NARASI “Mandi Emas Taipan di Latimojong” yang kini ramai diperbincangkan seolah menyederhanakan kompleksitas dunia pertambangan menjadi hitam-putih antara “yang kaya menindas” dan “rakyat yang ditindas”.
Narasi tersebut menggiring opini publik dengan kesan seolah-olah tambang emas di Latimojong hanya menjadi bancakan para taipan nasional, sementara masyarakat sekitar “mandi lumpur” akibat dampak lingkungan dan sosial yang ditimbulkan.
Namun benarkah demikian? Kenyataan di lapangan jauh lebih kompleks, dan tudingan-tudingan tersebut tidak sepenuhnya berdasar.
Pertama-tama, penting untuk ditegaskan bahwa tidak ada aturan yang dilanggar dalam proyek tambang ini. Penunjukan kontraktor seperti Petrosea dan Macmahon dilakukan sesuai dengan regulasi yang berlaku, termasuk Undang-Undang Minerba, Peraturan Presiden tentang Proyek Strategis Nasional, dan prinsip-prinsip Good Mining Practice.
Semua proses pengadaan dilakukan secara profesional, dengan pertimbangan utama pada rekam jejak teknis dan kemampuan operasional, bukan semata pada siapa pemegang sahamnya.
Narasi yang menyebut nama-nama besar seperti Prajogo Pangestu dan Salim Group seolah ingin menggambarkan bahwa proyek ini dikuasai oleh “asing”, padahal realitanya mereka adalah warga negara Indonesia, anak bangsa sendiri.
Mereka adalah bagian dari kekuatan ekonomi nasional yang memilih untuk berinvestasi di dalam negeri dengan tujuan penyerapan tenaga kerja lokal, dan berkontribusi besar terhadap pajak dan penerimaan negara.
Keberadaan mereka bukanlah masalah, melainkan potensi yang seharusnya didukung jika kita ingin pembangunan benar-benar terjadi dari hulu ke hilir.
Petrosea dan Macmahon juga bukan entitas gelap seperti yang digambarkan. Mereka adalah perusahaan terbuka dengan rekam jejak panjang, diawasi oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan terdaftar di Bursa Efek Indonesia.
Tidak ada riwayat keterlibatan mereka dalam kasus korupsi atau pelanggaran serius yang menodai nama mereka. Menyederhanakan kehadiran mereka sebagai simbol kerakusan kapitalis justru berisiko menyesatkan publik dan memperlebar jarak antara persepsi dan fakta.
Tambang emas Latimojong sendiri berada di wilayah dengan tantangan topografi ekstrem. Ini bukan proyek sembarangan yang bisa ditangani oleh sembarang perusahaan. Risiko keselamatan tinggi, teknologi yang dibutuhkan pun sangat khusus.
Dalam kondisi seperti ini, hanya kontraktor dengan kapasitas besar dan pengalaman tinggi yang mampu memastikan operasi berjalan aman dan tidak membahayakan lingkungan maupun manusia di sekitarnya. Menyerahkan proyek sebesar ini ke perusahaan kecil hanya akan menjadi bom waktu.
Bukan hanya aspek teknis dan keselamatan, pembangunan tambang juga mencakup investasi besar dalam infrastruktur. Jalan tambang, jembatan, sistem pengolahan limbah dan air, hingga manajemen tailing semua membutuhkan standar tinggi dan modal besar.
Maka sangat wajar jika pengelola proyek memilih mitra yang memiliki rekam jejak global dan visi jangka panjang. Logika pasar dan keberlanjutan tidak bisa dikorbankan hanya karena tekanan opini sesaat.
Sebaliknya, kehadiran grup besar justru memberikan jaminan akuntabilitas yang lebih tinggi. Mereka memiliki sistem audit internal, manajemen risiko yang ketat, dan komitmen terhadap praktik berkelanjutan yang teruji.
Jika publik ingin proyek seperti ini benar-benar diawasi dan transparan, maka perusahaan besar yang tunduk pada standar global adalah jaminan yang lebih dapat dipercaya dibanding aktor-aktor tak dikenal yang tidak terikat kewajiban keterbukaan.
Penting juga untuk membongkar asumsi bahwa masyarakat lokal tidak mendapatkan manfaat. Fakta menunjukkan bahwa Petrosea dan Macmahon telah bekerja sama dengan puluhan mitra lokal, termasuk koperasi, UMKM, dan petani di sekitar Latimojong.
Program Pengembangan dan Pemberdayaan Masyarakat (PPM) berjalan dan membawa dampak positif nyata. Jika benar peduli terhadap nasib rakyat, maka fokusnya seharusnya pada peningkatan partisipasi lokal, bukan pada pengusiran modal nasional.
Ironisnya, framing negatif terhadap keterlibatan “taipan” justru bisa menjadi bumerang bagi upaya pemerintah dalam menggenjot investasi dan hilirisasi. Presiden Prabowo telah menargetkan percepatan investasi dan industrialisasi tambang sebagai prioritas nasional.
Tapi jika setiap pengusaha besar yang masuk ke daerah disambut dengan kecurigaan dan tuduhan, maka para investor akan ragu.
Dunia usaha butuh kepastian hukum dan narasi. Jika yang ada hanya ketidakpastian sosial dan tekanan opini, maka Indonesia akan ditinggalkan oleh investor kredibel. Yang paling menyakitkan adalah tudingan bahwa aktivitas tambang menjadi penyebab bencana dan korban jiwa di Luwu.
Faktanya, hasil investigasi resmi dari Gakkum KLHK menyatakan bahwa aktivitas MDA tidak berkaitan dengan banjir atau longsor di wilayah tersebut.
Justru kehadiran mereka mempercepat pemulihan akses jalan dan distribusi bantuan di masa darurat. Hal ini ditegaskan langsung oleh BNPB dalam konferensi pers resmi mereka.
Narasi simplistik semacam ini berpotensi mengacaukan orientasi kebijakan publik. Kita tentu tidak menutup mata terhadap risiko tambang, namun segala penilaian harus berdasarkan data dan logika, bukan sentimen atau stereotip.
Yang dibutuhkan masyarakat adalah keadilan, bukan sensasi. Yang diperlukan bangsa ini adalah pembangunan berkelanjutan, bukan pembunuhan karakter pada mereka yang sedang mencoba membangun.
Di titik ini, kita perlu kembali pada akal sehat dan menimbang semua hal secara jernih. Apakah kita ingin menolak setiap bentuk investasi besar hanya karena melibatkan nama-nama yang kita curigai? Atau kita akan memilih jalan tengah: mendukung investasi dengan pengawasan kuat, regulasi ketat, dan partisipasi rakyat yang bermakna?
Masa depan Latimojong tidak akan ditentukan oleh narasi viral, tetapi oleh pilihan rasional dan kolaborasi konstruktif antara semua pihak.
*Ketua Bidang Perekonomian, UMKM, Pengembangan Start-up dan Ekonomi Kreatif HIPMI Perguruan Tinggi Indonesia