Berita

Ilustrasi/Ist

Hukum

Pakar Hukum Sebut Perubahan KUHAP Penting, Ini Alasannya

MINGGU, 20 APRIL 2025 | 00:59 WIB | LAPORAN: ADITYO NUGROHO

Perubahan Kitab Hukum Acara Pidana (KUHAP) di Indonesia sudah selayaknya dilakukan. Pasalnya, KUHAP yang ada sudah tidak relevan mengingat sudah hampir setengah abad digunakan.

"Pembahasan Rancangan Undang-undang (RUU) KUHAP oleh Komisi III  DPR memang sudah selayaknya dilakukan terutama untuk merevisi atas hukum pidana formil setelah setengah abad kita gunakan. Karena ada banyak problematika serius, seperti adanya praktik intimidasi dalam proses penyelidikan, penyidikan hingga proses peradilan hingga  perlakuan diskriminatif oleh aparat penegak hukum," ujar Ketua Umum Persatuan Doktor Pascasarjana Hukum Indonesia (PEDPHI), Prof. Dr. H. Abdul Chair Ramadhan, S.H., M.H dalam keterangannya, Sabtu, 19 April 2025.

Lanjut dia, pembahasan RUU KUHAP yang baru dipandang cukup relevan dilakukan karena adanya urgensitas bagi kepentingan perlindungan hukum terhadap tersangka dan terdakwa. 


"Sejatinya, hukum pidana formil dimaksudkan tak hanya memastikan orang yang bersalah dihukum, namun juga harus melindungi orang yang tidak bersalah dari ancaman hukuman,” jelasnya.

Di sisi lain, tambah Abdul Chair Ramadhan, hukum pidana formil juga harus mampu mengoptimalkan sistem peradilan pidana terpadu (integrated criminal justice system). Keadilan prosedural dan keadilan substansial harus dapat dijelmakan dalam setiap jenjang proses hukum. 

"Dua keadilan tersebut adalah pilar bagi kepastian hukum. Tak dapat dikatakan ada kepastian hukum, jika tidak ada keadilan prosedural dan keadilan substansial. Dengan demikian RUU KUHAP menekankan pada pelaksanaan penerapan hukum pidana secara terarah dengan parameter yang jelas dan tegas. Peranan kontrol juga jadi bagian penting dalam RUU KUHAP," beber dia.

Ia menyatakan ada titik taut antara penyelidikan dan penyidikan dengan penuntutan, dimana pertalian tersebut tak dapat dipisahkan. 

"Dalam RUU KUHAP ini sudah ada usaha mengantisipasi adanya  rekayasa dalam pemenuhan alat bukti dan dengan unsur-unsur delik yang disesuaikan. Padahal,  selama ini hak-hak tersangka sangat minimalis, namun kini hak-hak para tersangka  telah diatur dengan terperinci seperti hak mendapatkan pendampingan dari advokat sejak awal pemeriksaan, termasuk adanya rekaman pemeriksaan untuk kepentingan keterbukaan (transparansi), dan juga hak untuk mengakses berkas-berkas pemeriksaan. Dengan adanya aturan demikian, maka proses penyidikan guna membuat terang perkara pidana dan pemenuhan unsur-unsur tindak pidana yang disangkakan dapat dinilai sejak dini," tegasnya.

Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam AS-SYAFIIYAH ini menyatakan peranan advokat juga lebih aktif. RUU KUHAP juga memberikan hak bagi advokat mengajukan keberatan atas penahanan tersangka yang jadi kliennya, selain melakukan permohonan praperadilan.

"Dalam RUU KUHAP ini juga diatur tentang dimungkinkannya peralihan status tersangka menjadi “saksi mahkota” untuk mengungkap keterlibatan pelaku lain. Kepastian kedudukan saksi mahkota ini sangat penting dan strategis guna mengungkap delik penyertaan yang memang cukup sulit dalam pembuktiannya sehingga bisa  ditentukan siapa yang jadi pelaku (pleger), siapa yang menyuruh (doenpleger), turut serta (medepleger), dan penganjur (uitloker) termasuk memastikan adanya kehendak dalam kesengajaan ganda (double opzet) dan permufakatan jahat (dolus premeditatus). Jadi, peranan saksi mahkota dalam mengungkap tindak pidana demikian diperlukan," paparnya.

