Berita

Ilustrasi (AI/AT)

Publika

Aroma Sedap Dwifungsi TNI

KAMIS, 13 MARET 2025 | 12:37 WIB | OLEH: AHMADIE THAHA

AH, Indonesia. Negeri yang reformasinya seperti diet —niatnya sih langsing, tapi akhirnya kembali melar juga. Dulu, rakyat berteriak menolak dwifungsi ABRI. Mahasiswa turun ke jalan, aktivis dipopor senapan, dan banyak yang tubuhnya lebih akrab dengan sepatu lars ketimbang kasur.

Setelah perjuangan berdarah-darah, akhirnya, pada era Presiden Abdurrahman Wahid, dwifungsi ABRI resmi dihapuskan. Militer kembali ke barak, dan demokrasi pun berusaha tumbuh. Namun, demokrasi di negeri ini ibarat tanaman hias yang sering lupa disiram. Lama-lama demokrasi makin layu.

Kini, kita mendengar rencana perubahan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI. Isinya? TNI bisa duduk di 15 kementerian dan lembaga strategis. Alasannya? Agar TNI tetap relevan dan bisa berkontribusi dalam urusan sipil. Tapi benarkah ini demi kebaikan negara, atau sekadar strategi klasik “beri sedikit, ambil banyak”?

Sepanjang sejarah, banyak negara yang membiarkan militer masuk ke pemerintahan. Hasilnya, seperti yang bisa ditebak, demokrasi melemah, kebijakan publik diwarnai pendekatan komando, dan pada akhirnya, suara rakyat menjadi gema yang makin sayup terdengar, ditendang jauh dengan sepatu lars.

Lihatlah Myanmar setelah kudeta militer 2021, di mana ketakutan menjadi mata uang sehari-hari. Atau Mesir setelah kudeta 2013, di mana demokrasi hanya tinggal kenangan sejarah. Pakistan juga bisa menjadi cermin, di mana pemimpin sipil datang dan pergi, tapi para jenderal tetap bercokol, mengendalikan kekuasaan dari balik layar.

Lalu, bagaimana dengan Indonesia? Presiden Prabowo Subianto kabarnya meminta aparat TNI boleh menjabat di 15 lokasi. Mari kita bahas ke-15 kementerian dan lembaga yang konon katanya paling cocok diisi oleh prajurit — yang sudah mundur, atau tepatnya tidak diaktifkan setelah ditunjuk atau direkayasa lebih dulu.

Jika dicermati, pola yang muncul begitu menarik, seperti sebuah cocokologi yang dipaksakan. Oke, mungkin untuk Menko Polhukam, Kementerian Pertahanan, Badan Intelijen, dan Sandi Negara, peran militer masih bisa dimaklumi.

Tapi, bagaimana dengan lembaga yang mengurus masalah hukum dan peradilan seperti Kejaksaan Agung dan Mahkamah Agung? Apakah pejabat militer yang terbiasa tunduk pada hierarki bisa menjalankan peradilan yang independen?

Bagaimana pula dengan Kementerian Kelautan dan Perikanan? Apakah ini pertanda bahwa militer akan turun langsung menangkap nelayan ilegal, atau justru sekadar memastikan pasokan ikan asin di markas besar tetap terjaga?

Anehnya, tidak ada kementerian atau lembaga yang berhubungan langsung dengan pelayanan publik yang lebih luas. Tidak ada Kementerian Kesehatan yang dimasukkan ke daftar 15, padahal prajurit TNI sering melakukan operasi kesehatan di daerah terpencil.

Tidak ada Kementerian Pendidikan, meskipun baris-berbaris dan kedisiplinan bisa menjadi bagian dari pembinaan karakter. Penunjukan ke-15 kementerian ini terasa tidak lebih dari akal-akalan untuk menghidupkan kembali dwifungsi dalam bentuk yang lebih halus.

Militer dan pemerintahan sipil adalah dua entitas yang sangat berbeda. Militer dibangun di atas prinsip hierarki yang ketat, kepatuhan absolut, dan disiplin tanpa banyak ruang untuk perdebatan. Pemerintahan sipil, sebaliknya, harus dijalankan dengan transparansi, akuntabilitas, dan diskusi terbuka.

