan prestisius.

Ketimpangan yang Disistematisasi

Sistem zonasi yang diberlakukan untuk sekolah negeri tidak berlaku untuk sekolah swasta atau sekolah internasional. Hasilnya adalah segmentasi pendidikan yang makin tajam: sekolah negeri untuk warga lokal yang beruntung masuk zonasi, sekolah swasta untuk kalangan menengah, dan sekolah elite untuk kaum berada. 

Bahkan dalam seleksi masuk perguruan tinggi, siswa dari sekolah internasional atau elite kerap memiliki keunggulan karena sistem seleksi yang masih bias terhadap capaian akademik formal dan sertifikasi internasional.

Fakta ini diperkuat oleh riset dari SMERU Research Institute (2022), yang menyatakan bahwa siswa dari sekolah internasional memiliki peluang 3,5 kali lebih besar diterima di universitas luar negeri dibandingkan siswa dari sekolah swasta biasa, meskipun nilai akademik setara.

Melawan Ketimpangan, Membangun Kesetaraan

Apakah ini berarti sekolah swasta biasa tidak punya harapan? Tidak. Justru saatnya sekolah swasta menegaskan peran strategisnya sebagai alternatif pendidikan yang berakar pada nilai, kedekatan komunitas, dan semangat pembebasan. Ini bukan sekadar soal menaikkan citra, tapi memperkuat kapasitas: peningkatan mutu guru, integrasi teknologi, hingga pendekatan pedagogi yang kontekstual dan transformatif.

Di sisi lain, negara harus hadir. Tidak cukup hanya menggelontorkan Bantuan Operasional Sekolah (BOS), tapi juga mereformasi sistem evaluasi dan akreditasi yang masih bias terhadap kapital. Pemerintah harus mengintervensi dominasi sekolah elite dengan regulasi yang menjamin keadilan, termasuk transparansi kurikulum, sertifikasi guru asing, dan pengenaan pajak pendidikan yang adil.

Penutup

Pertarungan antara sekolah swasta dan sekolah elite bukanlah semata persaingan pasar, tapi cermin dari kesenjangan sosial yang makin melebar. Bila pendidikan dibiarkan tunduk pada logika komoditas, maka sekolah bukan lagi ruang pembebasan, melainkan arena reproduksi privilese. 

Sudah saatnya kita merumuskan ulang arah pendidikan: dari sekadar prestise menuju keadilan. Sebab sekolah seharusnya bukan tempat menimbun gengsi, tapi ruang tumbuh bersama tanpa memandang kelas sosial.

Penulis adalah pengarang novel, pemerhati sosial dan budaya, esais, dan cerpenis

Populer

Mantan Jubir KPK Tessa Mahardhika Lolos Tiga Besar Calon Direktur Penyelidikan KPK

Rabu, 24 Desember 2025 | 07:26

Mantan Wamenaker Noel Ebenezer Rayakan Natal Bersama Istri di Rutan KPK

Kamis, 25 Desember 2025 | 15:01

Camat Madiun Minta Maaf Usai Bubarkan Bedah Buku ‘Reset Indonesia’

Selasa, 23 Desember 2025 | 04:16

Adik Kakak di Bekasi Ketiban Rezeki OTT KPK

Senin, 22 Desember 2025 | 17:57

Ketika Kebenaran Nasib Buruh Migran Dianggap Ancaman

Sabtu, 20 Desember 2025 | 12:33

Kajari Bekasi Eddy Sumarman yang Dikaitkan OTT KPK Tak Punya Rumah dan Kendaraan

Sabtu, 20 Desember 2025 | 14:07

8 Jenderal TNI AD Pensiun Jelang Pergantian Tahun 2026, Ini Daftarnya

Rabu, 24 Desember 2025 | 21:17

UPDATE

Ekonom: Pertumbuhan Ekonomi Akhir Tahun 2025 Tidak Alamiah

Jumat, 26 Desember 2025 | 22:08

Lagu Natal Abadi, Mariah Carey Pecahkan Rekor Billboard

Jumat, 26 Desember 2025 | 21:46

Wakapolri Kirim 1.500 Personel Tambahan ke Lokasi Bencana Sumatera

Jumat, 26 Desember 2025 | 21:45

BNPB: 92,5 Persen Jalan Nasional Terdampak Bencana Sumatera Sudah Diperbaiki

Jumat, 26 Desember 2025 | 21:09

Penerapan KUHP Baru Menuntut Kesiapan Aparat Penegak Hukum

Jumat, 26 Desember 2025 | 20:37

Ancol dan TMII Diserbu Ribuan Pengunjung Selama Libur Nataru

Jumat, 26 Desember 2025 | 20:26

Kebijakan WFA Sukses Dongkrak Sektor Ritel

Jumat, 26 Desember 2025 | 19:56

Dua Warga Pendatang Yahukimo Dianiaya OTK saat Natal, Satu Tewas

Jumat, 26 Desember 2025 | 19:42

21 Wilayah Bencana Sumatera Berstatus Transisi Darurat

Jumat, 26 Desember 2025 | 19:32

Jangan Sampai Aceh jadi Daerah Operasi Militer Gegara Bendera GAM

Jumat, 26 Desember 2025 | 18:59

Selengkapnya