Gubernur Jawa Barat (Jabar) Dedi Mulyadi (Demul) membuat gebrakan dengan memerintahkan pembongkaran proyek tempat wisata yang merupakan milik BUMD Jawa Barat, yaitu proyek wisata Hibisc Fantasy Puncak, Bogor.
Proyek wisata tersebut selama ini dikelola oleh PT Jasa dan Kepariwisataan Jawa Barat (Jaswita) dan PT Perkebunan Nusantara VIII (PTPN VIII).
Dedi Mulyadi memastikan bahwa penegakan hukum harus dilakukan karena Hibisc Fantasy Puncak dianggap melakukan pelanggaran izin alih fungsi lahan.
Keberanian Demul mendapat sorotan positif dari Indonesian Audit Watch (IAW).
“Rencana Demul untuk melibatkan audit terhadap seluruh BUMD milik Pemprov Jabar adalah langkah cerdik dan jarang ditemukan," ujar Sekretaris IAW, Iskandar Sitoru, dalam pernyataannya pada Sabtu 8 Maret 2025.
"Dia cerdas menggunakan instrumen yang ada dalam lingkup kewenangannya. Saran kami, Pemprov Jabar terdepan menggunakan kewenangan audit oleh Badan Pemeriksa Keuangan seperti amanat UUD 1945,” lanjutnya.
Menurutnya, dugaan fraud bisa ditemukan melalui audit keuangan negara oleh BPK Perwakilan Jawa Barat.
Kritik Demul yang menyebut PT Jaswita sebagai "boneka" memperkuat dugaan bahwa proyek ini perlu diperiksa secara menyeluruh.
Hibisc Fantasy Puncak dikembangkan di atas lahan PTPN VIII yang berlokasi di Puncak, Bogor. Beberapa permasalahan yang muncul dalam proyek ini meliputi;
1. Pelanggaran perizinan karena proyek ini dibangun di atas 15.000 meter persegi, sementara izin yang diberikan hanya untuk 4.800 meter persegi. Hal ini melanggar Peraturan Daerah Kabupaten Bogor Nomor 4 Tahun 2015 tentang Ketertiban Umum, yang mengatur tata kelola pembangunan di kawasan tersebut.
2. Alih fungsi lahan perkebunan yang diklaim milik PTPN VIII tidak memperoleh izin dari Kementerian Agraria dan Tata Ruang/BPN, sebagaimana diwajibkan dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan.
Penggunaan lahan perkebunan untuk keperluan wisata memerlukan izin resmi untuk memastikan tidak terjadi penyimpangan tata ruang dan peruntukan lahan.
3. Potensi konflik kepentingan dan dugaan skema boneka seperti yang disampaikan Demul menimbulkan dugaan bahwa perusahaan itu hanya digunakan sebagai perantara dalam proyek tersebut.
"Itu tentu perbuatan yang sangat tidak bisa ditolerir. Menggunakan perusahaan terafiliasi milik negara untuk melawan aturan negara/pemerintah. Jika itu benar, maka ada potensi manipulasi keuangan dan penyalahgunaan aset negara yang merugikan masyarakat.," ujar Iskandar Sitoru.
Ia kemudian memaparkan bahwa dari perspektif hukum, proyek ini berpotensi melanggar beberapa peraturan perundang-undangan, antara lain:
1. Undang-Undang Keuangan Negara (UU No. 17 Tahun 2003). Sebagai BUMD, PT Jaswita mengelola aset daerah yang termasuk dalam ruang lingkup keuangan negara. Jika proyek ini tidak memberikan manfaat finansial yang jelas bagi daerah, maka ada potensi pelanggaran terhadap prinsip transparansi dan akuntabilitas keuangan negara.
2. Undang-Undang Pemerintahan Daerah (UU No. 23 Tahun 2014) pada Pasal 331 menyatakan bahwa BUMD harus beroperasi berdasarkan prinsip ekonomi dan akuntabilitas. Jika PT Jaswita hanya menjadi perantara tanpa peran bisnis yang jelas, maka hal ini bertentangan dengan prinsip tata kelola yang baik (Good Corporate Governance).
3. Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001), jika ditemukan unsur penyalahgunaan wewenang atau pengelolaan keuangan daerah yang merugikan negara, maka hal ini dapat dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi. Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tipikor mengatur bahwa perbuatan yang merugikan keuangan negara untuk kepentingan pribadi atau kelompok tertentu dapat dipidana. Jika ada penyalahgunaan aset daerah, maka tindakan ini dapat dikategorikan sebagai perbuatan melawan hukum yang merugikan keuangan negara.
4. Undang-Undang Badan Pemeriksa Keuangan (UU No. 15 Tahun 2006) karena sebagai auditor utama keuangan negara, BPK memiliki kewenangan untuk mengaudit kerja sama ini. Jika ada indikasi penyimpangan, maka audit investigatif diperlukan untuk memastikan tidak ada kerugian negara atau daerah.
Iskandar Sitoru mengatakan, berdasarkan fakta yang tersedia, proyek ini memiliki beberapa indikator yang dapat mengarah pada dugaan fraud, di antaranya:
1. Pelanggaran hukum (Unlawful Act), jika proyek ini tidak memiliki izin alih fungsi lahan dan melanggar tata ruang.
2. Fraud (Kecurangan), jika ada upaya menyembunyikan fakta atau memanipulasi perizinan demi kepentingan tertentu.
3. Abuse of Power (Penyalahgunaan Wewenang), jika ada pejabat yang memanfaatkan jabatannya untuk meloloskan proyek ini tanpa prosedur yang sah.
4. Conflict of Interest (Konflik Kepentingan), jika proyek ini menguntungkan pihak tertentu secara pribadi, tanpa manfaat bagi keuangan daerah.
5. Maladministrasi, jika proyek ini dilakukan dengan prosedur yang tidak sesuai dengan tata kelola perusahaan yang baik.
Langkah Demul untuk mengaudit seluruh BUMD di Jawa Barat merupakan keputusan yang berani dan diperlukan.
“Kami yakin dugaan fraud bisa ditemukan oleh Auditor Keuangan Negara BPK Perwakilan Jawa Barat. Tidak berlebihan jika kami sebut karena keberaniannya, dia pantas disematkan sebagai 'Prabowo Kecil' sebab berani janji menutup tambang ilegal di Jabar, keberanian itu seperti keberanian Presiden Prabowo Subianto dalam berkinerja,” tegas Iskandar Sitorus.
Audit ini tidak hanya harus dilakukan oleh BPK, tetapi juga melibatkan lembaga lain seperti KPK, jika ditemukan indikasi penyalahgunaan keuangan negara.
Kasus ini menjadi pengingat bahwa BUMD tidak boleh dijadikan menjadi alat kepentingan bisnis kelompok tertentu.
"BUMD seharusnya memberikan manfaat bagi daerah, bukan sekadar menjadi "boneka" dalam skema bisnis yang merugikan masyarakat. Jika audit ini benar-benar transparan, publik berhak mengetahui apakah proyek ini sesuai aturan atau justru menjadi skandal baru dalam tata kelola BUMD di Indonesia, tutup Iskandar Sitorus.