Berita

Ilustrasi/Pahamify.com

Publika

Negara (Bukan) Algojo Moral

Oleh: Martin Dennise Silaban*
SENIN, 26 MEI 2025 | 05:45 WIB

BELAKANGAN ini, ruang publik kembali dipenuhi oleh wacana kontroversial yang dilontarkan sejumlah pejabat tinggi negara terkait penanganan kenakalan remaja dan penyalahgunaan narkoba. 

Gubernur Jawa Barat mengusulkan agar anak-anak “nakal” dikirim ke barak militer untuk dididik dengan disiplin ketat ala militer. Wakil Presiden RI, Gibran Rakabuming Raka, menyambut gagasan ini dengan menambahkan bahwa anak-anak pengguna narkoba sebaiknya dikirim ke pesantren. Pernyataan ini muncul setelah Gubernur Sumatera Utara menyebut secara blak-blakan bahwa wilayahnya menjadi “juara narkoba” di Indonesia.

Alih-alih menawarkan pembacaan yang jernih dan komprehensif terhadap realitas sosiologis yang kompleks di balik gejala kenakalan dan penggunaan narkoba, pernyataan-pernyataan tersebut justru mencerminkan pendekatan simplistik dan reaktif yang menempatkan individu sebagai satu-satunya biang masalah. Negara tampak lebih memilih merespons dengan metode “pemindahan masalah”, mengisolasi, mengarahkan, dan menghukum, ketimbang menyelami akar struktural dari mengapa anak-anak bisa terjebak dalam perilaku menyimpang.


Dengan demikian, alih-alih menyentuh akar masalah, wacana pengiriman anak ke barak militer dan pesantren justru memperlihatkan betapa pemerintah masih berkutat dalam pola pikir lama yang menyalahkan anak sebagai sumber deviasi, tanpa refleksi kritis atas kegagalan struktur sosial yang melingkupi mereka.

Tiga Paradigma dalam Melihat Fenomena Kenakalan

Fenomena kenakalan remaja dan penyalahgunaan narkoba tidak dapat dipahami secara tunggal atau semata-mata sebagai kegagalan moral individu. Dalam kajian sosiologi, setidaknya terdapat tiga paradigma utama yang menawarkan cara pandang berbeda dalam membaca fenomena ini yaitu pendekatan fungsional struktural, teori konflik, dan interaksionisme simbolik (Soetomo, 2008).

Pendekatan fungsional struktural, yang lama mendominasi kebijakan sosial di Indonesia, memandang masyarakat sebagai suatu sistem yang idealnya berjalan harmonis. Setiap elemen dalam masyarakat, keluarga, pendidikan, agama, hukum memiliki fungsi tertentu untuk menjaga keseimbangan sosial. Ketika ada elemen yang gagal menjalankan fungsinya, maka muncul disfungsi yang mengganggu stabilitas sistem.

Dalam kerangka ini, kenakalan remaja dan penggunaan narkoba dipandang sebagai bentuk patologi sosial, gangguan yang harus diperbaiki agar tatanan kembali normal. Barak militer dan pesantren, dalam hal ini, dijadikan institusi korektif yang diharapkan mampu “menyembuhkan” individu dari penyimpangan.

Namun, perspektif ini mengabaikan dimensi struktural yang melatari kenakalan seperti lingkungan keluarga yang disfungsional, sistem pendidikan yang eksklusif dan kompetitif, kemiskinan struktural, serta ketimpangan akses terhadap layanan dasar. Perilaku menyimpang tidak terjadi dalam ruang hampa namun selalu lahir dari relasi sosial yang timpang dan eksklusi yang dialami oleh anak-anak.

Pendekatan ini juga gagal menangkap realitas disorganisasi sosial yakni situasi ketika norma dan institusi tidak mampu memberi pedoman yang jelas bagi warganya. Dalam situasi seperti ini, remaja sering kali mencari alternatif identitas dan eksistensi di luar tatanan resmi, termasuk melalui tindakan yang dicap sebagai “kenakalan”.

Berbeda dengan fungsionalisme, teori konflik memandang masyarakat sebagai arena pertarungan kepentingan antara kelompok yang memiliki kekuasaan dan mereka yang termarjinalkan. Dalam perspektif ini, kenakalan anak bukanlah gejala individual semata, melainkan produk dari konflik nilai antara kelas dominan dan subordinat.

