Berita

Ilustrasi/Ist

Publika

Raja Adil: Disembah atau Disanggah?

RABU, 12 MARET 2025 | 12:45 WIB | OLEH: JIMMY H SIAHAAN

PUTRA Mahkota Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat, KGPAA Hamangkunegoro, baru-baru ini menjadi sorotan publik setelah mengunggah pernyataan kontroversial di Instagram Story.

Dalam unggahannya, ia menulis kalimat penyesalan telah bergabung ke Republik Indonesia.

"Nyesel gabung Republik," demikian unggahan tersebut.

KGPAA Hamangkunegoro juga melemparkan kalimat sindiran, "Percuma Republik Kalau Cuma Untuk Membohongi."

Unggahan tersebut bahkan dibubuhi tulisan tanda pagar (tagar) #IndonesiaGelap.

Elite kekuasaan Indonesia masa kini seringkali tidak sadar bahwa kekuasaan ada batasnya. Jika waktu berkuasa sudah habis, maka sepatutnya hidup tenang menikmati masa pensiun.

Ratusan tahun lalu para Raja Jawa sudah memberikan teladan baik, bagaimana kekuasaan tak perlu dipertahankan berlebih. 

Salah satunya adalah kisah Raja Jawa dari Kadipaten Mangkunegaran, Solo, yakni Mangkunegara VI yang tak ingin ngotot mempertahankan kekuasaan, menikmati pensiun sebagai raja dan menjauhi urusan politik kerajaan. 

Bagaimana Kisahnya? 

Sebagai wawasan, pria bernama asli Suyitno ini naik tahta pada 1896. Dia mewarisi kekacauan ekonomi yang terjadi di era raja-raja sebelumnya. Bahkan, Kadipaten Mangkunegaran nyaris bangkrut akibat kegagalan pengelolaan.

Berbagai persoalan ini, membuat Mangkunegara VI melakukan reformasi. Sejarawan Wasino dalam Kapitalisme Bumiputra (2008) menceritakan, dia menolak hidup mewah, melakukan penghematan hingga sukses menggenjot bisnis gula. Akibatnya, kas kerajaan bertambah, sehingga rakyat sejahtera.

Atas dasar ini, Mangkunegara VI sangat dicintai rakyat. Meski pada sisi lain, tak sedikit para bangsawan yang membencinya. Sebab bangsawan tidak bisa lagi hidup mewah dan boros. 

Di tengah himpitan pro-kontra itu, posisi Mangkunegara VI semakin terdesak usai ada petisi dari keturunan Mangkunegara V (bertahta, 1881-1886) terkait orang yang cocok meneruskan kekuasaan. 

Perlu diketahui, Mangkunegara VI bukan anak Mangkunegara V, melainkan hanya saudara. Atas dasar ini, para keturunan Mangkunegara V ingin Raden Mas Suryosuparto menjadi raja karena dianggap keturunan langsung Mangkunegara V. Sementara, pada saat bersamaan, Mangkunegara VI juga ingin anaknya, Suyono, meneruskan kekuasaan. 

Di tengah friksi politik demikian, Mangkunegara VI akhirnya mengalah sebab tak perlu mempertahankan kekuasaan demi anak secara berlebihan. Dia memutuskan mengambil langkah di luar tradisi: berhenti di tengah jalan setelah 13 tahun berkuasa. Keputusan ini menjadikannya sebagai raja pertama yang mengakhiri tahta bukan karena meninggal. 

"Mangkunegara VI akhirnya mengajukan surat pengunduran diri ke pemerintah kolonial di tahun 1912. Kepastian balasan surat ini baru datang pada tahun 1914 dan akhirnya dikabulkan pada 22 Oktober 1916," tulis tim penulis buku biografi Mangkunegara VI: Sang Reformis (2021). 

Setelah resmi lengser, gelar Mangkunegara VI pun tak lagi dipakai. Publik lantas menyebutnya sebagai Suyitno. Kekuasaan lalu diteruskan oleh Suryosuparto yang diangkat sebagai Mangkunegara VII (bertahta, 1916-1944).