Ia menyatakan jika selama ini ada kecenderungan tindakan penahanan sangat subjektif dan  berpotensi untuk diselewengkan.  Dalam RUU KUHAP baru terdapat parameter yang jelas. Ketentuan tersebut terdapat dalam Pasal 93 Ayat (5), yakni dengan melihat kondisi-kondisi tertentu seperti: mengabaikan panggilan penyidik sebanyak 2 (dua) kali berturut-turut tanpa alasan yang sah; memberikan informasi tidak sesuai fakta pada saat pemeriksaan; tidak bekerjasama dalam pemeriksaan; menghambat proses pemeriksaan; dan mempengaruhi saksi untuk tidak mengatakan kejadian sebenarnya.

"Maka RUU KUHAP ini sengaja dirancang guna memastikan bekerjanya hukum pidana materil yang berkepastian hukum, berkeadilan dan mampu menghadirkan kemanfaatan. Jadi, peranan dari hukum pada ujungnya adalah kemanfaatan bagi kepentingan hukum itu sendiri.  Dalam kaitan ini, RUU KUHAP telah mengakomodir kepentingan hukum dimaksud, utamanya bagi kepentingan hukum individu dalam hal penyelesaian perkara dengan jalan pemulihan guna perdamaian," jelasnya lagi.

Penyelesaian perkara pidana berdasarkan keadilan restoratif (restorative justice) juga diatur dalam RUU KUHAP baru ini. Jika selama ini restorative justice hanya dilakukan saat penyidikan, kini pengaturan keadilan restoratif tak lagi diatur secara parsial dalam peraturan masing-masing lembaga penegak hukum di setiap jenjang peradilan pidana. 

“Kehadiran penyelesaian perkara dengan adanya pemulihan jadi dasar keberlakuan keadilan restoratif sejalan dengan prinsip ultimum remedium. Penggunaan sanksi pidana seharusnya jadi ‘langkah terakhir’ (last resort)," ungkapnya.

"Dengan adanya perdamaian melalui keadilan restoratif dalam KUHAP yang baru, maka perdamaian tersebut menghilangkan kesalahan sebagai unsur subjektif. Perbuatan memang ada, namun dengan adanya perdamaian melalui keadilan restoratif, pelaku tidak dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana," tambah dia.

Abdul Chair Ramadhan juga mempertanyakan soal usulan Hakim Pemeriksa Pendahuluan (HPP) untuk menggantikan praperadilan. 

"Keberadaan HPP dalam sistem peradilan pidana terpadu patut dipertanyakan karena justru akan menimbulkan ketidakpastian hukum. Sebagai contoh, untuk menentukan sah atau tidaknya penetapan status tersangka dan tindakan penyidik seperti penahanan, penyitaan dan lain sebagainya, jika harus ditentukan oleh HPP, maka itu bertentangan dengan prinsip diferensiasi fungsional dalam melaksanakan fungsi dan kewenangan. 

Di sisi lain, paradigma pemenuhan unsur-unsur delik oleh penyidik adalah berbeda dengan paradigma pembuktian yang dilakukan oleh hakim saat proses persidangan. Oleh karena itu, keberadaan HPP dalam sistem peradilan pidana terpadu bertentangan dengan aksiologi hukum yang kita anut, yakni “kepastian hukum yang adil”. 

Kehadiran HPP dengan kewenangan tersebut adalah memberikan kewenangan yang tidak proporsional. Padahal, masing-masing instansi dalam struktur hukum telah dibedakan dan termasuk masing-masingnya memiliki fungsi dan kewenangan tersendiri. Prinsip diferensiasi fungsional pada dasarnya adalah membedakan dan bukan mengkompromikan, apalagi salah satunya (in casu HPP) dapat menegasikan fungsi dan kewenangan lembaga lain (in casu penyidik).

Secara teknis memasukkan HPP dalam RUU KUHAP sebagaimana dimaksudkan tidak dapat diaplikasikan. Selain usulan dimaksud hanyalah memindahkan masalah, bahkan akan menimbulkan masalah baru.

