Berita

Ilustrasi/RMOL

Publika

Empat Pulau yang Hilang dan Refleksi Otsus Aceh

Oleh: Tomi Subhan*
MINGGU, 01 JUNI 2025 | 02:56 WIB

KEPUTUSAN Menteri Dalam Negeri Nomor 300.2.2-2138 Tahun 2025, yang mulai berlaku pada Maret 2025, menimbulkan kegelisahan di Aceh Singkil. Pemindahan empat pulau Panjang, Lipan, Mangkir Gadang, dan Mangkir Ketek dari Provinsi Aceh ke Provinsi Sumatera Utara bukan sekadar perubahan administratif, tetapi juga berdampak pada identitas, ekonomi, dan budaya masyarakat pesisir yang telah terbangun selama puluhan tahun.

Bagi warga masyarakat yang sehari-hari menggantungkan hidupnya pada laut, bagi para tetua adat yang menuturkan kisah turun-temurun tentang asal-usul dan potensi SDA laut, serta bagi generasi muda yang meneguhkan kebanggan akan warisan lokal, keputusan ini terasa bagai gempa tektonik yang mengguncang fondasi kedaulatan lokal.

Riwayat Panjang Otonomi Khusus Aceh


Sejak ditandatanganinya nota kesepahaman Helsinki pada 2005 dan pengesahan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, Aceh diberi hak otonomi khusus dengan kewenangan luas untuk mengelola urusan lokal. Namun, setelah hampir dua dekade, apakah kebijakan ini benar-benar memberikan dampak sesuai harapan?

Otonomi khusus seharusnya menjadi alat bagi Aceh untuk mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya alam, memperkuat penerapan syariat Islam, dan menjaga batas wilayahnya secara mandiri. Namun, berbagai tantangan masih menghambat efektivitasnya. Ketimpangan ekonomi, lemahnya tata kelola pemerintahan, dan kurangnya transparansi dalam pengelolaan dana otsus terus menjadi sorotan.

Selain itu, meski Aceh telah memacu pembangunan infrastruktur dan menegakkan qanun sebagai wujud otonomi normatif, masih banyak pertanyaan mengenai keberlanjutan kebijakan ini dalam jangka panjang. Apakah otsus benar-benar membawa Aceh ke arah kemandirian yang lebih kuat, atau hanya menjadi kebijakan administratif tanpa dampak substansial bagi kesejahteraan rakyat?

Namun, kebijakan otonomi khusus tidak seharusnya hanya terbatas pada pemberian kewenangan secara normatif. Kebijakan ini perlu diwujudkan dalam bentuk tata kelola yang akuntabel, partisipatif, dan berkeadilan, agar benar-benar berdampak bagi masyarakat.

Jika keputusan besar seperti perubahan batas administratif diambil tanpa mempertimbangkan aspirasi masyarakat, bukti historis, serta kesepakatan terdahulu misalnya naskah 1992, maka pelaksanaan otonomi khusus akan kehilangan keseimbangan. Alih-alih menjadi mekanisme reparasi dan rekonsiliasi, kebijakan ini justru bisa terseret dalam logika birokrasi sentralistik, yang berpotensi mengabaikan prinsip keterlibatan publik dalam pengambilan keputusan.
 
Implikasi Sosial dan Ekonomi bagi Masyarakat Pesisir
 
Empat pulau kecil tersebut memiliki nilai ekonomi yang signifikan, lebih dari sekadar titik koordinat di peta. Pulau tersebut memiliki peran sebagai penyangga ekologis dengan hutan bakau yang tidak hanya menjaga keseimbangan lingkungan tetapi juga menjadi sumber pendapatan bagi masyarakat.
 
Ketika wilayah administratif berpindah, maka otomatis hak kelola nelayan dan petani garam juga ikut teralihkan. Izin tangkap, sertifikasi usaha, hingga akses dana pembinaan perikanan semua harus diurus ulang ke Sumatera Utara. Proses ini bukan hanya menimbulkan birokrasi ganda, melainkan juga potensi konflik baru antar komunitas nelayan Aceh yang tiba-tiba dianggap “asing” di wilayah yang selama ini mereka jelajahi. Menyiratkan kerisauan mendalam bukan hanya soal status, tetapi juga jaminan keberlanjutan mata pencaharian.
 
