Berita

Pengamat Hukum dan Pembangunan, Hardjuno Wiwoho/Ist

Politik

Korupsi Menggurita, Hardjuno: Pengesahan RUU Perampasan Aset Tidak Boleh Ditunda

KAMIS, 06 MARET 2025 | 15:54 WIB | LAPORAN: AHMAD KIFLAN WAKIK

Gelombang kasus korupsi menggurita yang terus terjadi di Indonesia, menjadi bukti sangat dibutuhkannya payung hukum perampasan aset dari koruptor.

Pengamat Hukum dan Pembangunan, Hardjuno Wiwoho mengatakan, payung hukum itu sebetulnya sudah ada pembahasan di DPR. Tetapi, tidak nampak keseriusan untuk menyelesaikan Rancangan Undang-undang Perampasan Aset.

Kata Hardjono, mencuatnya kasus terkini korupsi tata kelola minyak mentah dan produk kilang dan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) tahun 2018-2023 yang ditangani Kejaksaan Agung dan ditaksir merugikan negara mencapai Rp193,7 triliun tersebut.


“Saya kira, munculnya kasus itu cukup membuktikan pengesahan RUU Perampasan Aset menjadi UU harga mati. Tidak boleh ditunda lagi,” ujar Hardjuno kepada wartawan, Kamis 6 Maret 2025.

Menurutnya, perampasan aset adalah salah satu cara paling efektif untuk memberikan efek jera kepada para koruptor.

“Kalau hanya mengandalkan hukuman penjara, tidak akan cukup. Kita sudah melihat banyak kasus, koruptor yang divonis bersalah tetap bisa hidup nyaman setelah keluar dari tahanan karena aset mereka tidak tersentuh," tuturnya.

Dia menjelaskan strategi pemberantasan korupsi harus berjalan dalam tiga aspek utama, yakni pencegahan, penindakan, dan pemulihan aset.

Selama ini, sambungnya, aspek pemulihan aset seringkali terabaikan karena mekanisme hukum yang berbelit.

Hardjuno menambahkan bahwa RUU Perampasan Aset membawa terobosan penting dengan memperkenalkan mekanisme non-conviction based asset forfeiture, yang memungkinkan penyitaan aset tanpa perlu menunggu putusan pidana.

Model ini telah diterapkan di berbagai negara, seperti Amerika Serikat dengan Civil Asset Forfeiture dan Inggris melalui Proceeds of Crime Act.

"RUU ini akan memungkinkan negara menyita aset koruptor sejak penyidikan, selama ada bukti yang cukup bahwa kekayaan tersebut berasal dari tindak pidana," tuturnya.

"Selain itu, ada juga konsep illicit enrichment, di mana pejabat yang hartanya meningkat secara tidak wajar bisa langsung diperiksa dan asetnya disita bila tidak bisa membuktikan asal-usulnya secara sah," demikian Hardjuno.

Populer

Bobby dan Raja Juli Paling Bertanggung Jawab terhadap Bencana di Sumut

Senin, 01 Desember 2025 | 02:29

NU dan Muhammadiyah Dikutuk Tambang

Minggu, 30 November 2025 | 02:12

Padang Diterjang Banjir Bandang

Jumat, 28 November 2025 | 00:32

Sergap Kapal Nikel

Kamis, 27 November 2025 | 05:59

Peluncuran Tiga Pusat Studi Baru

Jumat, 28 November 2025 | 02:08

Bersihkan Sisa Bencana

Jumat, 28 November 2025 | 04:14

Evakuasi Banjir Tapsel

Kamis, 27 November 2025 | 03:45

UPDATE

Tragedi Nasional dari Sumatra dan Suara yang Terlambat Kita Dengarkan

Jumat, 05 Desember 2025 | 15:44

Produktivitas Masih di Bawah ASEAN, Pemerintah Susun Langkah Percepatan

Jumat, 05 Desember 2025 | 15:41

Lewat Pantun Cak Imin Serukan Perbaiki Alam Bukan Cari Keributan

Jumat, 05 Desember 2025 | 15:38

Bank Mandiri Sabet 5 Penghargaan BI

Jumat, 05 Desember 2025 | 15:27

Liga Muslim Dunia Siap Lobi MBS untuk Permudah Pembangunan Kampung Haji Indonesia

Jumat, 05 Desember 2025 | 15:18

Banjir Rob di Pesisir Jakarta Berangsur Surut

Jumat, 05 Desember 2025 | 15:13

RI–Timor Leste Sepakat Majukan Koperasi

Jumat, 05 Desember 2025 | 15:08

Revisi UU Cipta Kerja Mendesak di Tengah Kerusakan Hutan Sumatera

Jumat, 05 Desember 2025 | 14:57

Bahlil Telusuri Dugaan Keterkaitan Tambang Martabe dengan Banjir Sumut

Jumat, 05 Desember 2025 | 14:48

BI: Cadangan Devisa RI Rp2.499 Triliun per Akhir November 2025

Jumat, 05 Desember 2025 | 14:39

Selengkapnya