......(Lanjutan dari Bagian I)
Memelintir Leher Rakyat
Dalam prakteknya dapat kita lihat, BUMN itu akhirnya lepas kendali dari masyarakat dan rakyat hanya jadi obyek komersialisasi dan eksploitasi dari usaha usaha BUMN. BUMN itu akhirnya banyak yang justru bertentangan dengan tujuan pencapaian kesejahteraan rakyat.
Sebut misalnya dalam kasus yang konflik agraria, menurut Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), justru konflik tanah antara rakyat dan BUMN itu menjadi yang tertinggi di Indonesia.
Sebuah koalisi lembaga riset dan organisasi penyelamat lingkungan, Forest and Finance pada tahun 2024, merilis laporan tentang peranan bank dalam pembiayaan terhadap perusahaan perkebunan monokultur dan tambang yang menyebabkan kehancuran lingkungan hidup seperti perusakan hutan, pelenyapan keragaman hayati serta ekosistem lingkungan hidup secara keseluruhan.
Laporan dengan judul "Bank on Biodiversity Collapse" itu diantaranya melaporkan besaran dukungan pembiayaan investasi beberapa Bank BUMN (Badan Usaha Milik Negara). Bahkan posisi bank-bank BUMN tersebut masuk dalam urutan 10 teratas di Asia Tenggara. Sebut misalnya Bank Mandiri sebagai yang teratas, kemudian ada Bank BNI.
Menurut laporan tersebut, dari sejak 2018 hingga Juni 2024, bank MANDIRI telah menyalurkan kredit untuk perusahaan perusak lingkungan sebesar 5,6 miliar dolar AS, Bank BRI sebesar 5,1 miliar dolar AS dan Bank BNI sebesar 3,8 miliar dolar AS.
Tindakan bank-bank BUMN tersebut jelas telah melanggar Konstitusi. Misi bank BUMN yang seharusnya menjalankan fungsi sebagai peningkatan kemakmuran rakyat telah melenceng. Bank-bank ini menguntungkan perusahaan milik konglomerat kapitalis dan menjadi pendukung utama kerusakan lingkungan dan tentu masalah kemanusiaan di daerah tambang dan perkebunan.
BUMN saat ini seperti harta tak bertuan dan kemudian mendorong munculnya moral hazard dari pengelolanya. Kasus kasus korupsi di perusahaan BUMN hingga saat ini tidak pernah berhenti malah justru semakin terus menghebat. Kita hanya dibohongi disuruh membeli surat utang/obligasi pemerintah semacam Surat Berharga Negara (SBN) yang berbunga, namun bukan akta saham riil perusahaan.
Dengan demikian, kepemilikan kita sesungguhnya telah dirampas. Masyarakat dijauhkan dari tanggung jawab pribadi terhadap BUMN. Kepemilikan oleh negara yang dianggap seakan tak bertuan itu mendorong tanggung jawab pengelolanya menjadi semakin sembrono. Kehilangan kehematan dan menjadi cenderung korup dan penuh kongkalikong dengan pihak korporasi besar kapitalis yang penting dapat memberikan manfaat kepada pribadinya. Rakyat direduksi menjadi massa yang tidak memiliki harta benda, bergantung pada kebaikan dari mesin impersonal yang disebut pemerintah. Kepemilikan pemerintah ini tentu tidak bersesuaian dengan demokrasi.
Keputusan penentuan target keuntungan BUMN misalnya, rakyat bukan mendapatkan manfaat maksimal tapi justru dicekik lehernya untuk meraih keuntungan sebesar besarnya dari Perusahaan BUMN tersebut. Rakyat yang seharusnya menjadi pemilik justru diplintir lehernya oleh kebijakan BUMN.
Demokratisasi BUMN BUMN kita saat ini bergerak di sektor jasa keuangan, pangan, industri pengolahan, telekomunikasi, asuransi, konstruksi, penyediaan air, pengolahan sampah, perdagangan, pertambangan, pertanian, perkebunan, kehutanan, perikanan, transportasi, pergudangan dan sebagainya.