Usai tak berkuasa, Suyitno bisa saja tinggal di keraton. Namun, dia memilih untuk pindah ke Surabaya. Dia keluar dari keraton dan menjauhi hiruk-pikuk politik kerajaan. Singkatnya, dia tak mau cawe-cawe atau ikut campur lagi apapun yang terjadi di bekas tempat dia berkuasa. 

Menurut tim penulis Mangkunegara VI: Sang Reformis (2021), keputusan pindah ke Surabaya untuk menghindari konflik kekuasaan di Praja Mangkunegaran. 

"Friksi yang sudah terlanjur muncul dalam suksesi sudah cukup membuat hubungan keturunan Mangkunegara V dan Mangkunegara VI menjadi buruk. Suyitno tak ingin dianggap menjadi bayang-bayang untuk sang raja baru," ungkap tim penulis. 

Ketika keluar dari Solo, Suyitno diantar oleh warga yang mencintainya. Di Surabaya, dia lantas hidup tenang di rumah yang sudah dibeli beberapa tahun sebelumnya. Selain itu, Raja Jawa ini juga berdagang untuk mencukupi keluarga.

Suyitno berada di Surabaya selama 12 tahun sebelum akhirnya wafat pada 1928 karena sakit. Ketika wafat, jenazahnya dibawa ke Solo untuk dikuburkan di Keraton Surakarta.

Meski sudah tiada 96 tahun lalu, rentang waktu tersebut tak terlampau jauh, sehingga seharusnya masih membekas di benak pikiran orang, khususnya para elite kekuasaan Indonesia.

Sebuah judul "Tahta untuk Rakyat" celah-celah Kehidupan Sultan Hamengku Buwono IX, adalah buku biografi pribadi Sultan HB 9, yang dihimpun oleh Mohamad Roem, Mochtar Lubis, dkk. dan disunting oleh Atmakusumah.  Buku terbitan Gramedia (1982) ini, 

Melalui buku ini, kita akan mengetahui cerita-cerita tentang pribadi Sultan HB 9 yang mungkin sebelumnya hanya kita anggap sebagai mitos. Tak pelak, buku ini semakin menambah kekaguman kepada pribadi Sultan HB 9.

Buku ini tidak hanya mengisahkan seluruh perjalanan kehidupan Sultan Yogya IX, sejak dilahirkan di Keraton, berjuang pada zaman kolonial Belanda, masa pendudukan Jepang, perang kemerdekaan, Orde Lama, Orde Baru sampai kemudian dimakamkan di perbukitan Imogiri, pantai Selatan Pulau Jawa.

Buku inI penting untuk bisa memahami, mengapa warga masyarakat Yogyakarta yang selembut kain sutra berubah menjadi sekeras batu karang jika mereka merasa dipaksa dan ditekan. Bagaimanapun, kekuasaan tradisional dengan legitimasi dari falsafah leluhur sarat mistik merupakan sebuah mata air perjuangan yang tidak pernah akan kering.

Enam Pesan

Pertama, kesahajaan dan kesederhanaan seorang pemimpin yang tanpa pamrih kekuasaan. Kedua, desakralisasi kepemimpinan seorang Sultan. Ketiga, komitmen seorang Pemimpin-Peneladan bagi rakyat yang dipimpinnya. 

Keempat, kepemimpinan transformasional dan agent of change yang berani mendobrak tradisi untuk mendorong kemajuan pendidikan, ketika mengizinkan bangunan Keraton untuk kuliah mahasiswa UGM di masa-masa awal kelahirannya.

Hal ini terucap dalam pidato penobatan Beliau sebagai Sri Sultan Hamengku Buwono IX: “ …maka selama tidak menghambat kemadjoean, adat akan tetap mendoedoeki tempat jang oetama dalam Keraton jang kaja akan tradisi ini”.