Refleksi atas Komitmen Pemerintah Pusat
 
Jika benar otonomi khusus adalah wujud penghargaan atas aspirasi lokal dan historis, mengapa keputusan krusial semacam ini justru diambil? Pandangan pesimistis berpotensi muncul,  apakah ada kepentingan tersembunyi misalnya penguasaan sumber daya laut atau alih fungsi lahan di balik pengalihan administratif? Ketika publik tidak diberi ruang mengawal proses, desas-desus akan berkembang liar, menggerus kepercayaan terhadap integritas pemerintahan.

Lebih jauh, peristiwa ini menjadi cermin bagi daerah-daerah otonom lainnya. Jika Aceh yang mendapatkan perhatian internasional pasca-Helsinki, bagaimana dengan daerah lainnya?Semangat desentralisasi yang konon jadi tulang punggung reformasi pasca-Orde Baru, seakan kembali diuji, apakah ia benar-benar kokoh, atau rapuh terhadap kepentingan?

Mengokohkan Legitimasi Desentralisasi

Hilangnya keempat pulau tersebut seharusnya menjadi peringatan bagi seluruh pemangku kepentingan bahwa otonomi khusus tidak dapat dipandang sekadar sebagai privilege normatif, melainkan harus diimplementasikan dalam kebijakan pemerintahan yang menghormati aspek historis, melibatkan partisipasi masyarakat, dan berlandaskan prinsip keadilan.

Apabila dominasi birokrasi pusat terus berlangsung tanpa memberikan ruang bagi ekspresi budaya dan kepentingan lokal, maka sehebat apa pun regulasi otonomi khusus dirancang, ia berisiko kehilangan esensi dan efektivitasnya dalam menjaga kesejahteraan.

Identitas Aceh bukan hanya soal qanun, bukan pula hanya soal kesepakatan formal. Ia lahir dari tarian perahu nelayan di tengah laut lepas, dari suara panggilan adzan subuh di desa perbatasan, serta dari cerita para tetua yang menautkan manusia dengan alam. Mengembalikan empat pulau ini ke peta Aceh bukan sekadar memulihkan batas administratif, melainkan merevitalisasi hak hidup kolektif suatu komunitas. Tanpa itu, desentralisasi akan kehilangan mazhabnya dan menjadi sekadar jargon di atas kertas rapuh ditelan angin perubahan.

Rekomendasi Kebijakan Inklusif

Menanggapi peristiwa empat pulau yang “raib”, pemerintah pusat dan daerah dapat mengambil beberapa langkah strategis untuk merajut kembali kepercayaan dan meneguhkan prinsip otonomi khusus:

Pertama, pembentukan Tim Review Wilayah yang transparan. Pemerintah pusat, Pemerintah Aceh, dan Pemerintah Sumatera Utara harus membentuk tim gabungan yang terdiri dari ahli pemetaan, sejarawan, dan tokoh adat. Tim ini bertugas untuk  meninjau ulang dasar hukum dan historis perubahan batas wilayah serta memastikan keputusan yang diambil tidak mengabaikan kepentingan masyarakat. Mekanisme resolusi sengketa harus dilakukan secara terbuka, dan hasil kajian dipublikasikan agar masyarakat mendapat kejelasan.

Kedua, penguatan hak ekonomi masyarakat pesisir. Sebagian besar warga di sekitar pulau yang dialihkan bergantung pada perikanan, tambak udang, garam tradisional, dan perdagangan hasil laut. Untuk mencegah dampak negatif akibat perubahan administrasi, perlu ada garansi hukum yang memastikan izin usaha dan hak pengelolaan sumber daya tetap berlaku tanpa hambatan birokrasi yang berbelit. Pemerintah juga harus memberikan insentif ekonomi  bagi para nelayan dan pelaku usaha kecil agar transisi ini tidak mengganggu stabilitas ekonomi lokal.

