Presiden Amerika Serikat Donald Trump/Net
Kebijakan tarif tinggi yang diumumkan Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, dinilai membawa dampak geopolitik yang besar, terutama bagi negara-negara berkembang atau Global South.
Namun, alih-alih dianggap sebagai ancaman, langkah agresif Trump ini justru dinilai dapat menjadi momentum kebangkitan kemandirian nasional negara-negara di selatan global, termasuk Indonesia.
Hal ini disampaikan oleh pengamat geopolitik dan Direktur Eksekutif Global Future Institute, Hendrajit kepada RMOL pada Senin, 7 April 2025.
Menurutnya kebijakan tarif Trump harusnya menyadarkan Global South untuk bisa lebih mandiri membangun kerja sama lebih luas dengan negara lain dan mengurangi ketergantungannya dari AS.
"Indonesia dan negara negara berkembang lainnya yang tergabung Global South sudah saatnya memandang krisis ekonomi global yang dipicu ulah Trump ini sebagai momentum membangkitkan kembali kemandirian nasional negara-negara Global South," paparnya.
Ia mengapresiasi langkah pemerintahan Indonesia di bawah Presiden Prabowo Subianto yang memilih jalur diplomasi dibanding langkah retaliasi.
Menurutnya respons yang lebih mandiri dan berorientasi pada penguatan dalam negeri seperti yang dilakukan Prabowo sudah tepat.
“Langkah Prabowo sudah tepat, bertumpu pada strategi memperluas jangkauan kemitraan dagang yang tidak tergantung pada AS. Ini menciptakan diversifikasi pasar, dan kalau konsisten diterapkan dalam kebijakan luar negeri bebas aktif, maka ini bentuk perlawanan prinsipil terhadap pakem Trump yang anti-multilateral,” jelasnya.
Selain itu, strategi hilirisasi sumber daya alam yang menjadi prioritas pemerintahan Prabowo juga dipandang sebagai pukulan telak terhadap kepentingan korporasi global, khususnya yang berbasis di AS.
“Kita ekspor bahan jadi, bukan bahan mentah. Ini melawan skema kepentingan korporasi global AS, terutama di sektor mineral, batubara, dan rare-earth seperti nikel,” ujar Hendrajit.
Ia menambahkan bahwa keberadaan delegasi Indonesia yang dipimpin KADIN di Washington menjadi ujian penting dalam menerjemahkan strategi tersebut ke panggung diplomasi internasional.
Namun, Hendrajit mengingatkan bahwa keberhasilan langkah strategis ini sangat bergantung pada kualitas para diplomat dan birokrat di kementerian luar negeri dan lembaga terkait.
“Repotnya, para diplomat kita sering memandang diplomasi sebagai aktivitas humas, bukan sebagai perang di ranah non-militer. Ini sisi rawan kita, apalagi menghadapi gaya kepemimpinan Trump yang non-konvensional,” kata dia.
Tak hanya dari sisi luar negeri, ia juga menyoroti strategi dalam negeri yang tengah dijalankan Prabowo, seperti program makan gratis dan penguatan koperasi, sebagai langkah penting untuk menjaga daya beli dan ketahanan ekonomi masyarakat bawah.
“Skema ini dijalankan pada momentum yang pas. Di saat kapitalisme liberal mulai mengalami komplikasi, pembangunan berbasis pedesaan kembali jadi relevan," tandasnya.