Kelima, meski sejak berusia 4 tahun hidup di tengah-tengah keluarga Belanda, Mulder namanya, sehingga diberi nama sebutan Henkie, dan belajar di negeri Belanda, Beliau tidak kehilangan jatidiri, seperti dikutip dari bagian lain pidato penobatan tersebut: “Walaoepoen saja telah mengenjam pendidikan Barat jang sebenarnja, tetapi pertama-tama, saja adalah, dan tetap, orang Djawa”.

Dalam konteks situasional saat itu, pernyataan ini menggambarkan sikap nasionalisme budaya progresif, yang membuat Belanda sempat tercengang. Sebab tiada sepatah kata pun berjanji setia pada Negeri apalagi tunduk, bahkan akan bekerja keras untuk yang disebutnya Nusa dan Bangsa.

Keenam, menunjukkan jiwa-semangat kebangsaan yang total, yang diamanatkan pada bagian akhir pidato tersebut jauh-jauh hari sebelum Proklamasi, pada saat penobatan 18 Maret 1940, yang menegaskan: “Izinkanlah saja mengakhiri pidato saja ini dengan berdjandji, semoga saja dapat bekerdja oentoek memenoehi kepentingan Noesa dan Bangsa, sebatas pengetahoean dan kemampoean jang ada pada saja”.

Sejarah kemudian mencatat, ternyata pidato itu memiliki dimensi jauh ke depan, tidak hanya sekadar: ‘sebatas pengetahuan dan kemampuan’ yang ada pada Almarhum. Berbeda dengan ‘janji Pemilu’, tetapi lebih dari apa yang dijanjikan, dibuktikannya dengan tindakan nyata di saat-saat genting sekitar Proklamasi dan di masa Revolusi fisik.

Kota Republik

Ketika eksistensi Republik tidak menentu karena kembalinya Belanda dengan kedok NICA membonceng kehadiran Sekutu di Jakarta, Beliau mengundang Soekarno-Hatta beserta Kabinetnya untuk memindahkan Ibukota ke Yogyakarta. Padahal sesungguhnya Almarhum belum mengenal Bung Karno secara pribadi, namun mungkin secara imajiner sudah “bertemu” dalam visi keIndonesiaan yang sama. Pada waktu itu Yogyakarta adalah negeri yang berdaulat, dan diakui Belanda. 

Peristiwa bersejarah itu, kemudian kita kenal dengan ‘Yogyakarta Kota Republik’, ketika Bung Karno tiba di stasiun Toegoe dijemput secara pribadi oleh Almarhum pada 4 Januari 1946. Dengan melihat diorama ‘Hijrahnya Ibukota dari Jakarta ke Yogyakarta’ di Museum Sejarah, Benteng Vredeburg, kita bisa mendalami makna sejarah, bahwa dari kota inilah tonggak awal pergulatan kita sebagai bangsa yang mencita-citakan kemerdekaan dipancangkan. 

Kemudian sejarah mencatat dengan tinta emas, bahwa ‘Yogyakarta Memang Istimewa’, karena senyatanya menjadi penyangga Republik yang masih muda itu.

Hal ini dideklarasikan dengan Maklumat 5 September 1945, yang menyatakan Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat menjadi bagian dari Republik Indonesia, yang kemudian dijawab oleh Presiden Soekarno dengan Piagam Penetapan pada 6 September 1945. Piagam itu berisi pengakuan kedudukan Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Paku Alam VIII serta menetapkan Yogyakarta sebagai Daerah Istimewa sekaligus memberikan kekuasaan pemerintahan kepada Beliau berdua langsung di bawah Presiden.

Dan jangan lupa, pengakuan keIstimewaan Yogyakarta ini sudah berjalan lebih dari 80 tahun hingga sekarang! Bahkan, ketika zaman Belanda dan Jepang pun kedua negara penjajah itu tetap mengakui kedaulatan Kraton Yogyakarta dan tidak pernah berani memasuki wilayah kedaulatannya itu.