Ketiga, digitalisasi data wilayah dan partisipasi publik. Perubahan batas wilayah harus didukung dengan peta digital interaktif,  di mana masyarakat dapat mengakses data historis dan bukti yang mendukung klaim administratif mereka. Peta ini harus mengintegrasikan dokumen tahun 1992, catatan komunitas, serta kondisi terkini. Selain itu, portal daring perlu dibuka agar masyarakat bisa mengunggah bukti historis foto, dokumen, atau rekaman yang akan diverifikasi oleh tim ahli.

Keempat, musyawarah masyarakat sebagai dasar kebijakan. Keputusan besar seperti ini harus melibatkan masyarakat terdampak secara aktif. Forum musyawarah rakyat di tingkat kecamatan dan kabupaten perlu diselenggarakan untuk mendengar langsung aspirasi nelayan, dan pengusaha lokal. Hasil musyawarah ini harus dijadikan dokumen resmi dalam setiap revisi kebijakan agar suara rakyat tidak terabaikan.

Kelima, Jaminan Keberlanjutan Dana Otonomi Khusus. Perubahan wilayah tidak boleh menjadi alasan untuk menghentikan dukungan finansial bagi pembangunan ekonomi Aceh. Pemerintah perlu menyusun peta jalan transisi yang menjamin keberlanjutan Dana Otonomi Khusus hingga 2027, dengan fokus pada pemberdayaan ekonomi lokal, penyelesaian sengketa wilayah, dan penguatan hak masyarakat pesisir.

Keenam, integrasi perspektif syariah dan HAM dalam keputusan pemerintahan sebagai daerah dengan kekhususan syariat Islam, Aceh harus memastikan bahwa perubahan administratif ini tidak mengabaikan hak masyarakat atas tanah dan laut. Dialog terbuka antara lembaga pengkajian syariat dan Komnas HAM,  diperlukan agar keputusan yang diambil tetap selaras dengan prinsip keadilan dan kesejahteraan masyarakat.

*Penulis adalah aparatur sipil negara

Populer

Bobby dan Raja Juli Paling Bertanggung Jawab terhadap Bencana di Sumut

Senin, 01 Desember 2025 | 02:29

NU dan Muhammadiyah Dikutuk Tambang

Minggu, 30 November 2025 | 02:12

Padang Diterjang Banjir Bandang

Jumat, 28 November 2025 | 00:32

Sergap Kapal Nikel

Kamis, 27 November 2025 | 05:59

Peluncuran Tiga Pusat Studi Baru

Jumat, 28 November 2025 | 02:08

Bersihkan Sisa Bencana

Jumat, 28 November 2025 | 04:14

Evakuasi Banjir Tapsel

Kamis, 27 November 2025 | 03:45

UPDATE

Tragedi Nasional dari Sumatra dan Suara yang Terlambat Kita Dengarkan

Jumat, 05 Desember 2025 | 15:44

Produktivitas Masih di Bawah ASEAN, Pemerintah Susun Langkah Percepatan

Jumat, 05 Desember 2025 | 15:41

Lewat Pantun Cak Imin Serukan Perbaiki Alam Bukan Cari Keributan

Jumat, 05 Desember 2025 | 15:38

Bank Mandiri Sabet 5 Penghargaan BI

Jumat, 05 Desember 2025 | 15:27

Liga Muslim Dunia Siap Lobi MBS untuk Permudah Pembangunan Kampung Haji Indonesia

Jumat, 05 Desember 2025 | 15:18

Banjir Rob di Pesisir Jakarta Berangsur Surut

Jumat, 05 Desember 2025 | 15:13

RI–Timor Leste Sepakat Majukan Koperasi

Jumat, 05 Desember 2025 | 15:08

Revisi UU Cipta Kerja Mendesak di Tengah Kerusakan Hutan Sumatera

Jumat, 05 Desember 2025 | 14:57

Bahlil Telusuri Dugaan Keterkaitan Tambang Martabe dengan Banjir Sumut

Jumat, 05 Desember 2025 | 14:48

BI: Cadangan Devisa RI Rp2.499 Triliun per Akhir November 2025

Jumat, 05 Desember 2025 | 14:39

Selengkapnya