DALAM diskusi publik tentang inflasi dan pelindung nilai, emas sering kali disebut sebagai penyelamat. Salah satu narasi yang kerap digunakan oleh penjual emas adalah membandingkan harga telur pada tahun 1996 dengan harga telur pada tahun 2006. Mereka menunjukkan bagaimana harga telur melonjak, sebagai bukti bahwa nilai uang terus menyusut dan bahwa emas adalah solusi. Namun, ada sesuatu yang janggal dalam narasi ini.
Mengapa para penjual emas tidak membandingkan harga telur tahun 1986 dengan 1996? Padahal, itu juga merupakan rentang waktu sepuluh tahun. Jawabannya mungkin terletak pada kenyataan bahwa selama periode 1986–1996, harga-harga kebutuhan pokok naik lebih lambat daripada dalam periode 2006–2016. Narasi emas sebagai penyelamat nilai uang menjadi kurang kuat jika melihat periode sebelumnya.
Peran Bank Indonesia dalam Mengendalikan Inflasi
Selama periode 1986–1996, Bank Indonesia masih berada di bawah pemerintah pusat, dan memiliki mandat utama untuk menjaga kestabilan harga dalam kerangka pembangunan ekonomi nasional. Meski diwarnai tekanan politik dan krisis moneter menjelang 1998, periode ini ditandai dengan relatif terjaganya kestabilan harga barang kebutuhan pokok.
Sebaliknya, setelah diberlakukannya Undang-Undang No. 23 Tahun 1999 yang memberikan independensi kepada BI, stabilitas harga justru menghadapi tantangan besar. Dalam masa transisi awal kemerdekaannya sebagai institusi moneter, BI menghadapi tantangan yang besar dalam menjaga stabilitas rupiah dan inflasi.
Ekonom senior mendiang Faisal Basri pernah menyatakan, "Independensi bank sentral tidak boleh berarti lepas dari kontrol publik. Ketika koordinasi fiskal dan moneter lemah, maka rakyatlah yang menanggung beban inflasi." Pandangan ini diperkuat oleh studi dari Eep Saefulloh Fatah (2009) yang menyoroti lemahnya akuntabilitas BI pasca-independensi, terutama dalam pengendalian harga pangan.
Analisis Kenaikan Harga Kebutuhan Pokok: 1986–1996 vs 2006–2016
Kenaikan harga kebutuhan pokok dalam dua dekade berbeda menunjukkan perbedaan tekanan inflasi yang cukup signifikan. Sebagai contoh, harga telur ayam pada tahun 1986 berada di kisaran Rp1.000 per kilogram, dan naik menjadi sekitar Rp3.000 per kilogram pada tahun 1996, kenaikan sebesar 200 persen. Sementara itu, dalam periode 2006 hingga 2016, harga telur naik dari Rp6.500 menjadi sekitar Rp22.000 per kilogram, mengalami kenaikan sekitar 238 persen.
Harga beras juga mengalami pola serupa. Dari Rp250 per kilogram pada tahun 1986, harga beras naik menjadi Rp 900 pada tahun 1996, meningkat sekitar 260 persen. Namun, dalam dekade 2006–2016, harga beras naik dari Rp3.700 menjadi Rp10.500 per kilogram, atau sekitar 184 persen.
Untuk minyak goreng, harga pada tahun 1986 berada di sekitar Rp 600 per liter dan meningkat menjadi Rp1.500 per liter pada tahun 1996, kenaikan sebesar 150 persen. Pada periode 2006–2016, harga minyak goreng naik dari Rp5.500 menjadi Rp13.000 per liter, setara dengan peningkatan sekitar 136 persen.
Data historis ini memperlihatkan bahwa pada dekade 1986–1996, harga kebutuhan pokok memang naik, tetapi secara relatif lebih moderat dibandingkan dengan periode 2006–2016, terutama dalam konteks struktur ekonomi yang saat itu masih dikendalikan secara lebih terpusat, termasuk peran aktif pemerintah dalam menjaga harga-harga strategis.
Data historis ini memperlihatkan bahwa pada dekade 1986–1996, harga kebutuhan pokok memang naik, tapi tidak seekstrem kenaikan pada dekade 2006–2016. Kenaikan harga dalam dekade pasca-independensi BI bahkan lebih tajam pada beberapa komoditas utama. Hal ini menunjukkan bahwa inflasi bukan sekadar hasil dari "waktu berjalan", tetapi juga refleksi dari struktur pengelolaan moneter dan koordinasi fiskal.
Menelusuri Narasi Emas dan Ketidakpedulian Moneter
Fenomena narasi emas yang selektif dalam memilih periode perbandingan harga menunjukkan adanya agenda terselubung. Penjual emas memanfaatkan ketakutan masyarakat terhadap inflasi untuk mendorong penjualan. Namun, mereka jarang atau bahkan tidak pernah menyinggung konteks kebijakan moneter nasional, apalagi mendiskusikan koordinasi fiskal dan kebijakan harga.
Ketidakpedulian terhadap kebijakan moneter nasional bisa jadi merupakan ciri bahwa para penjual emas mencoba meraup keuntungan pribadi dengan memanfaatkan ketidakstabilan ekonomi yang sedang berlangsung. Mereka menonjolkan gejala (inflasi), tapi mengabaikan sebab strukturalnya (kebijakan dan kelembagaan moneter). Ini adalah bentuk manipulasi yang harus disikapi dengan kritis.
Saatnya Evaluasi Kelembagaan Moneter Kita
Publik perlu lebih waspada terhadap narasi ekonomi yang disederhanakan. Inflasi adalah persoalan kompleks yang melibatkan keputusan politik, kebijakan fiskal, stabilitas eksternal, dan tentu saja: arah pengelolaan bank sentral. Sudah waktunya kita sebagai warga negara meninjau ulang, apakah arsitektur moneter nasional kita benar-benar dirancang untuk melayani kepentingan publik atau justru menyerahkannya sepenuhnya kepada pasar dan aktor-aktor swasta.
Memahami konteks dan data secara menyeluruh akan membantu kita membuat keputusan keuangan yang lebih bijak dan terinformasi. Lebih dari itu, kita juga harus waspada terhadap pihak-pihak yang mengambil keuntungan dari ketidakpastian ekonomi, termasuk para penjual emas yang sering kali tidak mempedulikan konteks kebijakan moneter nasional. Ketidakpedulian ini bisa menjadi indikasi bahwa motivasi utamanya adalah mengejar keuntungan pribadi, bukan memberikan edukasi finansial yang jujur dan utuh.
Dengan menyoroti sisi yang menguntungkan saja dan mengabaikan dinamika moneter yang kompleks, mereka ikut memperkuat narasi ketidakpercayaan terhadap instrumen ekonomi nasional, yang justru dapat memperparah instabilitas itu sendiri.
*Penulis adalah penggiat literasi dari Republikein StudieClub