Sesungguhnya jejak sejarah ‘Proklamasi 17 Agustus 1945’, harus dikaitkan dengan mata rantai peristiwa-peristiwa bersejarah sesudahnya, yakni ‘Amanat 5 September 1945’, ‘Serangan Oemoem 1 Maret 1949’, dan ‘Yogya Kembali 29 Juni 1949’ beserta peristiwa-peristiwa bersejarah lainnya, yang kesemuanya itu berlangsung di Yogyakarta. Dalam desertasi ilmiahnya, sejarawan Prof Dr P.J. Suwarno SH menyatakan, Amanat 5 September 1945 itu dapat disebut ‘Proklamasi Kemerdekaan Yogyakarta’ dari penjajahan Jepang.

Kata-katanya dinilai berani, sangat radikal dan berisiko, karena kekuasaan pemerintahan langsung dinyatakan diambil secara penuh oleh Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Paku Alam VIII. Padahal Jepang masih menduduki pos-pos pemerintahan dengan dukungan kekuatan militer yang kuat dan bersenjata lengkap di Pingit, Kotabaru dan Maguwo, yang harus direbut dengan Pertempuran Kotabaruî yang heroik itu. Pada saat itu lalu diikuti dengan pengibaran bendera merah putih di rumah-rumah penduduk dan bangunan milik Kasultanan dan Paku Alaman. Dan akhirnya penyerahan kekuasaan Jepang di Yogyakarta langsung kepada Sri Sultan Hamengku Buwono IX, bukan kepada TNI.

Proklamasi Kedua

Sejak menjadi Ibukota RI, sampai bangsa Indonesia diakui oleh negara luar, ketika Republik Indonesia Serikat berdiri sebagai hasil KMB, hingga saat penyerahan kedaulatan RI, 29 Juni 1949, Yogyakarta tetap menjadi Ibukota RI dan konsisten berjuang di jantung Republik. Tekad Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan seluruh rakyat Yogyakarta untuk terus bergabung dengan NKRI tak hanya dibuktikan dengan Maklumat itu saja, tapi komitmennya juga tersurat dalam Proklamasi 30 Juni 1949, yang dikumandangkan oleh Beliau sehari setelah peristiwa ‘Yogya Kembali’ pada 29 Juni 1949.

Menurut sejarawan Prof Djoko Suryo, Proklamasi itu disebutnya Proklamasi Kedua yang bermakna ganda. 

Pertama, proklamasi kepada dunia internasional bahwa NKRI masih tegak berdiri. Sebab sebelumnya kedaulatan RI terkoyak oleh pendudukan Belanda. 

Kedua, penegasan kembali bahwa Sri Sultan Hamengku Buwono IX sebagai representasi rakyat Yogyakarta tetap konsisten mendukung NKRI, ketika kerajaan-kerajaan lain masih bersikap diam dan menunggu. 

Saat itu, Sri Sultan sebagai Menteri Negara Koordinator Keamanan, bertindak untuk dan atas nama Presiden serta bertugas menjadi penjaga gawang Ibukota Republik di Yogyakarta. Soekarno-Hatta saat itu masih menyingkir ke Bukittinggi, dan baru tiba kembali ke Yogya pada 6 Juli 1949.

Serangan Oemoem 1 Maret 1949 mengisyaratkan NKRI de facto masih eksis, tetapi Proklamasi Kedua ini merupakan titik kulminasi perjuangan fisik yang dituangkan dalam pernyataan politik, bahwa NKRI de jure tetap berdaulat. Sehingga dengan demikian kedaulatan NKRI, baik secara de facto maupun de jure, lewat Proklamasi ini dikumandangkan agar memperoleh pengakuan dunia internasional. Baru pada 17 Agustus 1950, Ibukota kembali ke Jakarta, dan NKRI utuh kembali sebagai negara yang berdaulat sepenuhnya.

