Fasilitas stairlift di Candi Borobudur/Ist
BARANGKALI didasari kecintaan dan kebanggaan pada Candi Borobudur yang dirasakan mutlak sebagai milik umat Buddha, maka muncul di media sosial adanya pihak yang menyuarakan penentangan akan pemasangan sejenis angkutan orang secara personal bernama stairlift.
Meskipun demikian, isi dari aspirasi suara penolakan tersebut cenderung terkesan adanya kepanikan dan ketidaksenangan emosional seakan dapat dan sudah dipastikan merusak keaslian candi yang bernama Borobudur itu, bahkan seakan meruntuhkan marwahnya.
Tentu saja penambahan suatu fasilitas atas sebuah bangunan bernilai sejarah dan sakral bagi umatnya mesti mempertimbangan azas fungsi dan manfaat.
Di mana dalam konteks ini kita juga melihat adanya
handle stainless steel di dekat anak tangga yang berfungsi sebagai alat bantu bagi pengunjung di sana dan tiada noda apa pun yang dirasakan umatnya atas keberadaannya.
Sehingga penyoalan pemasangan
stairlift menjadi terkesan kerisauan yang berlebihan.
Untuk itu kiranya harus dipahami bagaimana sejarah Candi Borobudur yang sudah tertutup berbagai ilalang pohon tertimbun tanah pula hingga muncul tampil megah penuh keindahan seperti yang kita saksikan.
Kini Candi Borobudur bukan hanya menjadi milik umat Buddha, namun juga milik rakyat Indonesia serta dunia. Luar biasa.
Jadi tentu saja dalam konteks ini semua perkembangan peradaban memiliki dimensi kekuatannya masing-masing.
Sehingga ketika sebuah alat bantu terkhusus bagi kepentingan pengunjung dengan kondisi fisik terbatas dan juga fungsional keamanan lainnya sangatlah manusiawi dan tidak bertentangan dengan ajaran Buddha.
Di mana segala wujud adalah "anicca", tiada kekal, dapat berubah sesuai kebutuhan dan keadaan masa keberadaannya.
Namun demikian, terkait pemasangan
stairlift tentu saja pemerintah sebagai penanggung jawab utama bukanlah bagian yang ingin merusak apalagi menghancurkan sebuah situs peninggalan yang sangat amat bernilai.
Tidak saja lahiriah semata tetapi juga batiniah. Sehingga sangat tidak perlu diragukan sama sekali tingkat manfaat dan fungsi alat bantu tersebut juga terhadap konstruksi maupun estetika candi secara menyeluruh.
Adalah tepat sebagaimana kisah seorang Maha Bhiksu ketika ditanya tentang rupang Buddha yang dibakar menjawab, oh buat lagi saja, itu hanya sebilah kayu.
Maka dengan teknologi handal dipasanglah
stairlift ketika sudah saatnya ada bhiksu atau umat atau pengunjung biasa yang sangat memerlukannya agar dapat ke atas candi dengan bahagia sesuai tujuan semangat cinta kasih ajaran Buddha.
Bukan justru menjadikannya politisasi yang memandang candi sebagai benda suci yang bahkan kelak diinjak pun tidak boleh bila dipandang dengan cara seperti itu.
*Penulis adalah Direktur Forum Buddhis Indonesia