Ketika militer mulai masuk ke ranah sipil, proses pengambilan keputusan berisiko menjadi kaku, tidak demokratis, dan lebih mengandalkan perintah daripada dialog.

Bayangkan seorang pejabat sipil yang harus berdebat dengan seorang jenderal dalam rapat kabinet. Akankah dia berani menyuarakan pendapatnya, atau justru lebih memilih diam daripada berisiko melawan senioritas yang tertanam dalam budaya militer?

Jika revisi UU ini disahkan, kita bisa membayangkan skenario di mana suatu hari nanti bukan hanya 15 kementerian yang mereka kuasai, tetapi lebih banyak lagi. Ajaran militer itu sederhana: bertahan, melawan, dan menguasai.

Mungkin kelak kita akan terbangun dan melihat seorang kolonel memimpin Kementerian Pariwisata, atau seorang jenderal mengurusi ekonomi digital. Pada saat itu, kita hanya bisa bertanya, “Lho, kok bisa?” —tapi semuanya sudah terlambat, jika kita tak peduli dari sekarang.


*Penulis adalah Pemerhati Kebangsaan, Pengasuh Pondok Pesantren Tadabbur Al-Qur'an



Populer

Duit Sitaan Korupsi di Kejagung Tak Pernah Utuh Kembali ke Rakyat

Senin, 10 Maret 2025 | 12:58

Menag Masih Pelajari Kasus Pelarangan Ibadah di Bandung

Senin, 10 Maret 2025 | 20:00

Polda Metro Didesak Segera Periksa Pemilik MNC Asia Holding Hary Tanoe

Minggu, 09 Maret 2025 | 18:30

Digugat CMNP, Hary Tanoe dan MNC Holding Terancam Bangkrut?

Selasa, 04 Maret 2025 | 01:51

Nyanyian Riza Chalid Penting Mengungkap Pejabat Serakah

Minggu, 09 Maret 2025 | 20:58

CMNP Minta Pengadilan Sita Jaminan Harta Hary Tanoe

Selasa, 04 Maret 2025 | 03:55

Usia Pensiun TNI Bakal Diperpanjang, Ketum PEPABRI: Kalau 58 Tahun Kan Masih Lucu-Lucunya

Senin, 10 Maret 2025 | 19:58

UPDATE

Soal Olok-olok Partai Gelora, MKD Sudah Periksa Pelapor Mardani

Jumat, 14 Maret 2025 | 05:38

Ronaldo Mundur dari Pencalonan Presiden CBF, Ini Alasannya

Jumat, 14 Maret 2025 | 05:20

12.104 Personel dan 167 Pos Disiapkan Polda Sumut untuk Pengamanan Idulfitri

Jumat, 14 Maret 2025 | 04:59

Soal Penggeledahan Kantor bank bjb, Dedi Mulyadi: Ini Hikmah untuk Berbenah

Jumat, 14 Maret 2025 | 04:46

Redam Keresahan Masyarakat Soal MinyaKita, Polres Tegal Lakukan Sidak

Jumat, 14 Maret 2025 | 04:35

Polemik Pendaftaran Cabup Pengganti, Ini yang Dilakukan KPU Pesawaran

Jumat, 14 Maret 2025 | 04:17

PHK Jelang Lebaran Modus Perusahaan Curang Hindari THR

Jumat, 14 Maret 2025 | 03:59

Dapat Tawaran Main di Luar Negeri, Shafira Ika Pilih Fokus Bela Garuda

Jumat, 14 Maret 2025 | 03:39

Mendagri Soroti Jalan Rusak dan Begal saat Rakor Kesiapan Lebaran di Lampung

Jumat, 14 Maret 2025 | 03:26

Siapkan Bantuan Hukum, Golkar Jabar Masih Sulit Komunikasi dengan Ridwan Kamil

Jumat, 14 Maret 2025 | 02:33

Selengkapnya