Plain Living, High Thinking

“Beliau besar karena kerakyatannya”, kata seorang budayawan memberikan komentar tentang Almarhum. “Sri Sultan IX adalah Raja besar, Gung Binathara”, kata seorang sejarawan. Penerapan konsep ke-agung binatharaan-nya itu dinyatakannya dengan sikap tegas, yang menyurutkan langkah Kolonel Van Langen, sehingga mengurungkan menggeledah masuk ke Kraton. Kata Almarhum waktu itu: “Hanja dengan melangkahi majat saja, Toean dapat masoek ke Kraton”.

Sikap tegas beliau sering muncul begitu saja dengan spontan, justru dalam momen-momen penting yang menentukan.

Sederet kesan, pendapat atau pun komentar, bisa saja disusun orang untuk memenuhi halaman buku. Tidak kurang ada 23 kontributor tulisan tokoh dalam bagian ‘Mengenal Sri Sultan dari Dekat’. Akan tetapi, orang pun terkadang masih tetap bertanya-tanya. Siapakah sebenarnya Beliau itu? Almarhum pertama-tama adalah seorang Raja. Sudah dengan sendirinya Almarhum hidup di tengah-tengah tradisi Jawa yang kuat. Seorang budayawan yang lain menyebut ‘Hamengku Buwono’ dengan: ‘Nama penuh Makna’, karena menyandang misi harus lebih banyak memberi daripada menerima’.

Hidup sederhana, dikenal sebagai ciri Almarhum. Meski demikian, di satu saat terkadang menampilkan keangkeran, ketegasannya, tetapi di saat lain juga kelemah-lembutan, keramahan, kehangatan, dan keakraban. Di kalangan rekan-rekan Almarhum dipanggil Pak Sultan, di kalangan Pramuka dipanggil Kak Sultan. Dan di saat Revolusi lebih senang dipanggil Bung Sultan.

“Beliau bukan politikus, tetapi seorang negarawan”, kata seorang sejarawan yang lain dalam deretan antrean pelayat menuju Bangsal Kencana, menjelang azar. Beliau juga pecinta olahraga, juga seorang pecinta kesenian. Dan semangatnya selalu muda, yang dibuktikannya dengan kedekatannya pada kegiatan Pramuka, sejak awal sejarahnya.

Almarhum pernah berpesan kepada putra-putrinya, bahwa Beliau menolak dikultuskan. Almarhum tidak senang disanjung-sanjung, misalnya dipesankan jangan dijadikan nama jalan atau dibangunkan sebuah monumen. Dan benar, sanjungan, pengkultusan tidak ada gunanya buat Almarhum. Sebab kesederhanaan letak kharismanya. Bahkan juga dipesankan, agar jangan mengungkit kembali sumbangan Kraton kepada Republik. 

Dalam hal ini, Bapak Jusuf Ronodipuro pernah membuat testimoni otentik tentang itu. Ketulusan Beliau adalah titik api kekuatannya. Kerakyatannya menjadi ilham para pemimpin bangsa ini, juga kaum muda di kelak kemudian hari.

Karena sempat mengenyam pendidikan modern, Beliau gampang mengadaptasi diri dengan pandangan-pandangan analitis. Tetapi yang menarik, Almarhum tidak menampakkan diri sebagai pribadi yang terbelah menjadi split personality. Mungkin karena itu, dalam diskusi tentang figur-figur dunia yang diselenggarakan di Oberlin College, Ohio, Amerika Serikat, di awal tahun 1987, seorang Visiting Fullbright Profesor in Humanities dari Indonesia mengatakan, “dalam diri Beliau terdapat kemampuan sintesa yang kuat, justru bersumber dari sikap Beliau yang biasa-biasa saja”.

Dalam diskusi itu, seorang kandidat Doktor dari Indiana University mengatakan, disadari atau tidak, Beliau menerapkan semacam falsafah hidup, plain-living, high-thinking, “hidup sederhana, berpikiran adiluhung”. 

Hal ini diceritakan oleh Frans Seda, sahabat Beliau, kalau Almarhum di luar negeri sering jalan-jalan mengelilingi hotel, di musim dingin tanpa over-coat. Ternyata, Beliau melapisi dadanya dengan lembaran koran, sebagai pelindung angin dan udara dingin. Kesederhanaannya juga dari cara Beliau berbusana. 