Narasi bahwa anak-anak “nakal” harus dikirim ke pesantren atau barak militer seolah menawarkan solusi berbasis moral dan spiritualitas. Namun, di balik narasi moralistik tersebut tersembunyi mekanisme reproduksi ketimpangan struktural yang berlangsung secara sistematis. Anak-anak dari kelas sosial bawah lebih rentan menjadi sasaran stigmatisasi, dikriminalisasi, dan dipaksa masuk ke dalam institusi pendisiplinan formal seperti barak atau lembaga keagamaan. Sementara itu, pelanggaran serupa bahkan yang lebih berat yang dilakukan oleh anak-anak dari kelas menengah dan elit sosial justru seringkali diselesaikan secara diam-diam di ruang privat, difasilitasi oleh jejaring kekuasaan dan privilese ekonomi.

Kasus Ronald Tannur menjadi cerminan telanjang dari realitas ini. Meskipun telah terbukti terlibat dalam kasus kekerasan yang menyebabkan hilangnya nyawa seseorang, ia sempat divonis bebas oleh pengadilan. Tindakan pidana yang semestinya dihukum tegas justru dinormalkan oleh sistem yang bekerja lebih melindungi pelaku dari kelas sosial atas dibandingkan memberikan keadilan bagi korban. Baru setelah muncul desakan luas dari masyarakat sipil dan tekanan publik yang masif, putusan tersebut dikoreksi dan proses hukum berjalan kembali. Namun, kasus ini membuka mata bahwa sistem peradilan kita tidak berdiri di ruang hampa namun bekerja di bawah bayang-bayang ketimpangan kelas dan kekuasaan.

Situasi ini memperlihatkan bahwa pendekatan korektif seperti mengirim anak ke pesantren atau barak militer kerap tidak berlaku merata. Tindakan ini lebih sering diarahkan kepada kelompok marjinal, menjadi alat kontrol sosial terhadap mereka yang dianggap "tidak patuh" pada tatanan hegemonik. Dalam konteks ini, institusi pendisiplinan tidak lagi semata sebagai tempat pembinaan, tetapi berubah menjadi instrumen eksklusi sosial yang bekerja membungkam, bukan memulihkan.

Paradigma ketiga yaitu interaksionisme simbolik yang menawarkan pandangan mikro yang menyoroti bagaimana identitas dan perilaku menyimpang terbentuk melalui interaksi sosial dan makna yang dilekatkan oleh lingkungan. Dalam kerangka ini, pelabelan terhadap anak-anak sebagai “nakal”, “pembangkang”, atau “pecandu” justru bisa memperkuat penyimpangan itu sendiri.

Teori labelling menekankan bahwa ketika seseorang diberi cap menyimpang, ia akan cenderung menginternalisasi label tersebut dan mengembangkan perilaku yang sesuai dengannya, sebuah fenomena yang disebut sebagai self-fulfilling prophecy. Maka, anak-anak yang baru bereksperimen dengan zat terlarang atau terlibat dalam konflik sosial minor bisa terdorong untuk semakin menjauh dari norma ketika mereka distigmatisasi secara sosial.

Label yang diberikan oleh institusi negara atau masyarakat sering kali mengabaikan kenyataan bahwa perilaku menyimpang remaja bersifat dinamis dan tidak menetap. Alih-alih diberi ruang untuk pulih, anak-anak justru didorong masuk ke lingkungan yang represif dan tidak empatik seperti barak militer, pesantren, atau bahkan lembaga pemasyarakatan yang memperkuat rasa keterasingan dan kehilangan identitas positif.

Kita kerap melupakan bahwa perilaku menyimpang pada remaja sering kali merupakan ekspresi dari kebutuhan dasar yang tidak terpenuhi baik itu kasih sayang, pengakuan, rasa aman, aktualisasi maupun eksistensi diri. Dalam konteks itu, pendekatan pelabelan dan hukuman hanya akan memperburuk luka psikososial dan mempersempit kemungkinan reintegrasi sosial.

Menggeser Paradigma Lama

Kebijakan yang mengandalkan barak militer dan pesantren sebagai tempat “rehabilitasi” bagi anak-anak yang dianggap nakal atau menyimpang menegaskan keengganan negara untuk keluar dari jerat paradigma lama. Paradigma yang melihat masalah sosial hanya sebagai akibat dari kegagalan individu, bukan sebagai gejala dari sistem yang pincang dan timpang. Dalam pendekatan ini, anak-anak yang membutuhkan ruang aman untuk tumbuh justru dilempar ke dalam sistem yang keras, penuh tekanan, dan jauh dari sentuhan pemulihan.

