DI tengah derasnya arus tafsir sekuler terhadap dasar negara, umat Islam di Indonesia harus tegak berdiri membawa narasi yang terang: Islam berada di atas negara. Islam adalah wahyu dari Allah, bersifat absolut, abadi, dan tidak tunduk pada konstruksi politik atau ideologi buatan manusia. Negara hanyalah wasilah (alat), bukan ghayah (tujuan). Karena itu, negara harus tunduk kepada nilai-nilai Islam, bukan Islam yang disubordinasikan oleh tafsir negara.
Namun, dalam konteks sejarah dan realitas Indonesia, kita juga tidak bisa menafikan bahwa Pancasila sebagai akidah kebangsaan dan UUD 1945 sebagai syariat kenegaraan, sejauh tidak bertentangan dengan syariat Islam, masih bisa menjadi media perjuangan dan ekspresi nilai-nilai keislaman dalam tata kelola negara. Inilah cara berpikir yang kokoh: menempatkan Islam sebagai poros, dan negara sebagai alat.
Pancasila: Akidah Kebangsaan yang Menyerap Nilai Wahyu
Pancasila bukan kitab suci, namun sebagai konsensus kebangsaan, sila-silanya masih bisa dibaca sebagai nilai-nilai Islam, jika diletakkan dalam bingkai tauhid: Ketuhanan Yang Maha Esa. Ini bukan sekadar pengakuan ada Tuhan. Ini adalah pijakan teologis bahwa hukum dan tatanan sosial harus berporos pada kehendak Allah.
Tauhid adalah fondasi hidup umat Islam, termasuk dalam bernegara. Karena itu, seluruh hukum positif harus diuji: apakah sesuai dengan kehendak Tuhan atau hanya akal politik manusia? Kemanusiaan yang adil dan beradab: Dalam Islam, keadilan bukan sekadar moralitas, tapi pilar hukum. Adab adalah keluhuran akhlak, misi utama diutusnya Rasulullah SAW.
Maka, negara yang adil dan beradab adalah negara yang tidak memisahkan hukum dari akhlak Islam. Persatuan Indonesia: Islam memerintahkan umat untuk bersatu dalam kebenaran. Persatuan yang dicari bukan semata persatuan administratif, tapi persatuan iman, akhlak, dan cita-cita luhur.
Dalam masyarakat mayoritas Muslim, persatuan harus dimaknai sebagai ukhuwah yang bertumpu pada nilai Islam. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan: Prinsip ini sejalan dengan Islam. Musyawarah bukan sekadar mekanisme voting, tapi proses hikmah untuk menegakkan kebenaran dengan cara bijaksana. Ini menuntut kepemimpinan yang berakhlak dan bertakwa, bukan sekadar representatif. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia: Islam sangat jelas memandatkan keadilan sosial, melalui instrumen zakat, larangan riba, distribusi tanah, dan perlindungan hak-hak orang-orang yang lemah. Pancasila hanya bermakna jika keadilan yang dimaksud bersumber dari panduan wahyu, bukan sekadar peraturan pasar.
UUD 1945 sebagai Syariat Kenegaraan
UUD 1945 sebagai hukum dasar negara bukanlah kitab suci, namun dalam bentuk aslinya, ia tidak bertentangan dengan Islam. Pasal 29 ayat 2 misalnya, menjamin kebebasan setiap pemeluk agama untuk menjalankan keyakinannya. Ini adalah pintu legal untuk umat Islam menjalankan syariat secara sah dan konstitusional.
Namun, umat Islam harus waspada: Banyak undang-undang turunan justru menyimpang dari UUD 1945 dan bertentangan dengan nilai Islam. Amandemen tahun 1999–2002 menggeser semangat kedaulatan rakyat ke arah dominasi ekonomi pasar dan asing. Banyak keputusan Mahkamah Konstitusi mengabaikan nilai-nilai ilahiah dalam tafsir konstitusi.
Maka, tugas umat Islam adalah mengawal agar seluruh peraturan perundang-undangan tunduk pada UUD 1945 dan sejalan dengan prinsip-prinsip syariat Islam. Dengan cara ini, umat Islam tidak menggugat dasar negara, tapi menafsirkan dan mewujudkannya sesuai nilai-nilai wahyu. Islam tidak butuh negara, tapi negara butuh Islam. Islam tidak lahir dari negara, tapi negara yang seharusnya lahir dari Islam. Umat Islam tidak boleh menjadikan negara sebagai sumber kebenaran. Negara hanyalah alat. Maka, kesetiaan kepada bangsa harus tunduk kepada ketaatan kepada Allah SWT.
Islam berada di atas negara. Prinsip ini harus menjadi fondasi berpikir umat Islam dalam seluruh aspek: politik, hukum, ekonomi, dan budaya. Tanpa prinsip ini, umat akan terus tunduk pada sistem yang bertentangan dengan aqidahnya.
Islam Menuntun, Negara MengabdiPancasila sebagai akidah kebangsaan, dan UUD 1945 sebagai syariat kenegaraan, hanya sah jika ditundukkan kepada nilai-nilai Islam. Selama nilai-nilai itu sejalan dengan wahyu, maka umat Islam dapat memanfaatkannya sebagai sarana dakwah dan perjuangan.
Umat Islam di Indonesia bukan penumpang dalam kapal bangsa ini. Kita adalah navigatornya. Dan arah pelayaran kita hanya satu: menuju keridhaan Allah SWT sebagai pemegang kedaulatan tertinggi. Karena dalam Islam, negara adalah alat. Dan tauhid adalah poros segala amal.
*Penulis adalah penggiat literasi dari Republikein StudieClub