Dalam Sidang Umum MPR 1978, menjelang terpilih sebagai Wakil Presiden, para wartawan ‘menemukan’ suatu hal ‘penting’: Beliau ternyata memakai kaus kaki yang longgar, dan agar jangan sampai melorot diberi karet gelang.

Saya rasa, beberapa hal di atas telah cukup memberikan gambaran sosok Sri Sultan Hamengku Buwono IX yang sebenarnya. 

Justru yang penting bagi kita adalah, jangan mewarisi abunya, akan tetapi serap dan nyalakanlah apinya. 

Semangat kepahlawanan dan kepeloporannya, memang patut kita teladani, seperti halnya dengan pengembangan ajaran Asthabrata misalnya, tidak hanya terbatas bagi kepemimpinan seorang Raja, tetapi juga bagi segenap lapisan rakyat. Dan lebih utama lagi, bagi generasi muda penerus bangsa.

Kembali ke #Indonesia Gelap dan Menyesal Ikut Republik, sebuah sanggahan. Demokrasi politik tidak saja memberikan kepemimpinan kepada seorang tokoh istimewa untuk memerintah tetapi memberikan kepemimpinan kepada masyarakat biasa untuk mengawasi. Prinsip "Raja adil raja disembah" tentu tidak berlaku pada saat kini: Raja adil karena disanggah".

*Penulis adalah Eksponen 77/78

Populer

Sesuai Perintah Prabowo, KPK Harus Usut Mafia Bawang Putih

Minggu, 02 Maret 2025 | 17:41

Duit Sitaan Korupsi di Kejagung Tak Pernah Utuh Kembali ke Rakyat

Senin, 10 Maret 2025 | 12:58

Menag Masih Pelajari Kasus Pelarangan Ibadah di Bandung

Senin, 10 Maret 2025 | 20:00

Digugat CMNP, Hary Tanoe dan MNC Holding Terancam Bangkrut?

Selasa, 04 Maret 2025 | 01:51

Polda Metro Didesak Segera Periksa Pemilik MNC Asia Holding Hary Tanoe

Minggu, 09 Maret 2025 | 18:30

Lolos Seleksi TNI AD Secara Gratis, Puluhan Warga Datangi Kodim Banjarnegara

Minggu, 02 Maret 2025 | 05:18

Nyanyian Riza Chalid Penting Mengungkap Pejabat Serakah

Minggu, 09 Maret 2025 | 20:58

UPDATE

Minta Maaf, Dirut Pertamina: Ini Tanggung Jawab Saya

Rabu, 12 Maret 2025 | 13:37

Perempuan Bangsa PKB Bantu Korban Banjir di Bekasi

Rabu, 12 Maret 2025 | 13:33

Perang Tarif Kian Panas, Volkswagen PHK Ribuan Karyawan

Rabu, 12 Maret 2025 | 13:25

Kabar Baik, Paus Fransiskus Tidak Lagi Terkena Serangan Pneumonia Ganda

Rabu, 12 Maret 2025 | 13:23

Pertamina: Harga Avtur Turun, Diskon Pelita Air, Promo Hotel

Rabu, 12 Maret 2025 | 13:23

Rumah Diobok-obok KPK: Apakah Ini Ujung Karier Ridwan Kamil?

Rabu, 12 Maret 2025 | 13:12

Tenaga Ahli Heri Gunawan Hingga Pegawai Bank BJB Dipanggil KPK

Rabu, 12 Maret 2025 | 13:06

KPK: Ridwan Kamil Masih Berstatus Saksi

Rabu, 12 Maret 2025 | 12:47

Raja Adil: Disembah atau Disanggah?

Rabu, 12 Maret 2025 | 12:45

Buntut Efisiensi Trump, Departemen Pendidikan PHK 1.300 Staf

Rabu, 12 Maret 2025 | 12:41

Selengkapnya