SELAMA lebih dari dua dekade terakhir, arah pembangunan ekonomi Indonesia seolah berjalan dengan kompas yang kehilangan arah. Stabilitas makroekonomi diagung-agungkan, sementara realitas kesejahteraan rakyat tertinggal di belakang statistik.
Kebijakan ekonomi tidak lagi ditujukan untuk memperkuat kedaulatan bangsa, melainkan menjaga "kepercayaan pasar". Di tengah ketimpangan sosial yang memburuk, harga bahan pokok yang tidak terkendali, dan ketergantungan pada utang luar negeri yang terus menumpuk, tiba waktunya kita bertanya: apakah sistem ekonomi kita masih sesuai dengan amanat konstitusi?
Salah satu jawaban paling mendasar dan berani adalah: kita harus kembali kepada Undang-Undang Dasar 1945 dalam bentuk aslinya, dan sebagai langkah konkret menasionalisasi bank sentral, yakni Bank Indonesia (BI).
UUD 1945: Ruh Kedaulatan Ekonomi yang Dilupakan
UUD 1945 versi asli, sebelum diamandemen, adalah dokumen konstitusional yang ditulis dengan semangat perlawanan terhadap imperialisme, kolonialisme, dan dominasi kapital asing. Pasal 33 UUD 1945 adalah manifestasi dari cita-cita ekonomi yang berorientasi pada keadilan sosial, kedaulatan rakyat, dan kontrol negara atas cabang-cabang produksi strategis.
“Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan atas asas kekeluargaan. Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara.”
Kalimat ini bukan slogan kosong. Ia adalah dasar moral, filosofis, dan politis dari seluruh kebijakan ekonomi nasional. Termasuk di dalamnya adalah pengelolaan sistem keuangan, moneter, dan lembaga strategis seperti Bank Indonesia.
Ketika Bank Sentral Dilepaskan dari Tangan Rakyat
Pada tahun 1999, di bawah tekanan IMF pasca krisis moneter 1997–1998, Indonesia menerbitkan UU No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia, yang secara drastis mengubah posisi BI menjadi lembaga independen. Dalam narasi para ekonom neoliberal, independensi ini dimaksudkan untuk melindungi BI dari intervensi politik. Tapi dalam praktiknya, justru menciptakan kesenjangan akuntabilitas yang sangat berbahaya.
Bank Indonesia yang mengendalikan suplai uang, suku bunga, nilai tukar, hingga cadangan devisa negara tidak lagi bertanggung jawab kepada Presiden atau MPR. Padahal, dalam sistem asli UUD 1945, Presiden adalah pemegang mandat rakyat yang sah. Artinya, BI telah dilepaskan dari kontrol kedaulatan rakyat, dan justru lebih tunduk pada logika pasar global.
Bahaya "Independensi" Bank Sentral
Mari kita lihat dampak dari status “independen” ini dalam realitas sehari-hari. Pertama, kebijakan moneter cenderung pro-pasar dan anti-rakyat. Setiap kali terjadi gejolak di luar negeri, Bank Indonesia lebih sibuk menjaga kepercayaan investor asing daripada menyelamatkan daya beli rakyat. Suku bunga dinaikkan untuk menahan laju keluar modal, tapi dampaknya sangat buruk bagi UMKM dan sektor riil. Kredit menjadi mahal, bisnis rakyat tercekik.
Kedua, BI tidak bisa disinergikan secara penuh dengan pemerintah. Selama pandemi Covid-19, respons pemerintah sempat terganjal karena BI bukan bagian dari struktur eksekutif. Padahal, untuk menanggulangi krisis, kebijakan fiskal dan moneter harus berjalan selaras. BI baru mau "turun tangan" setelah negosiasi panjang, dan itupun dalam skema burden sharing yang rumit.
Ketiga, transparansi lemah, sementara pengaruh asing kuat. BI menjalankan fungsi strategis tanpa mekanisme akuntabilitas yang memadai kepada rakyat. Padahal, kebijakan yang mereka buat sangat ditentukan oleh dinamika global alias keputusan The Fed di Amerika, gejolak geopolitik, dan tekanan investor asing.
Ini adalah bentuk baru dari penjajahan ekonomi yang terselubung. Uang kita dikendalikan oleh entitas yang tidak bisa kita pilih dan tidak bisa kita awasi.
Nasionalisasi BI: Mengembalikan Kedaulatan Ekonomi ke Rakyat
Nasionalisasi bukan berarti politisasi. Nasionalisasi berarti mengembalikan Bank Indonesia kepada kendali konstitusional bangsa. Di negara manapun yang berdaulat, sistem keuangannya adalah alat negara, bukan alat modal.
Nasionalisasi BI berarti revisi total UU No. 23 Tahun 1999 dan penghapusan status independennya. BI harus kembali bertanggung jawab kepada Presiden dan MPR, sesuai sistem presidensial UUD 1945. Kemudian, perlu dibentuk Dewan Moneter Nasional yang terdiri dari unsur pemerintah, perwakilan rakyat, akademisi, dan elemen ekonomi kerakyatan.
Yang terpenting, BI wajib menjalankan kebijakan moneter yang sejalan dengan rencana pembangunan nasional dan kesejahteraan rakyat, bukan semata menjaga inflasi dan nilai tukar.
Belajar dari Negara Lain
Jangan terkecoh bahwa hanya Indonesia yang ingin menasionalisasi bank sentral. Banyak negara besar memiliki kendali politik yang kuat atas bank sentralnya.
Di China, bank sentral berada di bawah kontrol langsung Dewan Negara (semacam kabinet). Di Amerika Serikat, meskipun disebut “independen,” Federal Reserve tunduk pada pengawasan Kongres dan Presiden dapat memilih ketua The Fed. Di Turki, Presiden Erdogan secara terbuka menolak kebijakan suku bunga tinggi dan menekan bank sentral untuk mendukung pertumbuhan domestik.
Jadi, nasionalisasi bank sentral bukan ide ekstrem, melainkan praktik umum negara yang ingin berdaulat. Realitas yang menampar: Siapa yang Diuntungkan dari BI Saat Ini? Mari jujur. Dalam sistem yang sekarang:
Investor asing menikmati stabilitas makro dan bebas keluar-masuk modal. Korporasi besar menikmati kredit murah dan pasar terbuka. Rakyat kecil? Menanggung inflasi, suku bunga tinggi, dan lemahnya akses pembiayaan.
Kita telah membiarkan sistem keuangan melayani kelas atas dan global, bukan rakyat.
Kembali ke UUD 1945, Bukan Sekadar Simbolik
Kembali ke UUD 1945 bukan hanya tentang format hukum. Ini soal menghidupkan kembali semangat kedaulatan bangsa. Nasionalisasi bank sentral adalah langkah konkret, sistemik, dan simbolik sekaligus. Inilah jalan pembebasan ekonomi yang harus ditempuh jika kita serius ingin membangun Indonesia yang adil, mandiri, dan berdaulat.
Biarlah kebijakan moneter kembali menjadi alat negara, bukan alat pasar. Karena uang rakyat, harus kembali untuk rakyat.
“Indonesia merdeka bukan untuk jadi pelayan modal global, tapi tuan rumah di tanah sendiri”.
*Penulis adalah penggiat literasi dari Republikein StudieClub