Padahal, realitas sosial hari ini menuntut pendekatan yang lebih empatik, partisipatif, dan berbasis keadilan sosial. Kenakalan remaja dan penyalahgunaan narkoba harus dipahami sebagai gejala dari akumulasi luka sosial, keluarga yang rapuh karena tekanan ekonomi, sekolah yang tidak ramah dan penuh diskriminasi, serta komunitas yang terfragmentasi oleh ketidakadilan. Dalam konteks ini, tugas negara seharusnya bukan hanya mendisiplinkan, tetapi membangun ekosistem yang sehat untuk mendukung tumbuh kembang anak secara utuh.

Kita membutuhkan cara baru dalam merespons anak-anak yang terluka. Bukan dengan mengirim mereka ke tempat yang lebih keras, melainkan dengan menghadirkan pendekatan berbasis komunitas, program peer-to-peer support, layanan kesehatan mental yang terintegrasi ke dalam sistem pendidikan, serta kebijakan sosial yang berpihak pada keluarga miskin dan termarjinalkan.

Selama negara tetap terjebak dalam kerangka fungsional struktural yang memosisikan anak-anak sebagai sumber masalah, bukan sebagai korban dari kegagalan sistem sosial dan ekonomi yang timpang,maupun dari kegagalan ekosistem memberi ruang aman, maka kebijakan yang dihasilkan hanya akan berputar-putar pada pengendalian gejala, bukan penyembuhan akar persoalan. Pemerintah terlampau sibuk mengurusi aspek moralitas individu tanpa berani merombak ekosistem yang memicu kenakalan dan penyalahgunaan narkoba itu sendiri.

Sudah waktunya kita membangun ekosistem sosial yang sehat mulai dari keluarga yang didukung secara ekonomi yang berkeadilan, pendidikan tanpa diskriminasi, dan komunitas yang memberi ruang bagi aktualisasi diri. Kenakalan remaja bukan masalah moral semata, melainkan cerminan kegagalan sistem sosial-ekonomi yang menciptakan ketimpangan dan keterasingan.

Negara harus hadir bukan sebagai algojo moral yang sibuk memberi stigma dan hukuman, melainkan sebagai fasilitator perubahan sistemik yang menata ulang tatanan sosial-ekonomi demi keadilan dan kesetaraan. Paradigma lama yang berkutat pada kesalahan individu harus diganti dengan paradigma baru. Hanya dengan merombak struktur sosial-ekonomi yang timpang dan membangun ekosistem pendukung yang inklusif, kita dapat mengakhiri siklus permasalahan yang selama ini tak kunjung usai.


*Penulis adalah Peneliti di SHEEP Indonesia Institute dan Mahasiswa Magister Departemen Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan, UGM

Populer

Bobby dan Raja Juli Paling Bertanggung Jawab terhadap Bencana di Sumut

Senin, 01 Desember 2025 | 02:29

NU dan Muhammadiyah Dikutuk Tambang

Minggu, 30 November 2025 | 02:12

Padang Diterjang Banjir Bandang

Jumat, 28 November 2025 | 00:32

Sergap Kapal Nikel

Kamis, 27 November 2025 | 05:59

Peluncuran Tiga Pusat Studi Baru

Jumat, 28 November 2025 | 02:08

Bersihkan Sisa Bencana

Jumat, 28 November 2025 | 04:14

Evakuasi Banjir Tapsel

Kamis, 27 November 2025 | 03:45

UPDATE

Puan Harap Korban Banjir Sumatera Peroleh Penanganan Baik

Sabtu, 06 Desember 2025 | 02:10

Bantuan Kemensos Telah Terdistribusikan ke Wilayah Aceh

Sabtu, 06 Desember 2025 | 02:00

Prabowo Bantah Rambo Podium

Sabtu, 06 Desember 2025 | 01:59

Pansus Illegal Logging Dibahas Usai Penanganan Bencana Sumatera

Sabtu, 06 Desember 2025 | 01:39

BNN Kirim 2.000 Paket Sembako ke Korban Banjir Sumatera

Sabtu, 06 Desember 2025 | 01:18

Bahlil Sebut Golkar Bakal Dukung Prabowo di 2029

Sabtu, 06 Desember 2025 | 01:03

Banjir Sumatera jadi Alarm Keras Rawannya Kondisi Ekologis

Sabtu, 06 Desember 2025 | 00:56

UEA Berpeluang Ikuti Langkah Indonesia Kirim Pasukan ke Gaza

Sabtu, 06 Desember 2025 | 00:47

Media Diajak Kawal Transformasi DPR Lewat Berita Berimbang

Sabtu, 06 Desember 2025 | 00:18

AMAN Raih Dua Penghargaan di Ajang FIABCI Award 2025

Sabtu, 06 Desember 2025 | 00:15

Selengkapnya