Menurut perhitungan neraca konsolidasi akhir tahun 2023, seluruh BUMN asetnya bernilai buku sekitar Rp10.300 triliun. Namun dari aset yang besar itu, kita sebagai warga negara bukan menjadi pemilik riil. Akta sahamnya dipegang oleh pemerintah yang kuasanya ada di tangan Presiden cq. Menteri BUMN. Kita sebagai warga negara menjadi jauh dari perusahaan milik kita tersebut alias hanya jadi penonton.
Betapa dahsyat kekuatan BUMN bila seluruhnya dimiliki dan dikontrol langsung oleh rakyat melalui sistem demokrasi ekonomi. Kekayaan dikuasai negara untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat benar-benar dapat diwujudkan. Tidak perlu ada lagi rakyat yang miskin karena semua menjadi pemilik perusahaan. Tidak perlu ada kesenjangan karena semua sumber ekonomi dikelola secara gotong royong dan kekeluargaan.
Secara perlahan-lahan, beban utang yang selama ini menyedot potensi keuntungan BUMN akan dapat disubstitusi oleh bagian keuntungan dari rakyat. Selain itu, dengan model kepemilikan oleh rakyat secara langsung dapat mendorong perusahaan BUMN menjadi lebih transparan dan akuntabel.
BUMN yang demokratis juga akan menjadi barometer bagi perusahaan ekologis dan humanis karena seluruh rakyat turut menentukan keputusan dan kebijakan perusahaan agar bijak dalam kelola sumber daya alam. Tidak seperti saat ini yang justru menjadi pendorong bagi kerusakan alam.
Bunyi dari pasal 33 ayat 4 jelas dan terang, bahwa asas dari penyelenggaraan ekonomi kita adalah demokrasi ekonomi. Demokrasi ekonomi itu adalah suatu sistem yang menjamin bagi setiap warga negara itu turut berpartisipasi dalam proses produksi, distribusi dan konsumsi.Keterlibatan ini tentu memiliki makna yang sungguh sungguh jika rakyat terlibat dalam turut kendalikan aktivitas dan kebijakan ekonomi.
Untuk itulah kepemilikan saham BUMN oleh rakyat secara langsung sebagai pemegang kekuasaan negara ini sangat penting artinya. Supaya rakyat dapat mengendalikanya secara riil. Turut menentukan masa depan perusahaan, menikmati keuntungan atau setidaknya manfaatnya, turut mengendalikan dalam urusan pengambilan kebijakan.
Apapun dalilnya, ketika kita bicarakan BUMN maka dasarnya adalah konstitusi kita. Disebut bahwa kekuasaan ada di tangan rakyat. Asas penyelenggaraan ekonomi kita adalah demokrasi ekonomi. Jadi menurut saya, saatnya saham BUMN dikembalikan ke tangan rakyat. Presiden, Menteri, Komisaris dan direksi adalah hanya sebagai pembantu kita untuk mengurus aset strategis BUMN milik kita, bukan malah jadi penguasa. Intinya rakyat harus punya kuasa atas BUMN.
BUMN yang ada saat ini sudah menyimpang jauh dari konstitusi dan membahayakan perekonomian dan kemandirian bangsa. Selama satu dasawarsa lebih, BUMN telah terseret jauh menjadi kapitalistik, bahkan membuka keran bagi dominasi asing terhadap instalasi vital ekonomi negara.
UU dan produk regulasi turunannya itu keliru secara basis epistemologis. Undang-undang ini jelas bertentangan dengan asas demokrasi ekonomi karena pemerintah dan masyarakat kehilangan kendali terhadap perusahaan. Hal mana bertentangan dengan prinsip pembangunan berkelanjutan dan berkeadilan karena justru mendorong pada penguasaan aset negara untuk segelintir orang dan akhirnya justru ciptakan kesenjangan sosial dan ekonomi di masyarakat.
Berangkat dari sekelumit analisis di atas, nyata bahwa keberadaan UU BUMN dan BUMN serta BPI Danantara yang dibentuk berdasarkan UU BUMN adalah layanan publik yang menyalahi asas demokrasi ekonomi, bertentangan dengan Konstitusi serta menyimpang jauh dari upaya mencapai visi keadilan sebagaimana diamanatkan oleh UUD 1945.
*Penulis adalah Ketua Asosiasi Kader Sosio-Ekonomi Strategis (AKSES), Direktur Cooperative Research Center (CRC) Institut Teknologi Keling Kumang