"Dalam penilaian status tersangka dan tindakan penahanan, bukanlah persoalan siapa yang paling berhak menentukan, akan tetapi kejelasan dan pengetatan persyaratan jadi hal utama. Jadi bukan dilihat siapa aktor penegak hukumnya, akan tetapi bagaimana sistem dan mekanisme pada institusi penegak hukum masing-masing," paparnya lagi. 

"Jika, HPP masuk ke hulu penegakan hukum dengan wewenang menilai atas fungsi dan kewenangan penyidikan tersebut, maka seakan ‘menyamakan sesuatu yang berbeda’. Tindakan penyamaan terhadap sesuatu yang berbeda adalah tidak adil dan sekaligus tidak benar. Perlu ditekankan, bahwa pembaharuan hukum yang tidak sejalan dengan asas/prinsip hukum akan melahirkan konflik norma (antinomy) yang dampaknya jauh lebih besar daripada penerapan hukum akibat adanya pemahaman teks hukum yang multitafsir. Kemudharatan yang terjadi juga lebih besar ketimbang kemaslahatan yang ingin diperoleh, jika HPP diterima dalam RUU KUHAP. Oleh karena itu, hendaknya kita mencermati dalil dalam kaidah fiqih, 'dar’ul mafasid muqaddamun `ala jalbil mashalih', bahwa mencegah mudharat lebih baik daripada mendapatkan maslahat," tutupnya.

Populer

Mantan Jubir KPK Tessa Mahardhika Lolos Tiga Besar Calon Direktur Penyelidikan KPK

Rabu, 24 Desember 2025 | 07:26

Mantan Wamenaker Noel Ebenezer Rayakan Natal Bersama Istri di Rutan KPK

Kamis, 25 Desember 2025 | 15:01

Camat Madiun Minta Maaf Usai Bubarkan Bedah Buku ‘Reset Indonesia’

Selasa, 23 Desember 2025 | 04:16

Sarjan Diduga Terima Proyek Ratusan Miliar dari Bupati Bekasi Sebelum Ade Kuswara

Jumat, 26 Desember 2025 | 14:06

Adik Kakak di Bekasi Ketiban Rezeki OTT KPK

Senin, 22 Desember 2025 | 17:57

8 Jenderal TNI AD Pensiun Jelang Pergantian Tahun 2026, Ini Daftarnya

Rabu, 24 Desember 2025 | 21:17

Ketika Kebenaran Nasib Buruh Migran Dianggap Ancaman

Sabtu, 20 Desember 2025 | 12:33

UPDATE

Investigasi Kecelakaan Jeju Air Mandek, Keluarga Korban Geram ? ?

Sabtu, 27 Desember 2025 | 17:52

Legislator Nasdem Dukung Pengembalian Dana Korupsi untuk Kesejahteraan Rakyat

Sabtu, 27 Desember 2025 | 17:43

Ledakan Masjid di Suriah Tuai Kecaman PBB

Sabtu, 27 Desember 2025 | 16:32

Presiden Partai Buruh: Tidak Mungkin Biaya Hidup Jakarta Lebih Rendah dari Karawang

Sabtu, 27 Desember 2025 | 16:13

Dunia Usaha Diharapkan Terapkan Upah Sesuai Produktivitas

Sabtu, 27 Desember 2025 | 15:26

Rehabilitasi Hutan: Strategi Mitigasi Bencana di Sumatera dan Wilayah Lain

Sabtu, 27 Desember 2025 | 15:07

Pergub dan Perda APBD DKI 2026 Disahkan, Ini Alokasinya

Sabtu, 27 Desember 2025 | 14:52

Gebrakan Sony-Honda: Ciptakan Mobil untuk Main PlayStation

Sabtu, 27 Desember 2025 | 14:24

Kebijakan Purbaya Tak Jauh Beda dengan Sri Mulyani, Reshuffle Menkeu Hanya Ganti Figur

Sabtu, 27 Desember 2025 | 14:07

PAN Dorong Perlindungan dan Kesejahteraan Tenaga Administratif Sekolah

Sabtu, 27 Desember 2025 | 13:41

Selengkapnya